13
Yuniza memandang langit yang cerah dalam tatapan merana. Dia baru keluar dari kelas. Letih pada wajahnya menggambarkan kesulitan yang dia terima dari mata kuliahnya barusan. Namun itu belum seberapa dibandingkan masalah yang tengah dia tanggung.
Ingin sekali dia terbangun dari mimpi buruk ini dan mendapati segalanya kembali pada tempatnya. Tak ada janin di rahim Keysha. Dia belum pernah mengenal Adnan. Yang paling utama ialah dia tidak harus mengalami yang namanya putus harapan. Sempat dia berpikir bahwa inilah azab yang dia terima akibat pernah menolak lamaran Rio. Sekarang dia bertanya-tanya, jika azab ini benar berlaku padanya, lantas kapan azab ini selesai?
Badannya bersandar pada dinding dekat kusen jendela. Tatapannya turun ke bawah. Banyak mahasiswa dan staf universitas yang hilir mudik di jalan setapak yang menghubungkan gedung ini dan gedung lain. Dari lantai tiga, dia dapat melihat cukup jelas wajah-wajah yang lalu-lalang di sana. Sebagian tidak dikenalnya, sedikit yang dia tahu namanya, dan sisanya adalah orang-orang yang pernah ditemuinya di kelas tapi tak diingat namanya. Yuniza tertawa kecil. Betapa lucu hidupnya, pikirnya. Dia hampir lulus dari universitas ini dan belum kenal banyak orang di situ.
"Hai, Za." Seorang pemuda menyapa. Badannya jangkung dan kurus. Penampilannya sederhana. Kemeja flanel yang tidak dikancing melapis kaos bergambar rolling stones serta celana jins longgar. Butuh beberapa detik bagi Yuniza untuk mengenali wajah si pemuda.
"Kamu yang ikut matkul Pak Hambali bareng aku, ya? Kamu..." Yuniza gagal mengingat nama pria muda itu.
"David," kata si pemuda sambil tersenyum.
"Ah! Iya, David." Yuniza mengangguk takjub. Nama yang disebutkan bahkan tidak mampir di benaknya saat dia mencoba mengingat nama si pemuda. "Kamu habis kuliah apa?" tanyanya berbasa-basi.
"Kelas siang kok. Kamu sendiri lagi apa? Nggak makan siang?"
"Mau makan siang. Nanti." Yuniza belum menerima balasan pesan dari dua temannya dan dia terlalu malas untuk makan sendirian di kantin.
"Udah ada janji? Kalo belum, makan bareng aku. Gimana?" David menawarkan.
"Nggak usah repot-repot. Makan aja duluan."
David menggaruk belakang kepalanya saat berbicara, "Kalo lain kali, kita bisa makan bareng?"
Oh, astaga, Yuniza mengenal gelagat ini. Gestur dan ekspresi yang menyiratkan minat seorang cowok kepada cewek. Dia sudah beberapa kali mengalami situasi semacam ini. Akan mudah bagi Yuniza menolak David dan menarik garis batas yang tegas mengenai relasi yang dia inginkan. Di saat yang bersamaan dia ingat pikirannya sendiri soal azab tadi. Dia telah bersikap seenaknya ke Rio dan dia mendapatkan hasilnya kini. Daripada memperoleh dua kali azab, Yuniza memutuskan bersikap lebih baik ke David. Nanti, dia menegaskan dalam hati, dia akan memberi tahu dengan jujur bahwa saat ini dia hanya ingin berteman.
"Boleh," jawabnya. Makan sekali dua kali tidak akan mempengaruhi banyak hubungan mereka.
"Oke kalo gitu-"
"ZA!"
Yuniza dan David menoleh serempak ke asal suara yang mengintrupsi. Mata Yuniza membesar melihat siapa yang menyela. Dia adalah Keysha si sumber kegalauan. Belum cukup Yuniza kaget, di belakang Keysha muncul Deyon bersama cengiran luar biasa lebar yang membuat bergidik. Ketika Yuniza berpikir siangnya sudah cukup menyebalkan dengan kemunculan sejoli yang biasanya cuek terhadap eksistensinya, Yuniza dibuat tercekat mendapati ada figur lain yang ikut bersama dua sejoli tersebut.
"Taik?" gumam Yuniza ragu-ragu.
"Hah? Apa, Za?" David menoleh setengah terkejut.
Yuniza segera menggeleng. "Bukan apa-apa."
"Kamu kenal mereka?" tanya David.
"Iya. Kamu masih mau ngomong yang lain?" Yuniza tidak ingin David berkenalan dengan Keysha, Deyon, dan si 'taik?'.
"Nggak. Kalo gitu, aku pergi duluan. Bye, Za."
"Bye."
David pergi sebelum Keysha dan rombongan sampai di hadapannya. Rasanya sedikit lega sebab dia tidak perlu mengenalkan David ke mereka sebagai ajang sopan-santun bucyuk.
"Siapa tuh?" Keysha terlalu jeli untuk melewatkan perhatiannya dari sosok David.
"Teman satu matkul." Yuniza melongok ke belakang Keysha dan berbisik, "Kamu yang bawa anak ini?"
"Oh, iya." Keysha bergeser untuk memberikan ruang bagi sosok kecil di belakangnya tampil. "Anak lucu plus keren ini namanya Akbar. Dia bilang dia punya bisnis sama kamu," kata Keysha dengan gembira.
Yuniza mengernyit. Dia bertemu anak kecil itu sekali di warung milik Mia. Bagaimana bisa dia memiliki bisnis dengan bocah itu?
"Hai, Kak Yuniza. Aku Akbar. Masih ingat?" Mata Akbar membulat penuh harap saat bertanya.
Yuniza mengangguk spontan. Dia tidak mudah melupakan bocah yang menasihatinya soal buang air besar.
"Ini Pak Nandar yang antar aku ke sini. Apa kita bisa bicara berdua?" Akbar berbicara pelan dan rapi layaknya anak yang menghapal teks.
Yuniza bertukar pandangan heran ke Keysha dan Deyon. Dua orang itu kompak menggeleng kecil. Dia beralih ke Nandar yang tersenyum sungkan. Kemudian menunduk ke Akbar. Jika Nandar yang ingin bicara, dia akan terima. Ini bocah yang dari ukurannya terlihat belum akil balig. Yuniza dibuat penasaran pada alasan anak itu mendatanginya.
"Kamu mau ngobrol di taman?" Yuniza tidak akan menyarankan koridor tempat mereka berkumpul ini. Sekalipun hanya satu dua orang yang melintas, keberadaan Akbar telah menyita perhatian setiap orang yang lewat.
"Sure," respons Akbar cepat.
Yuniza melirik Keysha sekali lagi sebelum memimpin rombongan kecil itu menuju taman di luar gedung. Akbar girang membuntuti Yuniza. Hal itu terlihat dari langkah si anak yang setengah melompat. Ketika Keysha, Deyon, dan Nandar menunggu di bangku taman yang dekat jalan setapak, Akbar bersenandung kecil. Yuniza heran mengapa anak itu tidak memiliki rasa takut saat dia mengarahkannya menjauh dari keramaian.
"Kita bisa ngobrol di sini. Kamu bisa duduk di situ." Yuniza menunjuk batu yang diamplas menjadi kursi panjang tanpa lengan. Dia sendiri duduk di kursi batu khusus satu orang.
Akbar naik ke kursi yang tingginya selutut orang dewasa dengan mudah. Yuniza memperhatikan penampilan Akbar sekilas dan merasa takjub. Anak itu benar-benar sangat modis.
"Sebelum kamu ngobrol, Kakak boleh tahu gimana kamu bisa datang ke sini?"
Akbar menggeleng. "Aku nggak mau kasih tahu."
"Kakak harus tahu. Kalo Kakak nggak tahu, Kakak nggak mau ngobrol sama kamu." Yuniza menyikapi tingkah sok dewasa Akbar dengan santai. Pengalaman pertama bercakap bersama bocah itu telah memberinya petunjuk untuk stay woles. Sama bocah nggak usah emosi supaya tidak down grade level maturity.
"Oke." Akbar tersenyum. "Aku datang ke warung, teruuuus nanya ke kakak cantik yang di situ. Dia kasih tahu aku kampus Kakak. And here I am."
Kepala Yuniza naik turun saking takjubnya. Kemudian dia tersadar untuk kembali bertanya, "Kenapa kamu mau ketemu sama Kakak?"
"Because we needa talk. It's important." Akbar memajukan badan dan berubah serius.
"Apa itu?" Yuniza sedikit terpengaruh perubahan suasana yang ditimbulkan Akbar.
"It's about the future of you and me and my brother and my sister and my grandma and Susuku." Akbar mengacungkan jarinya satu per satu saat berbicara.
"Maaf. Kamu ngomong tentang apa? Kakak nggak paham," aku Yuniza.
"I talk about us. You..." Akbar menunjuk Yuniza. "And ME." Dia menunjuk perutnya sendiri.
"Hah?"
"You must marry."
"Apa?"
"You must marry my ayah."
Yuniza membelalak. Dia tahu anak berambut jigrak ini memiliki potensi menggebrak kewarasan orang dewasa. Hanya saja kali ini kemampuan si anak terlalu kuat sampai Yuniza mengalami 'loading data' sangat lama.
Siapa anak ini? Pertanyaan itu timbul setelah dia menganga beberapa detik.
###
11/11/2022
Akbar ya 😑 untung dikau lucu jadi banyak yang nunggu. Kalo di realita, Akbar ini potensi bikin adults waswas kena ocehannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro