Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22

Temen-temen wetpedku terzhayank...

*⸜(* ॑꒳ ॑* )⸝* Aku kembali bareng Akbar sekalian mau promosiin cerita Coral si putri duyung gemoy. Setelah baca cerita ini, jangan lupa mampir ke Line Webtoon. Ketik di pencarian Bekcu nanti kamu akan ketemu cerita MY DAUGHTER IS A LITTLE MERMAID.

Baca dan taruh like kamu ya 🥰

***

Yuniza mengetik, lalu menghapus ketikannya. Dia mendesah. Sudah lima menit berlalu dan dia belum juga mendapat ketikan yang pas di hati. Dia ingin mengajak Adnan bertemu supaya Keysha dan Deyon dapat meminta maaf. Namun dia takut Adnan akan membalasnya dengan makian. Bagaimanapun, mengetahui telah menyakiti seseorang secara tak langsung itu sangat meresahkan.

Dia menengok ke kiri. Deyon menyuapi Keysha sepotong tteokpokki di saat Keysha tengah mengebut tugas yang akan dikumpulkan sore ini. Suatu keajaiban Keysha bisa menepis nilai C melihat gaya belajarnya semacam ini. Yuniza kembali mendesah. Bukannya dia bodoh sampai tidak menyadari Keysha dan Deyon sama sekali tak peduli terhadap hasil kebohongan mereka, hanya saja Yuniza tahu bahwa tidak setiap orang memiliki kesadaran yang sama. Berada di dekat dua sejoli ini membuatnya ada di posisi pengasuh sepasang bayi bucin. Beruntunglah mereka tidak sedang di kantin. Yuniza bisa membayangkan mata-mata mahasiswa yang menonton aksi bucin Keysha dan Deyon. Karena kampus mereka menyediakan bangku dan meja taman dari kayu, mereka bisa berkumpul di sini saat jam kuliah kosong. Jika tidak, Yuniza tahu dia akan dapat tatapan kasihan orang lain sebab mau saja menjadi 'nyamuk'.

Tak disangka, ponselnya berdering. Dia mengernyit pada deret nomor asing yang menelepon. Teman-teman kuliahnya biasa mengirim pesan lewat WhatsApp dan hanya sesekali menelepon melalui telepon WhatsApp. Berbeda dengan panggilan telepon yang ini. Panggilan biasa. Dari siapa?

"Dari siapa?" Pertanyaan Keysha sama seperti dengan pikirannya.

"Nggak tahu. Nggak kenal."

"Layanan bank kali. Atau kang tipu. Ati-ati." Deyon sempurna merusak suasana hati.

Yuniza melempar sedotan boba di gelasnya. Deyon meringis jijik. Dia sukses menghindari sedotan, tapi masih terkena cipratan milk tea. Keysha langsung mengelap lengan dan baju Deyon sambil menenangkan Deyon. Yuniza hanya menggeleng singkat dengan wajah muak, lalu menerima panggilan teleponnya.

"Halo?"

"Kak Yuniza."

Yuniza sontak membelalak. Dia kenal suara ini. "Kamu..." Si taik?

"Aku Akbar, Kak. Kakak ingat, kan? Nggak lupa, kan? Aku loh anaknya Ayah Adnan."

Yuniza tidak bisa menampik keimutan dari ocehan di seberang. Dia segera berdiri supaya punya ruang privasi menerima telepon. Keysha mulai menunjukkan tingkah kepo dan Yuniza belajar untuk berhati-hati dengan keponakannya.

"Kenapa nelepon Kakak?" tanya Yuniza.

"Ayah..." Akbar tiba-tiba menangis.

"Ayah kamu kenapa? Kamu baik-baik aja?" Yuniza panik.

"Ayah, Kak..." Akbar sesenggukan.

"Iya, ayah kamu kenapa?" Yuniza tambah panik. Dia membayangkan Akbar menangis hingga wajahnya memerah karena suara tangisnya yang memilukan.

"Kaaak... Ayah is scary. He hold my hands hiks and shout-"

Tut. Tut. Tut.

"Akbar? Akbar?" Yuniza memeriksa ponselnya, lalu berdecak. Mengapa di saat seperti ini ponselnya kehabisan baterai?

Yuniza berlari ke Keysha. "Pinjam powerbank."

"Di tas. Duh." Keysha menyenggol tas sampai jatuh ke tanah.

Yuniza mengambil tas dan isinya yang jatuh tercecar. Dia menaruh tas itu ke meja, memasukan barang-barang Keysha ke tas, dan menyisakan powerbank di meja. Dia mencolok ponselnya ke powerbank.

"Siapa yang nelepon?" tanya Keysha tanpa beralih dari laptop.

"Akbar," jawab Yuniza, sama cueknya.

"Hah? Si bocah keren yang anak si alan?"

"Apa sih alan? Adnan?" Yuniza duduk di kursinya yang tadi ditinggalkan sambil meletakan ponsel dan powerbank ke meja.

"Sialan." Keysha menyengir.

Yuniza berdecak. "Jangan sampai ngomong kayak gitu di depan Akbar, ya." Dia mengingatkan.

"Siap, Ibu mantan calon mamanya bocah keren." Keysha memberikan pose salut ala tentara.

Yuniza menggeleng. Dia tak habis pikir pada tingkah kekanakan Keysha di saat perempuan itu berstatus calon ibu. Deyon juga sama kekanakannya.

"Yang, udah belum?" Deyon bertanya yang dijawab Keysha lewat anggukan singkat. "Kita mau print tugasnya di toko fotokopi depan kampus atau di warnet nih?"

"Di depan kampus aja, sekalian jajan. Aku mau corndog di dekat situ." Keysha menutup laptop segera dan membereskan ke dalam tas laptop.

"Oke deh. Yuk." Deyon mengambil alih tas laptop dan tas selempang Keysha. Pemuda itu tak risih menyampirkan tas cewek Keysha yang pink dan bermotip love ke bahunya.

"Kamu wa kami aja kalo udah ada kabar kapan mau ketemu sama alan si alan. Kami pergi duluan. Dadah, Tante Ninis sayang." Keysha melambai centil. Sambil menggandeng lengan Deyon. Pacarnya tidak kalah banyak tingkah. Dengan satu tangan yang bebas, dia melemparkan tanda hati menggunakan jempol dan telunjuk.

Yuniza menontoni mereka dingin. Ketika dua orang itu menjauh, dia melarikan fokusnya ke ponsel. Sebentar saja terhubung ke daya, ponselnya bisa menyala meski dayanya belum terisi sempurna. Dia mencabut ponselnya dari powerbank. Dia mencoba menelepon nomor yang tadi. Panggilannya tersambung, tapi tidak diangkat sampai dua kali usaha. Hati Yuniza masih cemas terhadap kondisi Akbar. Dia mencari nomor kontak Adnan. Jarinya meragu sesaat. Bermodal nekat, dia menekan ikon telepon.

"Halo." Panggilan itu diangkat setelah tiga kali dering.

"Ha-halo..." Yuniza belum sempat memikirkan rangkaian kata. Dia menyesali sikapnya yang sembrono. Semestinya dia menyusun dialog sebelum berani menelepon.

"Akbar menelepon kamu?" Tanpa basa-basi, Adnan berbicara.

Yuniza lega sekaligus bingung. Dia lega Adnan yang masuk duluan ke topik yang ingin dia singgung. Dia bingung bagaimana meresponsnya. "I-iya. Akbar... dia baik-baik aja?"

"Nggak."

Yuniza bisa mendengar nada dingin di jawaban Adnan. Dia tambah gelisah. "Ada apa sama Akbar?" tanyanya.

"Nggak penting. Telepon Akbar tadi, nggak perlu kamu pedulikan. Dia sedang cari perhatian saja." Terdengar suara helaan napas di seberang. Yuniza berdesir mendengarnya. Bagaimana bisa suara helaan Adnan begitu maskulin?

"Apa masih ada lagi?" Adnan kembali berucap.

Yuniza terhenyak. Dia baru saja nyaris tenggelam dalam lamunan. "Ah, itu, ehm... apa aku boleh ngomong sama Akbar?"

"Buat apa?" Suara Adnan meninggi.

Yuniza terkejut sampai spontan berdiri dan menyahut, "Bukan. Bukan yang aneh-aneh. Aku cuma mau minta maaf. Tadi teleponnya mati karena ponselku lowbat."

"Nggak usah. Nanti saya yang sampaikan."

"Tapi aku mau ngomong sebentar. Cuma sebentar. Kamu boleh dengar kalau kamu mau. Nggak ada rahasia," tawar Yuniza. Entah mengapa dia merasa harus ーsangat harusー mendengar suara Akbar.

Adnan diam untuk waktu yang cukup lama. Yuniza perlu memeriksa layar ponselnya dan memastikan ponselnya masih terhubung panggilan ke sana. Masih terhubung. Lawan bicaranya saja yang bungkam.

Apa permintaannya berlebihan?

Yuniza mencari spot menelepon berbeda demi meredam gelisah menunggu keputusan Adnan. Tak sengaja dia menendang sesuatu yang berbunyi 'kresek'. Yuniza berjongkok. Dia mengambil kantong plastik berlogo klinik.

Obat Keysha? Kok bisa di sini? pikirnya heran.

"Apa kamu sibuk?" Adnan bersuara lagi.

Yuniza segera berdiri. "Ya? Ah, nggak. Aku nggak sibuk. Kenapa?"

"Mau bertemu Akbar sebentar?"

Bertemu...

Akbar?

Benak Yuniza langsung memutar wajah tampan Akbar, gaya rambut lucu itu, senyum imut, dan cara bicara si anak yang menggemaskan. Yuniza menggangguk kuat-kuat. Dia ingin bertemu Akbar. Kemudian tersadar lawan bicaranya tidak bisa melihat gerak kapalanya. "Mau. Dimana?"

"Saya kirim alamatnya. Atau mau saya jemput?"

"Sebentar, maksud kamu ketemu Akbar sekarang juga?" Yuniza tegang.

"Iya. Nggak bisa?"

"Bisa, bisa. Tapi..." Yuniza berangkat kuliah bersama Deyon dan Keysha. Mobilnya dibawa ke tempat servis oleh ayahnya. Mendadak dia menyesal karena tidak meminjam mobil ayahnya untuk berangkat ke kampus.

"Mau saya jemput?"

Sayup-sayup tertangkap suara tangisan dari balik suara Adnan. Yuniza menebak itu adalah suara tangis Akbar. Dia tak tega meminta dijemput Adnan sementara Akbar membutuhkannya.

"Aku aja yang ke sana." Yuniza memutuskan menggunakan taksi.

"Oke. Saya matikan teleponnya. Alamatnya saya kirim di WhatsApp."

Telepon mereka berakhir. Beberapa detik kemudian WhatsApp Yuniza mendentingkan notifikasi. Adnan mengirim alamat rumahnya dengan cepat, termasuk di dalamnya share location. Yuniza membaca alamat yang diterimanya perlahan-lahan, lalu mengulangnya lagi, dan masih sulit percaya.

Enggan berpikir lama-lama, Yuniza membereskan barang-barang di meja. Dia juga memasukan obat Keysha ke tasnya. Urusan alamat rumah Adnan, dia akan serahkan ke sopir taksi. Biar si sopir yang menemukan dan mengantar ke rumah Adnan.

Ketika taksi yang dia tumpangi mengantarnya sampai depan gerbang rumah Adnan, tubuh Yuniza merinding. Dia tidak pernah menyangka akan ada kebetulan yang segila ini.

###

29/03/2023

Tambah penisiriiin 😱 tolooong segera terbitin lanjutannya!!

Kalian mikir kaya gitu? 👆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro