24
"Akbar, KAK YUNIZA datang." Adnan memberikan penekanan kuat-kuat pada tamu mereka.
Yuniza mendapati kesan Adnan tidak suka dengan sikap Akbar. Dia sendiri juga merasakan yang sama. Panggilan Akbar barusan berpotensi menimbulkan salah paham. Memangnya siapa yang mau disangka maminya bocah ini setelah bapake menolak si cewek? Yuniza sih ogah.
Akbar mengerucutkan bibir dan menyipitkan mata. Dia terang-terangan menunjukkan permusuhan ke Adnan. Yuniza (diam-diam) senang melihat ekspresi Akbar seakan kekesalannya yang lalu terhadap pria itu ada yang menyampaikan, meskipun periodenya sudah lama berlalu.
"Don't talk to me. You're a bitret." Akbar melipat tangannya dan memasang wajah garang.
"Ayah bukan betrayer. Ayah ingin bantu kamu sembuh. Perutnya sakit kalau poop ditahan." Adnan berjongkok di dekat Akbar.
Bocah itu menggeser duduknya tanpa mengangkat pantat. "You want to hurt me. Don't lie. I see you hold that," tuduh Akbar agak menggebu.
"Ayah mau kasih obat ke kamu, bukan mau jahat. Kalau obatnya dipakai, perutnya nggak sakit lagi." Adnan menoleh ke Yuniza. Matanya memancarkan permohonan. Yuniza ingin mengelak dari tatapan tersebut. Dia hanya datang dalam rangka memastikan Akbar baik-baik saja. Bukannya menolong pria itu. Ketika Yuniza melirik Akbar yang wajahnya tidak begitu segar, gadis itu mendesah. Dia lebih menyukai Akbar daripada mengambil kesempatan mengerjai Adnan. Jadi, dia mengangguk singkat.
Adnan tersenyum. Kemudian berbalik ke Akbar. "Kak Yuniza datang ke sini buat ketemu kamu."
Akbar menatap Adnan sangsi. Yuniza cemas dia akan terjebak di antara konflik panas bapak dan anak. Ketika Akbar beralih pada Yuniza, sorot mata anak itu melunak. Dia tersenyum kecil. "I miss you," ucap Akbar lirih.
Yuniza spontan berjongkok di depan Akbar. Jarang berinteraksi dengan anak-anak kecuali saat kumpul acara keluarga besar, bukan berarti Yuniza tidak peka terhadap perasaan anak kecil. Dia bisa merasakan ketulusan Akbar.
Tangan Adnan tiba-tiba terentang memagari Yuniza dan Akbar. "Kamu boleh main sama Kak Yuniza kalau sudah pakai obat. Kalau nggak mau sama obat, Kak Yuniza pulang."
"Iiih," desis Akbar. Bahunya menyentak penuh kekesalan. "Ayah nyuruh-nyuruh mulu. Nggak mau. Ayah aja yang pake obatnya."
"Ayah nggak sakit. Ayah nggak butuh obatnya. Akbar yang sakit. Kalau nggak pakai obat, nanti kamu disuruh menginap di rumah sakit. Gimana?"
"Ayaaaah! Nggak mau!"
"Pakai dulu obatnya. Nggak sakit. Ayah kasihnya pelan-pelan."
"Nggak mau! Nggak mau! Nggak mau!"
"Sedikit dulu dicoba. Nggak akan sakit."
"Nggak mau! Ayah aja!"
"Akbar, nanti perut kamu sakit terus."
"Nggak! Nggak! Nggak!"
Yuniza pusing mendengar bujukan Adnan dan penolakan Akbar yang layaknya cekcok antar ayam jantan dan anak ayam. Suara KOKOK KOKOK bersahutan PIKPIKPIK.
"Akbar." Yuniza menawarkan tangannya. "Mau ke luar kamar sama Kakak?"
Akbar dan Adnan terdiam. Akbar merona, berkebalikan Adnan yang ngeri.
"Dia nggak bisa," bisik Adnan.
Yuniza berpura-pura tuli. Saat ini dia hanya mengikuti firasatnya untuk memberikan ketenangan pada Akbar. Anak itu sakit sekaligus tertekan oleh permintaan menggunakan obat.
Akbar mengangguk, lalu menerima uluran tangan Yuniza. Dia berdiri perlahan dan agak kesulitan.
"Nggak mau!" sentak Akbar saat Adnan ingin menolongnya berdiri.
Yuniza menggeleng, memberikan kode ke Adnan untuk menjaga jarak. Dia menuntut Akbar dan bertanya, "Mau ajak Kakak lihat-lihat rumah kamu?"
"Iya." Akbar mengangguk penuh semangat dalam langkahnya yang pelan.
Yuniza penasaran apa yang membuat anak itu sampai susah bangun dan berjalan. Namun dia menahan diri.
Akbar menuntunnya menuju kamar tidur di bagian lain rumah. "This is my bedroom." Akbar membuka pintunya lebar-lebar.
Yuniza menyisir ruang tidur Akbar. Tema ruangan itu adalah alam. Kasur tunggal di tengah ruangan menempel pada dinding yang diberi hiasan gunung. Langit-langitnya diberikan aksen awan pada drop ceiling. Ada tenda kecil ala indian serta bantal-bantal bulat di dekat karpet bundar berbulu tebal. Lemari pakaian didesain tinggi hingga ke langit-langit menghadap kasur. Di sisi lain kasur terdapat rak yang penuh buku-buku.
Buku kuliahnya ditambah buku Keysha pasti kalah dengan jumlah buku di rak tersebut, nilainya dalam hati.
"Akbar tidur di sini?" tanyanya, agak penasaran.
"Ehm..." Anak itu ragu-ragu menjawab. "Nggak," jawabnya malu-malu.
"Terus Akbar tidur sama siapa?" Ini adalah murni kekepoan Yuniza yang ingin tahu bagaimana pengaturan tidur keluarga dari orang tua tunggal.
"Dia tidur sama saya. Kalau saya sedang bepergian, dia tidur sama abangnya. Kamu sudah ketemu abangnya. Masih ingat?" Adnan berbicara dari depan kamar. Dia mengikuti Yuniza dan Akbar dalam jarak yang cukup.
Yuniza mengangguk. Dia sudah menduga dan ingin memastikan dugaannya benar.
"Mau kasih unjuk ruangan lain?" Yuniza bertanya.
"You don't wanna see my books?" Akbar sedih.
Yuniza tidak menyukai belajar dan buku. Dia belajar supaya terbebas dari omelan ibunya dan bisa segera lulus. Melirik koleksi buku Akbar, Yuniza sudah hilang gairah. Ensiklopedia dan ensiklopedia. Sungguh membuat sakit kepala.
"Kita lihat itu nanti. Jalan-jalan dulu, ya?" nego Yuniza.
Akbar kembali ceria. "You wanna see Abang's bedroom?"
"Kita sebaiknya nggak lihat kamar Abang kalo Abang nggak ada. Gimana kalo lihat ruangan lain?"
"Kak Dira's bedroom?"
"Apa nggak ada ruangan lain?" Yuniza melirik pintu di seberang kamar Akbar.
Bocah itu melihat apa yang dimaksud Yuniza dan menggeleng. "That's only bathroom," cibirnya.
"Kakak nggak boleh lihat?" Yuniza berpura-pura sedih.
Akbar meragu. Kemudian mengangguk kecil dan membuka pintu itu.
"Wah, cerminnya besar banget," kata Yuniza. Dia merasa agak malu saat Adnan mendengkuskan tawa di belakangnya.
"You don't have big mirror?" Akbar tertarik dan ikut masuk.
"Nggak ada. Cerminnya cuma segini." Yuniza membuat lingkaran imajinasi di udara.
"You have basin?" Akbar menarik kursi kayu mungil dari kolong kabinet, menaikinya, lalu menepuk wastafel.
"Punya."
"With automatic tap?" Tangan Akbar bergoyang di bawah keras wastafel. Seketika air keluar dari keran secara otomatis. Akbar tersenyum penuh percaya diri menunggu respons Yuniza.
"Oh, yang itu nggak ada."
Mendengar jawaban Yuniza, Akbar tambah girang. Dia melompat dari kursi mini. "You have shower?"
"Punya." Yuniza mengikuti Akbar masuk lebih dalam. Ketika dia di dekat closet, penutup closet terbuka sendiri dan membuatnya terkejut.
Akbar tertawa sambil mendekat. "You have this?"
Yuniza langsung menggeleng. Matanya masih membelalak pada closet.
"This is automatic," kata Akbar dengan bangga.
"Bisa kasih unjuk gimana pakainya?" pinta Yuniza.
"You want?"
"Bukan Kakak, tapi kamu. Kakak belum pernah pake, nanti rusak."
"Ini duduk aja."
"Kamu yang duduk di situ."
"Take off pants dong."
"Oh." Yuniza berjongkok. "Sini, Kakak bantuin lepas celana kamu."
"I can do it. I'm six. Six year old boy is independence." Akbar menurunkan celananya sendiri, membiarkannya tergeletak di lantai, lalu naik ke closet. Anak itu bersemangat menunjukkan cara kerja toilet berteknologi canggih tersebut.
Melihat Akbar mau duduk sendiri di closet, Adnan terkejut. Yuniza mengibaskan tangannya menyuruh Adnan pergi. Akbar masih mengoceh soal fungsi-fungsi tombol.
Yuniza bukannya baru tahu rumah itu dilengkapi furniture kamar mandi yang canggih. Yessy telah memberinya informasi dan dia memanfaatkannya. Tanpa disadari Akbar, Yuniza sukses mengarahkan anak itu buang air besar supaya bisa membuktikan sensor yang ada.
Setengah jam kemudian, Yuniza dan Akbar keluar dari kamar mandi. Agak sulit dijelaskan bagaimana situasi yang baru saja dilewati Yuniza. Dia belum pernah membayangkan akan tiba hari di mana dia menemani bocah buang air besar persis di sebelah.
Bocah ini benar-benar ngasih masalah 'taik', pikir Yuniza yang ingat pertemuan pertamanya di warung Mia.
"Gimana?" Adnan menyambut dengan muka penuh harap.
"Keluar," jawab Yuniza tanpa minat.
"Alhamdulillah." Adnan berpindah ke Akbar. "Kamu sudah poop?"
"Done." Akbar menyengir. "Nggak pake obat."
"Iya. Kamu hebat banget," puji Adnan. "Mau makan? Ayah sudah siapkan makanan kesukaan kamu di meja."
"Yeeeh!" Akbar melompat kegirangan menuju meja makan.
Yuniza ikut senang melihat perubahan drastis Akbar. Dia lebih senang melihat anak itu ceria dengan rona merah dari badan yang sehat.
"Terima kasih."
Ucapan Adnan mengalihkan Yuniza. Itu adalah ucapan dengan nada paling lembut yang pernah dia dengar dari pria itu.
"Nggak masalah," jawab Yuniza. Jantungnya berdegup. Dia berharap wajahnya tidak memerah. Sumpah, pasti memalukan jika tertangkap basah tersipu oleh ucapan sesederhana terima kasih.
"Mau ikut makan sama kami?" Adnan menawarkan.
Yuniza menggeleng. "Aku mau pulang."
"Minum dulu. Kami punya kue dan buah. Atau kamu mau es krim?"
Yuniza ingin tertawa. Es krim? Dia? Memangnya Adnan lupa dia itu perempuan dewasa, bukannya anak-anak?
"Aku mau pulang aja." Yuniza tidak mau berlama-lama di dekat Adnan. Dia takut tambah terpesona oleh ketampanan pria itu.
"Kamu ke sini naik apa?"
"Taksi."
"Biar saya antar pulang."
"Nggak usah. Rumah aku jauh. Kamu jaga Akbar aja."
"Sebentar lagi, abang dan kakaknya pulang. Akbar bisa dijaga mereka. Jangan buat saya merasa bersalah karena sudah bikin kamu repot-repot ke sini, tapi tega membiarkan kamu pulang sendirian."
Kamu lebih tega karena nolak aku, sindir Yuniza dalam hati.
"Rumah aku di Jakarta Timur. Daerah macet. Yakin mau nganter?" Yuniza melihat Akbar tengah mengawasi mereka dari meja makan.
"Saya bisa. Nggak masalah. Asal kamu mau tunggu sebentar sampai anak-anak saya yang lain pulang."
Rasanya masih sukar dipercaya pria semuda Adnan sudah punya tiga buntut. Sayangnya dia sudah melihat sendiri abangnya Akbar. Seperti apa anak Adnan yang lain?
Yuniza mengalah. Dia menerima tawaran itu. Toh, dia ingin lihat bagaimana anak lain Adnan yang belum dia lihat.
Kenapa sih rumah besar nggak masang foto keluarga? Yuniza menyisir dinding dan lemari laci. Tak ada foto satu pun.
###
25/06/2023
Kenapa anak kecil kaya pamer gitu? Omar lah... Akbar lah...
Kalo menurutku, yah namanya bocah 🤣 yang tuaan aja demen pamer *eeeh
Mereka lagi di usia tertarik sama hubungan sosial. Keinginan untuk interaksi, bagi-bagi pengetahuan, dan 'Nampil' tu kuat dari dalam diri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro