Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

Adnan menyandarkan bahu pada kusen pintu kaca kamarnya yang tinggi dan menghadap ke kolam renang. Ada putra bungsunya yang tengah berenang. Pada alfresco, putrinya duduk dengan kaki bersilang di atas kursi dan menghadap kolam. Adnan senang melihat tanggung jawab yang ditunjukkan anak keduanya kepada sang adik. Nadira mengawasi Akbar sekalipun tidak turut masuk ke air. Biasanya Reyyan yang rajin mendampingi Akbar berenang. Sekali ini, anak itu memiliki kesibukan di luar rumah pada akhir pekan.

Pandangan Adnan naik ke langit. Cuaca cerah dan angin berembus sejuk. Sungguh kombinasi yang tepat untuk merilekskan pikiran. Nyatanya dia kesusahan tidur semalam dan pagi ini masih gusar. Dia tidak pernah menyangka seorang gadis berhasil mengacaukan kedamaian yang selama ini dia jaga.

Adnan kepikiran bagaimana perasaan Yuniza. Dia tahu tindakannya membawa Yuniza ke sekolah tiap anaknya akan memberikan pukulan, tetapi sikap perempuan itu sebelum mereka berpisah membuatnya terbayang-bayang.

"Aku nggak mau ambil balik. Kue itu aku buat untuk kamu makan. Sekarang, aku punya alasan lain untuk ngasih kue itu ke kamu. Selamat menikmati kue itu bareng anak-anak kamu. Semoga mereka suka. Aku menggunakan tepung terigu, susu, krim, telur, dan butter. Barangkali info ini kamu butuhkan buat anak kamu yang alergi." Kata-kata Yuniza sebelum turun dari mobilnya terputar dalam benak Adnan.

Dia telah bertemu bermacam-macam perempuan. Dari sekian banyak perempuan, dia baru pertama kali menemukan perempuan yang bersikap sebaik Yuniza. Kebanyakan dari mereka memaki Adnan ketika pendekatan itu tidak berjalan lancar. Tak jarang dia menerima kekerasan fisik, dari tendangan di tulang kering, pukulan tas, hingga tamparan. Adnan sempat menyiapkan hati andaikan Yuniza akan menghadiahkannya pukulan. Namun perempuan itu malah menunjukkan perhatian kepada anak-anaknya. Perhatian kecil itu terasa istimewa.

"Yaaaah!" seru Nadira.

Adnan mengenyahkan Yuniza dari kepalanya. "Hm?" Adnan keluar dari kamarnya melalui pintu kaca yang terhubung ke alfresco.

"Aku diajak temanku ke Senci. Boleh, Yah?" Nadira melompat dari kursi.

"Don't let her go. She may waste her pocket money for trash," Akbar menyela dari pinggir kolam. Entah sejak kapan anak itu sudah berenang ke tepi.

"Anak kecil nggak usah ikut campur. Baca buku kamu aja sana." Nadira melotot.

Adnan menggeleng. Ketenangan yang sempat dia banggakan dari dua anaknya ini hancur. "Akbar, Ayah sudah ingatkan, jangan bicara kasar ke Kak Dira."

"I didn't, Yah." Akbar mengangkat kedua bahunya. "I remind you her habit."

"Kamu ngatain trash ke koleksi aku." Nadira bertolak pinggang.

"What should I say about those weird books?"

"Itu komik. Komik bukan buku aneh."

"You don't get anything from those."

"Aku terhibur!"

"Is it really important reading books for entertaining? You wasted your time. You should read something knowledgeable."

"Aku nggak perlu buku-buku di kamar kamu. Aku puas baca komik." Nadira menoleh ke Adnan penuh tuntutan. "Masukin Akbar ke SD Negeri aja kalo masih ngoceh bahasa Inggris di rumah. Dia udah melanggar aturan berbahasa Indonesia selama di sini."

"Noooo! Ayah, aku suka english." Akbar memanjat keluar dari kolam.

"Akbar nggak bisa main sama anak sini karena dia terus-terusan ngoceh soal terbentuknya galaksi dan teori energi. Anak-anak di sini mikir Akbar itu aneh."

"Aku nggak aneh."

"Kamu aneh."

"Kak Dira yang aneh."

"Aku nggak aneh."

"Kakak aneh."

"Akbar aneh."

Adnan pusing. Dia berada di tengah pertengkaran dua anaknya. Akan lebih mudah jika ada Reyyan. Anak sulungnya selalu tahu cara membungkam dua adiknya. Sementara Adnan sering ragu mengambil tindakan karena tak ingin menyakiti salah satunya.

"Nadira. Akbar. Kalian nggak harus bertengkar," Adnan mencoba menengahi.

"Akbar yang mulai!"

"Kak Dira yang salah!"

Mereka kompak menyahut.

Adnan mendesah. Bukan sekali dua kali Nadira dan Akbar berdebat. Hampir tiap hari ada saja bahan pertengkaran untuk mereka seakan mereka tidak semestinya hidup berdampingan. "Kalian berdua sama-sama salah. Saling minta maaf atau Ayah kunciin kalian berdua di ruang laundry? Nadira, kamu boleh pergi setelah minta maaf. Minta diantar Pak Nandar. Akbar, kalau sudah selesai berenang dan minta maaf, ayo main sama Ayah."

Nadira dan Akbar saling lirik tajam. Adnan kembali bicara. "Mau minta maaf atau dikunciin?"

Mereka berdua berdecak berbarengan. Jika melihat tingkah mereka, sulit menyangkal bahwa mereka adalah saudara kandung. Tetapi kenapa mereka selalu langganan berperang? Adnan tak habis pikir.

"Maaf."

"Sorry."

Adnan bersidekap. Mana ada yang bisa menerima permintaan maaf sambil membuang muka layaknya musuh. Dia menggeleng, menolak sikap keras kedua anaknya. "Lihat wajah Kak Dira, Akbar. Dira, menghadap Akbar. Senyum. Terus minta maaf."

Nadira dan Akbar saling berhadapan. Sudut bibir mereka ditarik membentuk seringai. Dalam tatapan kesal mereka berujar, "Maaf." Dan "Sorry."

Segini sudah cukup, nilai Adnan.

Adnan mengizinkan Nadira pergi. Dia menarik Akbar duduk di kursi untuk mengobrol.

"Kamu kenapa begitu ke Kak Dira?" tanya Adnan. Dia menggeser kursinya menyamping supaya bisa berhadapan kursi yang diduduki Akbar.

"Aku enggak suka..." Akbar menggeleng. Ada kerisauan tersirat di matanya. "Kak Dira nanti bodoh."

Adnan ingin terbahak. Belum pernah dia mendengar ada adik yang khawatir kakaknya menjadi bodoh. Jika si kakak yang mencemaskan kebodohan adiknya, dia bisa menyebutkan satu nama dengan cepat. Reyyan. Ya, anak sulungnya yang gila belajar itu sering mengeluhkan kegilaan Nadira terhadap komik dan kartun asal negeri sakura. Ketika si bungsu merasakan yang sama dengan Reyyan, Adnan menemukan sisi lucu. Barangkali sikap Reyyan dicontoh Akbar.

"Akbar, Kak Dira masih belajar walau dia suka baca komik," kata Adnan.

"But she-" Akbar mengulum bibirnya buru-buru. Anak itu suka berdebat dalam bahasa Inggris, tetapi bahasa tersebut tidak diperkenankan di dalam rumah karena sebagian besar penghuninya berbahasa Indonesia. Dan Adnan sudah memberikan aturan untuk berbahasa Indonesia selama di rumah. "Kak Dira baca komik terus. Dia nggak bisa ngomong bahasa Inggris. Dia nggak tahu ibukota Jawa Tengah itu Semarang. Dia jawabnya Surabaya. Terus dia nggak tahu cartilage consist of apa aja."

"Bentar." Adnan perlu menyela sebab dia pun tidak paham apa yang baru saja disebut Akbar. "Apa itu cartilage? Ayah juga nggak tahu."

"That's- ehm, itu tulang wawan, Yah." Akbar menunjuk ke lututnya.

"Tulang rawan?" Adnan memastikan.

"Iya." Akbar mengangguk. "Kak Dira nggak tahu why tulang rrrawan so elastic. Dia jawab tulang rrrawan consist of more protein than calcium. Itu kan salah."

Adnan mengurut pelipisnya. Dia pun sebenarnya tidak tahu tulang rawan terbentuk dari apa. Jika dia diminta mendeskripsikan tulang rawan, dia mampu memberikan gambaran singkat, tetapi bukan menjabarkan unsur yang menyusun bagian tubuh tersebut.

"It should be consist of more colagen than calcium. Have she ever read her book? She got a cross due to her lack of reading good books. We must stop her being stupid," Akbar terus mengoceh.

"Akbar." Adnan memegang kedua pipi Akbar hingga bibir bocah itu tertekan pipi. Dia sudah tidak tahan inginbmemuntahkan tawa. Ada rasa geli, takjub, dan bingung menghadapi ocehan Akbar. Meskipun sudah sering mendengar Akbar membicarakan hal-hal yang berkenaan ilmu pengetahuan, Adnan masih sulit terbiasa karena si pembicara adalah anak TK.

Apakah anak orang lain juga membahas tulang rawan seperti anak bungsunya?

"Dari mana kamu tahu Kak Dira salah jawab?" Adnan melepaskan wajah Akbar.

"I found her sheet," jawab Akbar dengan bangga.

"Dimana kamu ketemu kertas itu?"

"On her desk."

Adnan ingin sekali menguyel pipi Akbar saking gemasnya. "Kak Dira tahu kamu masuk ke kamarnya?"

"She did. I entered with Abang Reyyan. Kak Dira diomelin Abang. Nilai Kak Dira jelek banget." Akbar menggeleng bak orang tua.

Ada kalanya Adnan merasa dia tertinggal banyak kabar mengenai anak-anaknya. Termasuk soal nilai pelajaran Nadira. Dia mengingatkan dirinya untuk bertanya ke Reyyan ketika anak itu pulang.

"Akbar, Kak Dira mungkin lupa jawaban dari beberapa pertanyaan, tapi Kak Dira nggak bodoh. Dan kamu nggak bisa menyalahkan Kak Dira kalau dia membuat kesalahan. Setiap orang bisa membuat kesalahan. Kalau ingin ngasih tahu Kak Dira jawaban yang benar, kasih tahu baik-baik. Kak Dira bisa sedih kalau kamu ngomongnya nggak baik-baik."

"Ayah, it's not my responsibility to take care of her feeling. She's grumpy grumpy everyday as if she's never satisfied. We cannot deal about it any longer." Akbar mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.

Adnan dapat melihat pemikiran tajam Reyyan di diri Akbar. Akan menjadi perjalanan panjang nan terjal baginya sebagai ayah untuk membina anak seperti Akbar. Namun dia menyayangi Akbar dengan segala yang dia miliki, termasuk sikap kritisnya.

"Gimana kalau Akbar cerita ke Ayah aja setiap Kak Dira ada salah? Biar Ayah yang nanti ngomong ke Kak Dira," usul Adnan.

Tatapan Akbar berubah menuding. "Ayah kan sibuk. Emang bisa?" tuduhnya.

Adnan terdiam. Dia mendapatkan 'tusukan' dari depan. Dan terburuknya, dia tidak bisa mengelak.

Recipe #11

###

22/09/2022

The big boss revealed 🥳🥳🥳 welcome to the troops, Akbar!

Kalo begini, semua tingkatan di sekolah Kimkim udah nongol ya.
Pre-N Crystal
N1 Fatih
N2 Kimkim
K1 Omar
K2 Akbar
Woaaaah 🦸‍♀️

Gaess, kalo kalian ga tau tulang rawan itu tersusun dari apa 😌 tenang ya, aku pun ga tau. Aku taunya tulang rawan yang empukan.

Sejauh ini, kalian ngerasa siapa yang udah mendekati tipe orang tua ideal?
1. Mama Ratu
2. Mama Gemintang
3. Papa Dinan
4. Om Acha
5. Ayah Adnan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro