33
Langit masih gelap saat Adnan keluar dari rumah. Dia sengaja berangkat kerja lebih awal hari ini. Biasanya dia menyempatkan waktu mengantar anak-anaknya yang remaja. Anak bungsunya masuk sekolah lebih siang dan tak menyukai ide berangkat sekolah awal bersama kedua kakaknya. Dia sudah meminta bantuan ibunya supaya meminjamkan mobil guna mengantar dua anak tertuanya. Akbar akan diantar Nandar menggunakan mobil yang biasa dipakai.
Bukan tanpa alasan Adnan berangkat lebih awal. Ini adalah ritme yang biasa dia miliki tiap mendekati liburan sekolah. Adnan sengaja bekerja lebih awal supaya dia bisa menyelesaikan pekerjaan sedini mungkin, kemudian memiliki waktu untuk cuti. Dia bukan karyawan yang perlu mengajukan cuti dari jauh-jauh hari. Meski begitu, dia tetap tidak bisa sembarangan mengambil cuti kalau masih ada pekerjaan yang tersisa di mejanya. Tanggal dan periode liburan anak-anaknya berbeda-beda. Akbar punya dua pekan libur sekolah. Reyyan juga sama, tapi dimulai pada tanggal yang berbeda. Dira hanya punya satu pekan. Adnan mencocokan libur ketiganya, mencari tanggal yang sama untuk liburan mereka. Karena periode liburan yang singkat, Adnan merencanakan liburan ke tempat yang dekat.
Reyyan agak keberatan harus berwisata di musim liburan. Anak itu paling anti keramaian dan enggan ke tempat yang dikategorikannya 'ribet'. Sebenarnya, Reyyan bukan anak yang menyusahkan. Namun setelah melewati masa pra remaja, dia semakin selektif terhadap apa yang berhubungan dengannya. Adnan tidak menyalahkan, toh dia melihat manfaat baik dari sikap pemilih Reyyan. Di lain sisi, Dira selalu mau diajak jalan selama destinasi mereka terkenal akan kulinernya. Adnan heran bagaimana Dira bisa mempertahankan ukuran badan setelah makan banyak. Akbar yang paling mudah diajak bepergian. Anak itu sangat menyukai tempat baru, mau itu tempat ramai maupun sepi. Dia dipenuhi rasa ingin tahu dan semangat belajar. Perbedaan selera mereka tidak akan menghalangi liburan singkat keluarga kecil ini, tekad Adnan.
Adnan sudah memanaskan mobil sebelum dia menyiapkan sarapan. Sudah menjadi kebiasaannya menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Pilihan sarapan mereka mudah sebab Reyyan telah membuat daftar menu sarapan untuk satu bulan dan ibunya selalu memastikan dapur mereka menyetok bahan-bahan yang dibutuhkan. Dia bisa saja meminta tolong ibu atau Bu Param yang membuatkan sarapan. Namun dia merasa sayang jika melewatkan kesempatan meluangkan waktu dan tenaga untuk membekali makan pagi kepada anak-anak. Menu hari ini sangat sederhana. Telur ceplok, kentang panggang keju, dan wortel kukus. Adnan bisa memasaknya sekaligus, bersamaan dia memanaskan mobil. Setelah semua menu siap, dia menuliskan pesan singkat 'Ingatkan Bu Param untuk lipat cucian.' Adnan terlalu kaku untuk menulis pesan sayang.
Adnan membuka gerbang lebar-lebar. Ketika dia hendak berbalik, dia menemukan sosok tak asing di seberang jalan yang berdiri persis di bawah lampu jalan. Spontan dia menghampiri. Tangannya terentang menangkap pergelangan kurus milik seorang gadis. "Za?" desisnya agak sangsi.
"Ha-hai," sapa Yuniza gugup.
"Kenapa kamu bisa di sini?"
"Aku ehm..." Yuniza membenahi tali tasnya. "Mampir aja," lanjutnya ragu-ragu.
"Mampir?" Adnan tak percaya. "Langit masih gelap. Orang-orang baru bangun tidur. Dan kamu. Mau. Mampir?"
Yuniza tertawa kering. Adnan berharap mereka berada persis di bawah lampu jalan supaya dia dapat melihat wajah Yuniza sepenuhnya. Dari balik bayang-bayang, sulit baginya memahami ekspresi apa yang dibuat gadis itu.
"Alasanku terlalu ngada-ngada, ya?"
"Ya."
Yuniza tambah menunduk yang menyebabkan atmosfir di antara mereka tambah canggung. Adnan tidak menyukai situasi ini. Dia ingin tahu apa yang mendasari kedatangan mendadak Yuniza. Dugaannya melesat pada kedatangannya semalam ke rumah Yuniza yang mungkin telah menimbulkan pertengkaran antara ibu dan anak. Dia mencoba menepis pikiran tersebut, tetapi dia masih belum bisa melepaskan ingatan akan ekspresi sinis Tri terhadap Yuniza.
Adnan gatal sekali ingin bertanya, "Apa terjadi sesuatu di rumah kamu?" Namun dia menahan diri untuk mengorek urusan keluarga orang lain. Tidak semua orang suka mengobral cerita keluarganya. Sehingga dia menyuarakan tanya yang lain. "Kamu sudah sarapan?"
Yuniza menggeleng. Dia memainkan tali tas punggungnya. "Aku pergi. Maaf udah ganggu kamu."
"Sebentar-" Adnan membelalak menyadari tas sebesar apa yang dipanggul Yuniza. Dia tambah terkejut ketika cahaya lampu jalan jatuh di atas kepala Yuniza. Penampilan perempuan muda itu kacau.
"Kamu mau kabur?" tuduhnya spontan.
"Ng-nggak," jawab Yuniza buru-buru.
Adnan tambah curiga. Cara menjawab Yuniza yang gagap menyempurnakan dugaannya bahwa telah terjadi sesuatu pada perempuan itu. Dia menahan pergelangan tangan Yuniza. Kulit Yuniza yang dingin membuat Adnan bertanya-tanya apa yang telah gadis itu lalui sampai memiliki tangan yang dingin serta kotor.
Dia benar-benar kabur dari rumah, Adnan menyimpulkan dalam hati.
"Aku nggak kabur," kata Yuniza. Dia meronta mencoba melepaskan tangannya, tetapi Adnan menggenggamnya tambah erat.
"Sebaiknya kamu sarapan sebelum pergi." Adnan mengalihkan pembicaraan.
"Aku benar-benar nggak kabur," ulang Yuniza.
"Oke."
"Oke?"
"Ya. Oke."
Yuniza menahan badannya dari tarikan Adnan. "Mas, aku bilang aku nggak kabur."
"Oke." Adnan mengangguk. Dia masih menyangsikan ucapan Yuniza.
"Kamu nggak percaya, kan?" tuding Yuniza.
"Bukannya setiap orang punya hak untuk mempercayai apa yang mau mereka percayai?" Adnan berpura-pura terkejut.
"Tuh, kan! Kamu nggak percaya sama aku!" rengek Yuniza.
Adnan tersenyum geli. Perubahan sikap Yuniza menyenangkan untuk dilihat.
"Apapun yang mau kamu lakukan, sebaiknya dimulai dengan sarapan." Adnan belum melepaskan tangan Yuniza. Dia hanya melonggarkan genggamannya. Pergelangan tangan Yuniza begitu kecil sampai-sampai dia takut tangan itu akan remuk jika dia menggenggamnya terlalu kuat.
"Aku nggak kabur dari rumah," ulang Yuniza lebih keras.
"Oke..." Adnan mengangguk. "Jadi, kita bisa sarapan dulu? Setelah itu, terserah kamu mau ke mana dengan tas sebesar itu."
"Aku serius. Aku nggak kabur dari rumah."
"Iya, iya." Adnan menjawab sekenanya. Dia menarik Yuniza. Mereka menyeberang jalan.
"Anak-anak kamu bakal kaget ngelihat aku ada di rumah kalian sepagi ini."
Adnan setuju. Dia sudah mempertimbangkan hal tersebut. Alih-alih membawa Yuniza masuk rumah, dia membuka pintu mobilnya. Sembari tersenyum, dia berkata, "Kita nggak harus sarapan di rumah. Silakan masuk, mbak yang mengaku nggak kabur dari rumah." Dia melepaskan Yuniza.
"Aku jujur loh, aku nggak kabur dari rumah," Yuniza masih berusaha meyakinkan Adnan.
Menengok penampilan berantakan dan kotor Yuniza, bagaimana Adnan bisa percaya?
Perempuan itu tampak seperti baru saja keluar lewat jendela, lalu jatuh ke tanah dan yah, beginilah hasilnya.
"Kamu punya waktu meyakinkan aku di dalam." Adnan mengendikan kepalanya pada kursi penumpang depan yang kosong. "Aku sangat lapar sekarang."
Yuniza mendesah. Dia melepaskan tasnya. Adnan sigap menangkap tas tersebut. Dia mengambil alih menyimpan tas besar Yuniza ke kursi penumpang belakang. Yuniza bersemu dan segera masuk mobil. Adnan tak sempat melihat rona bahagia itu sebab pria itu memutari mobilnya lewat belakang untuk masuk ke balik kemudi.
Dia mengeluarkan mobil dari carport. Sebelum membawa mobilnya melaju ke jalan, dia menekan sesuatu di ponselnya, lalu gerbang rumahnya tertutup secara otomatis.
"Gerbang rumah kamu bisa ditutup dari jauh, kenapa mau repot-repot membuka gerbang sendiri?" tanya Yuniza.
Adnan tersenyum tipis. Dia menunda menjawab karena fokus mengemudikan kendaraannya sambil menengok kanan dan kiri.
"Sekarang aku dicuekin," gumam Yuniza.
"Kalau aku nggak membuka gerbang sendiri, aku nggak akan menemukan kamu di seberang rumah," jawab Adnan.
"Suatu kebetulan ya. As if semesta menyeret kamu masuk ke jeratku," cibir Yuniza.
"As if I was destined to meet a princess," gurau Adnan. Dia melirik respons Yuniza.
Yuniza menganga, membelalak, dan meremas kaos depannya seakan-akan dia baru saja terkena tembakan. "Apa aku dibolehkan terbang? Gombalan kamu manis banget."
Adnan menggeleng. Di bibirnya masih melekat cengiran geli. "Kamu mau makan sesuatu?" Dia memutuskan mengganti pembicaraan.
"Aku kepikiran satu tempat, tapi kurang yakin."
"Maksudnya?"
"Aku udah mau ke sana tadi kalau aja kamu nggak ngelihat aku."
"Kamu sudah merencanakan mau sarapan di suatu tempat. Begitu? Kasih tahu aku tempatnya supaya aku bisa antar kamu ke sana."
"Benar?" Yuniza memiringkan duduknya dengan antusias.
Adnan mengangguk, walau dia agak heran terhadap perubahan emosi Yuniza yang drastis.
"Kamu mau ikut makan juga kalau diterima?"
"Kalau diterima?" Sekarang Adnan curiga.
"Karena butuh reservasi."
"Tempat makan mana yang kamu maksud?"
"Bentar, aku lagi nelepon mereka apa bisa nambah satu lagi buat kamu."
Adnan menggeleng kecil. Mungkin seharusnya dia tidak pernah membawa naik putri di pinggir jalan ke mobilnya. Dalam penerawangannya, dia dapat melihat jadwal kerjanya hari ini akan berantakan. Ketika dia mengajak Yuniza sarapan, dia memikirkan resto siap saji atau rumah makan di pinggir jalan yang mudah diakses.
"Aku udah telepon mereka. Lucky you. Aku boleh nambah satu buat kamu. Dan sebagai tambahan informasi, it's on me. Aku yang traktir Pak Adnan."
Apa yang bisa Adnan lakukan untuk menolak Yuniza jika yang dia lihat adalah wajah kegirangan serta bangga dari gadis itu. Mau tak mau dia tertular kebahagiaan Yuniza. Dia tersenyum dan mengangguk.
"Nah, sekarang kita ke hotel XX. Dari sini, kita bisa lewat mana ya?"
Senyum Adnan seketika luntur. Hotel yang disebut Yuniza barusan ada di daerah Kuningan. Sekarang mereka masih di Kebayoran. Perjalanan dari ujung ke ujung Jakarta Selatan di pagi hari kerja. Apa gadis ini becanda?
Dia harus berangkat kerja ke Cikupa.
Ah! Penerawangannya benar. Jadwalnya sudah kacau sejak pagi.
###
02/02/2024
Bantu jawab, bebs!
Mending aku publish cerita di jam berapa ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro