20
Pemuda itu bangun tidur. Kamarnya masih gelap. Jam weker di nakas belum menggaungkan deringan. Hari itu berbeda. Reyyan bangun lebih awal. Dia menggaruk sisi kepalanya. Diam sejenak, menimbang kembali tidur atau bangkit dari kasur. Tangannya menggapai ke sisi lain kasur. Kosong, pikirnya.
Dia menyalakan lampu di sisi nakas. Benar dugaannya. Sisi kasurnya kosong.
Reyyan menyisir kamar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya. Dia melompat dan menyambar saklar di dekat pintu. Ruangan terang. Namun yang dicari tak ada.
Dia keluar kamar. Di seberang kamarnya, ada kamar adik perempuannya. Kecil kemungkinan yang dicari ada di sana, tetapi dia tetap memeriksa kamar Dira. Hanya ada Dira yang sedang tidur.
Pilihan lain adalah memeriksa kamar ayahnya. Reyyan menatap ujung lorong kamar tidur anak di rumah itu yang berada di sisi lain kamar tidur utama. Ada ruang makan dan dapur yang memisahkan lorong kamarnya dan kamar utama. Lampu di ruang makan dan dapur mati. Beberapa berkas cahaya lampu taman mengintip dari pintu kaca sepanjang sisi kiri ruang makan. Meski sedikit temaram, Reyyan ragu sosok yang dia cari berani melintasi kegelapan tersebut.
Melawan dugaan, Reyyan melintasi ruang makan. Dia sengaja menyalakan lampu. Langkahnya sedikit ragu menuju satu-satunya kamar di ujung. Daun pintu terbuka sedikit. Ruangan di dalam gelap. Reyyan mengintip. Ketika suara rintihan tertangkap indranya, Reyyan bergegas mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tangannya menekan saklar lampu. Ruangan terang. Matanya segera menemukan Akbar di tengah-tengah kasur.
"Akbar, kamu kenapa di sini?" Reyyan mendekat. Dia mengelus kepala Akbar.
"My stomach ugh..." rintih Akbar sembari memegangi perutnya. Badannya meringkuk miring ke kanan.
Reyyan memegang tangan Akbar untuk memeriksa perut adiknya. Dia mengangkat baju Akbar dan memegang perut Akbar. "Ini sakit?" Dia menekan bagian tengah perut Akbar.
"I'm sick." Akbar bangun dan memeluk Reyyan.
Reyyan menggendong Akbar. Dia memerlukan kotak P3K yang disimpan di dapur. Akbar memeluk lehernya erat-erat saat dia keluar kamar. Kotak P3K ada di dalam salah kabinet atas. Reyyan mendudukan Akbar pada kitchen island supaya mudah mengambil kotak P3K.
"Ini sakit." Akbar menunjuk perutnya.
"Cek temperature dulu." Reyyan memeriksa suhu tubuh Akbar memakai termometer. Suhunya normal. "Yang mana lagi yang sakit?" tanya Reyyan sembari menekan-nekan perut Akbar. Dia merasakan perut adiknya keras tidak seperti biasanya.
"Sakiiit," rintih Akbar. Tangannya meremas perut.
Reyyan bingung. Dia tidak bisa sembarangan memberikan obat ke Akbar jika dia sendiri tidak yakin dengan penyebab keluhan sakit Akbar. Mencari jalan solutif, Reyyan memberikan Akbar segelas air putih, meminta anak itu menunggunya di sofa, sementara dia berlari ke kamar untuk mengambil gawai. Dia tidak bisa mengharapkan ayahnya akan membantu di jam segini sehingga dia menekan nomor ponsel neneknya.
"Nek, Akbar sakit. Tolong ke sini," katanya tergesa-gesa.
Tak sampai lima menit, neneknya sudah datang. Betapa beruntungnya dia memiliki nenek yang tinggal persis di sebelah rumah.
"Cucu kesayangan Nenek. Cup cup cup. Mana yang sakit? Kasih tahu Nenek."
Reyyan menonton Akbar yang merengek manja ke neneknya. Sudah bukan sekali dua kali dia menjadi terlupakan saat mereka berdua bertemu. Dia menyibukan diri membuat teh manis hangat dua gelas.
"Kamu sih! Sudah Nenek bilang minum air yang banyak. Perutnya sakit karena susah poop tuh." Nenek mencolek ujung hidung Akbar. Ucapannya berkebalikan wajahnya yang penuh senyuman dan sumringah.
"Aku udah minum air. Udah banyak." Kaki Akbar yang menggantung di atas kursi makan menendang udara.
Reyyan memperhatikan kebiasaan adiknya jika kesal. Kemudian mendesah. Dia membawa dua gelas di kanan dan kiri, lalu bergabung bersama nenek dan adiknya di meja makan. Dia meletakan satu gelas di meja di depan neneknya. Gelas yang satu lagi ditaruh di depan Akbar.
"Kamu susah poop?" tanya Reyyan. Dia baru tahu soal ini.
Akbar tidak menjawab. Anak itu hanya cemberut dan menunduk.
Nenek yang menyahut, "Nggak mau poop dari kemarin. Sakit deh perutnya."
Reyyan menarik kursi dan duduk di dekat Akbar. "Kamu nggak poop sejak kapan?"
Akbar menolak menjawab. Dia memeluk nenek.
Reyyan menarik napas. Perginya sang ayah untuk beberapa hari sudah cukup merepotkan. Sekarang dia harus mengurus adik yang kesusahan buang air besar. Pemuda itu tidak tahu bagaimana mengatasi masalah ini.
"Ayo ke kamar mandi," ajak Reyyan. Dia mencoba mencari solusi sederhana. "Abang temenin. Mau di kamar mandi ayah atau di kamar mandi kita?"
"Nggak mau. No. No. No. Sakit." Akbar menggeleng, masih memeluk nenek.
"Akbar, kamu harus coba poop. Minum tehnya. Udah hangat. Habis itu kita coba poop. Abang tungguin," Reyyan memerintah.
"Nggak mau!"
"Minum dulu. Nanti poop-nya gampang."
"NGGAK!"
"Akbar!" Reyyan meninggikan suara. Hal tersebut jarang terjadi. Dira adalah langganan ditegur Reyyan, tetapi belum pernah mendapatkan seruan sekeras Akbar barusan.
Baik Reyyan maupun nenek tahu betapa Akbar sangat menyukai Reyyan. Menerima sikap tegas Reyyan menyebabkan Akbar berkaca-kaca. Tak sampai lima detik, anak itu sudah menangis. Nenek merentangkan kedua tangan menawarkan pelukan untuk menenangkan. Dia paling tidak tega melihat cucu kecilnya menangis. Berkebalikan sikap Reyyan. Pemuda itu mengulurkan tangan kirinya. Akbar melihat dua tawaran itu bergantian, lantas meletakan tangannya di atas tangan Reyyan.
Tanpa membuang waktu, Reyyan menuntun Akbar menuju kamar Adnan. Terdapat kamar mandi di dalam ruangan dan biasanya Akbar menggunakan kamar mandi tersebut.
"Kamu coba duduk dulu. Kalo belum bisa keluar juga, nggak apa-apa. Bilang aja." Reyyan membantu Akbar membuka celana di depan kamar mandi. "Mau Abang temani di dalam atau Abang tunggu di luar?"
"Di luar," jawab Akbar. Dia masih sesenggukan.
Reyyan tersenyum sambil mengusap air mata di kedua pipi Akbar. "Maafin Abang kalo tadi bikin Akbar kaget."
Akbar mengangguk.
"Nah, masuk." Reyyan menepuk paha Akbar lembut. Adiknya masuk kamar mandi sendirian.
Nenek mendekat dan tampak kesal. "Nenek nggak suka kalo kamu kasar-kasar gitu ke Akbar. Adiknya lagi sakit, harusnya dibaik-baikan," keluhnya.
Reyyan bangkit. Ada fakta lain di rumah ini, yaitu posisi Akbar yang spesial bagi nenek. Reyyan tidak mempermasalahkan. Toh, dia sudah besar dan tidak terlalu membutuhkan perhatian sebesar yang diberikan nenek ke Akbar. Yang kadang menjadi persoalan ialah sikap terlalu melindungi versi nenek yang memangkas otoritas Reyyan mengasuh Akbar.
"Maaf." Reyyan mengalah. Ayahnya sudah sering mengingatkan untuk mengalah dan menghindari adu mulut dengan nenek. Bagaimanapun Reyyan sadar betapa besar jasa nenek menjaganya dan kedua adiknya.
"Jangan diulangi lagi. Kasihan Akbar. Nanti dia trauma."
"Iya."
Nenek puas terhadap sikap menurut Reyyan. Benar kata ayahnya, perempuan mudah disenangkan jika laki-laki 'nggeh' dan ngangguk.
"Abaaang, sakit. Nggak mau poop."
Reyyan masuk kamar mandi. Dia menurunkan Akbar dari closet. "Nggak apa-apa. Kita makan terus minum obat. Nanti perut kamu nggak sakit lagi."
Usaha Reyyan itu tetap tidak berhasil. Setelah mereka sarapan dan Akbar diberikan obat pencahar anak, Akbar belum juga membaik. Di perjalanan ke sekolah, Akbar makin rewel mengeluhkan sakitnya. Hari itu Reyyan memutuskan tidak masuk sekolah untuk menemani Akbar ke klinik.
"Nenek udah bilang nggak usah dibawa sekolah, ngeyel aja sih. Sekarang kamunya di mana?" omel nenek dari seberang.
"Lagi ke klinik. Nenek tolong hubungi dokter Faris. Bisa nggak dia terima pasien pagi?" Maksud Reyyan menelpon neneknya bukan hanya memberi tahu kondisi Akbar. Dia butuh bantuan neneknya untuk membuat janji dengan dokter anak.
"Nenek coba hubungi. Moga bisa. Kamu bisa bawa Akbar sendiri ke klinik?"
"Bisa." Reyyan mengelus punggung Akbar. Anak itu duduk meringkuk di pangkuannya.
"Coba kamu bilang mau bawa Akbar ke klinik, Nenek nggak jadi terapi. Apa Nenek nyusul kamu ke sana aja?"
"Nggak usah, Nek." Alasan Reyyan membawa Akbar sekolah adalah karena tidak ada neneknya di rumah. Memang masih ada Param di rumah nenek yang bisa menjaga Akbar, tetapi Param pasti sibuk dengan pekerjaannya. Opsi lain yang masih ada tinggal tantenya. Reyyan lebih suka mencoret duluan opsi yang ini.
"Gitu selesai terapi, Nenek langsung ke sana. Jagain adik kamu. Nanti Nenek kabari bisa janji sama dokternya atau nggak. Hati-hati ya, Rey."
"Iya, Nek. Makasih." Reyyan menutup telepon usai neneknya puas memberikan wejangan lain.
"Abang." Akbar mendongak.
"Hm?"
"Ayah..." Bibir bawah Akbar maju. Dia tidak sanggup melanjutkan ucapannya karena tertelan tangisannya sendiri.
"Mau nelepon Ayah?"
Akbar mengangguk, lalu menggeleng.
Reyyan diam-diam mengirim pesan ke ayahnya mengatakan tentang kondisi Akbar. Dia berharap ayahnya bisa membantu entah itu melalui telepon atau video call.
MoM
"Ada banyak penyebab konstipasi. Bisa jadi karena kurang konsumsi makanan berserat, kurang olahraga, kebiasaan menahan buang air, konsumsi obat, ada juga karena stres. Kalau tahu penyebabnya, lebih mudah mencegah kejadian serupa di kemudian hari," kata dokter Faris setelah memeriksa Akbar. Dia adalah dokter anak kesukaan Akbar. Untuk hari ini berbeda. Suasana hati Akbar buruk. Dokter favoritnya tidak lagi tampak menarik. Anak itu hanya mau bergelung di pangkuan abangnya.
"Nanti saya tanya ke nenek soal penyebabnya. Untuk pengobatannya gimana, dok? Akbar masih belum mau poop setelah minum obat." Reyyan sesekali memegang kening Akbar. Dia takut adiknya demam.
"Perbanyak makanan yang mengandung serat seperti sayur dan buah. Beri banyak minum air putih. Ajak olahraga. Anak kecil biasanya suka diajak kegiatan fisik. Motorik mereka gerak memengaruhi otot usus. Kalau obat pencahar yang diminum kurang efektif, masih ada jenis obat pencahar yang dimasukan dari dubur."
Akbar mengangkat wajahnya. Begitu pula Reyyan yang sama tertarik pada jawaban dokter.
"Dubur? Apa itu?" tanya Reyyan. Dia belum tahu makna kata tersebut. Menjadi langganan juara kelas tidak menjamin dia tahu segala hal.
"Dubur itu anus."
"What's anus?" Akbar menyahut.
"The place where your stools come out," jawab dokter Faris.
Mata Akbar membesar. Dia duduk tegak dan mencondongkan badannya pada meja. "Anus itu bol?"
Dokter Faris sedikit tersentak baru mengangguk agak ragu. Reyyan mengernyit malu. Dari sekian banyak kata, bisa-bisanya Akbar memiliki kosakata bol yang memang sinonimnya anus.
"How you can put medicine into my bol?" Akbar bertanya dengan kedua tangan terentang di atas meja menahan badannya.
"Ah itu..." Dokter Faris melirik Reyyan sekilas. "Obatnya punya ujung yang agak panjang yang nanti bisa dimasukan ke-"
"AAAAKH!" Akbar melompat turun dari pangkuan Reyyan. Secepat kilat dia berlari keluar.
Reyyan kalah selangkah menangkap Akbar akibat kakinya menabrak kaki meja. Dia berlari keluar. Akbar menghilang di tikungan lorong. Anak itu bergerak gesit menyalip orang-orang dewasa. Reyyan sebaliknya. Dia harus berhati-hati sebab banyak ibu hamil dan anak kecil di sepanjang lorong.
"Tolong tangkap, Sus!" seru dokter Faris dari belakang Reyyan.
Suster yang berjalan dari arah berlawanan menangkap instruksi dengan baik. Dia merentangkan tangan menghalangi Akbar. Sayangnya Akbar lebih sigap menundukan badan dan menghindari sergapan si suster. Anak itu berlari tambah kencang. Suster segera mengejar Akbar.
Dengan tiga orang yang mengejar, Akbar berlari tak tentu arah. Dia masuk ke kafetaria di belakang klinik. Pintu kafetaria ada dua. Dia masuk dari pintu depan kafetaria dan keluar dari pintu belakang menuju parkiran samping klinik. Juru parkir diteriakan dokter Faris untuk menangkap Akbar. Sekali lagi Akbar berhasil meloloskan diri. Anak itu bagaikan belut. Dokter Faris menyuruh si juru parkir kembali bekerja dan mengucapkan terima kasih.
Reyyan tidak melepaskan matanya dari Akbar. Mereka tidak lagi di dalam bangunan klinik dan Reyyan cemas. Ketika Akbar berbelok masuk lewat pintu samping, Reyyan tersenyum tanpa sadar.
Anak kecil itu berlari ke lobi. Ruangan yang lebih lapang memudahkan Reyyan berlari lebih kencang. Suster kelelahan mengejar Akbar menepi dan menyandarkan badan ke dinding. Reyyan berujar sambil berlari, "Makasih, Sus."
Suster itu kehabisan napas dan hanya bisa mengangguk. Tak beda dengan suster, dokter Faris juga melambatkan larinya saking kelelahan.
Akbar berbelok di ujung lobi. Reyyan berhenti. Dia menaikan pandangan. Itu adalah lorong toilet yang bercabang untuk toilet perempuan dan toilet laki-laki. Sementara ada papan yang dipasang di tengah jalan yang menyatakan toilet dalam perbaikan. Reyyan ingin mengerang tanpa suara. Ulah adiknya benar-benar di luar nalar.
Berberat hati dia masuk ke toilet laki-laki. Akbar tidak ada di situ. Reyyan memejamkan mata. Kesabarannya diuji Akbar. Dia menyeret kakinya ke toilet di seberang. Toilet khusus perempuan. Dia belum pernah masuk toilet perempuan semenjak SD. Dia tidak percaya dia akan memiliki sejarah kelam masuk toilet perempuan gara-gara adiknya.
"Akbar," panggil Reyyan. Suara agak bergetar karena menahan marah.
"Why you hurt me?" raung Akbar dari salah satu bilik yang terdekat.
"Abang nggak mau nyakitin kamu." Reyyan mendekati bilik tersebut. Ada kelegaan menemukan pintu bilik tidak dikunci Akbar.
"Abang mau tusuk bol aku," sanggah Akbar. Dia menangis meraung.
"Akbar, Abang nggak-"
"AKU NGGAK MAU ABANG. NGGAK MAU DOKTER. NGGAK MAU OBAT!"
"Akbar, dengerin Abang sebentar. Abang nggak mau tusuk bol kamu."
"Nanti dokter tusuk bol aku. Aku nggak suka. Nggak mau. Mau nenek aja. NENEEEEK!"
"Nanti Nenek ke sini. Kamu keluar dulu. Kalau nggak keluar, nanti nenek cariin kamu. Yuk, keluar yuk." Reyyan mencoba mendorong pintu.
Akbar duduk di closet. Wajahnya basah oleh air mata. Reyyan merasa bersalah telah membuat adiknya bersedih. Dia mengulur tangan. Akbar memandang tangan Reyyan agak lama. Hati Reyyan agak tenang saat Akbar menerima uluran tangannya. Dia membantu Akbar keluar dari bilik. Begitu dokter Faris muncul, Akbar tiba-tiba menjerit. Reyyan yang terkejut melepaskan tangan Akbar.
Anak itu kembali berlari. Reyyan berdecak jengkel. Dia lelah dan kesal. Kombinasi yang tepat untuk menangkap dan menggendong Akbar pulang secepatnya. Hanya saja keinginan itu agak susah tercapai karena Akbar memiliki kejutan lain. Adiknya berlari ke seorang perempuan di lobi. Dan badai masalah dimulai dari situ.
###
13/02/2023
Drama tusuk bol sudah lengkap ya 😎👌
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro