s a t u
s a t u
GRANDPA'S GRAND WILL: WASIAT KAKEK
*
Di sinilah Kiki berada malam ini, di hadapan pria yang langsung ia kenali dalam sekali pandang. Pria yang membuatnya langsung menggelengkan kepala tidak karuan, bahkan Kiki sempat mempertanyakan kesadaran kakeknya ketika memutuskan untuk menjodohkannya dengan pria ini. Apa mungkin Tommy sedang mabuk ketika menyetujui perjodohan yang menyangkut kisah cinta cucu kesayangannya? Yang sekarang tengah dipertaruhkan adalah sisa hidupnya yang masih amat panjang. Tidak pernah sekali pun terpikir oleh Kiki untuk menghabiskan sisa waktu dalam hidupnya dengan pria di hadapannya ini.
Kelvin Arestya Hartanto, pria berusia dua puluh delapan tahun dengan rambut sekelam malam, hidung semancung paruh elang, dan lesung pipi sedalam Palung Mariana. Kelvin dikenal baik sebagai pengusaha muda nan kaya raya, tampan dan rupawan, serta tidak pernah lepas dari kesan pria yang hobi gonta-ganti wanita cantik.
Bagaimana bisa?! Benar-benar bagaimana bisa Tommy menyetujui perjodohan ini? Kiki sungguh tidak habis pikir. Ia kira, Tommy akan menjodohkannya dengan pria kutu buku yang penurut sehingga bisa melanjutkan usaha kakeknya yang terancam putus di tangan Kiki yang sudah berulang kali menolak untuk meneruskan usaha kakeknya itu. Dirinya bahkan sudah dengan matang terjun ke bidang akting serta menolak semua uang pemberian kakeknya demi menunjukkan keseriusannya.
Kelvin melirik pergelangan tangannya yang terbalut jam tangan mewah yang langsung dikenali Kiki seharga satu buah mobil mewah, "Baiklah, sudah lima menit."
Kiki mengangkat sebelah alisnya, memberi tanda bahwa ia tengah menanti penjelasan akan kalimat Kelvin yang amat ambigu.
Kelvin tersenyum miring, "Katakan apa pun pada kakekmu sebagai alasan penolakan perjodohan ini."
Kiki menganggukkan kepalanya sambil tersenyum menunjukkan persetujuannya. Ia menyesap teh hangat yang masih mengepulkan asap dengan perlahan. Setelahnya, Kiki menaruh cangkir teh hangatnya di atas piring kecil. "Baiklah. Apa pun itu?"
Kelvin mengamati semua gerak-gerik Kiki dengan santai, kemudian memasukkan ponsel yang tadinya terletak di atas meja ke dalam saku jas bagian dalam. "Tentu. Apa pun itu."
"Kelvin memohon padaku untuk menerima perjodohan ini, bahkan sampai berlutut di depanku. Tapi sayangnya, aku harus menolak perjodohan ini, Grandpa." Kiki melontarkan kalimat panjang itu dengan senyuman yang tidak luput dari wajahnya sama sekali. "Itu yang akan kukatakan pada grandpa, kuharap kamu benar-benar tidak masalah dengan itu. Apa pun itu, kan?"
Setelah kalimat itu keluar dari bibir Kiki yang terpoleskan lipstik merah bata, ia meraih tas tangannya dari pangkuannya kemudian berjalan menjauh dari meja yang tadi mereka duduki. Baru saja Kiki berjalan beberapa langkah, ia membalikkan badannya kemudian menatap Kelvin, "Oh iya, aku yang bayar. Anggap saja sebagai rasa terima kasih karena sudah setuju dengan alasan yang baru saja kusebutkan tadi."
***
"Oh iya, aku yang bayar. Anggap saja sebagai rasa terima kasih karena sudah setuju dengan alasan yang baru saja kusebutkan tadi."
Wanita di depannya ini ternyata selain berpenampilan modis, cantik, mampu secara finansial, ternyata juga sangat menarik. Jarang sekali ada wanita yang menolaknya, malah mereka menawarkan diri untuknya secara suka-suka. Selain manja, mereka juga tidak menganggap penting nilai diri mereka sendiri. Lebih tepatnya, melakukan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang mereka inginkan bahkan dengan merendahkan harga diri yang harusnya tidak perlu.
Wanita-wanita kebanyakan mendekatinya dengan anggapan bahwa dirinya adalah mangsa yang empuk. Bagaimana tidak? Berjalan di sampingnya saja sudah bisa menaikkan popularitas mereka di kumpulan para wanita sosialita. Kelvin hanya mengikuti arus permainan mereka saja, selama dirinya dapat ikut bersenang-senang.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Kiki, wanita itu bahkan membayar minuman mereka di pertemuan mereka dan dengan senang hati menerima penolakan atas perjodohan mereka. Kedua hal itu membuatnya tertantang. Mungkin ia harus memanfaatkan hidupnya yang hanya satu kali ini untuk bersenang-senang secara penuh.
Setelah memutuskan hal itu di dalam hatinya, Kelvin bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan mendekati kasir, memastikan sekali lagi jika pesanan mereka sudah dibayar oleh Kiki sesuai dengan perkataannya tadi.
Ketika mendapati kenyataan jika pesanan mereka sudah benar-benar dibayar, senyuman tidak bisa tidak terbit dari bibir Kelvin. Ia bersenandung senang, dirinya sudah yakin untuk menikmati kesenangan ini lebih lama.
***
Betapa kagetnya Kiki ketika mendapati keberadaan Kelvin di ruang kerja Tommy. Bagaimana bisa pria itu ada di sini? Apa yang sebenarnya tengah dilakukan Kelvin? Bukankah tadi mereka sudah berpisah dan memutuskan untuk menolak perjodohan ini?!
"Kenapa cucu kakek lama sekali?" tanya Tommy begitu Kiki duduk di samping Kelvin yang tengah menatapnya dengan senyum yang terlihat sangat mencurigakan. Kiki merasakan firasat buruk akibatnya.
Kevin menggelengkan kepalanya sambil berdecak. "Sudah kubilang untuk tinggalkan mobilmu di sana. Asistenku akan mengantarkan mobilmu dengan aman hingga di rumah, tapi kamu benar-benar keras kepala."
Setelah kalimat tersebut mengalir lancar dari bibir Kelvin yang membuat Kiki bingung setengah mati, tingkah laku pria itu membuatnya semakin bingung. Kelvin menepuk puncak kepalanya dengan lembut ditambah dengan senyuman aneh yang terpasang ramah di wajah tampannya.
Kiki menurunkan tangan Kelvin dengan kening yang berkerut. "Hah?" tanyanya. Keningnya berkerut dalam. "Apa maksudmu? Kamu mabuk? Atau gila? Padahal aku yakin kamu hanya menenggak kopi yang sama sekali tidak memabukkan."
Kelvin memicingkan matanya. "Kamu sedang salah tingkah? Padahal ketika kita berdua tadi, kamu malu-malu sepanjang obrolan kita." Setelahnya, Kelvin tersenyum manis lagi di depan Kiki, "Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah menjelaskan pada kakekmu mengenai perjodohan kita."
Kening Kiki masih setia berkerut. Ia tengah berpikir keras mengenai maksud dari perkataan Kelvin. Kenapa pria ini sangat suka berkata ambigu?
"Apa yang kamu katakan?" tanya Kiki yang terlihat mulai kesal. Suaranya bahkan sudah mulai ketus.
Alis Kelvin terangkat tinggi, "Kamu sudah lupa? Baiklah, akan aku ulangi." Tangan besarnya bergerak mengelus pipi Kiki sambil kembali tersenyum, "Kita menerima perjodohan ini."
"Hah?!" Pekikan Kiki langsung terdengar memenuhi ruangan. Ia menatap Kelvin tajam kemudian menarik turun tangan Kelvin dari pipinya yang sudah merah karena kesal. "Kalau kamu mau main-main, jangan di sini dan jangan denganku! Kita sudah setuju untuk menolak perjodohan ini."
Kiki mengalihkan pandangannya pada Tommy, "Ini tidak seperti yang Kelvin katakan, Grandpa. Kami setuju menolak perjodohan ini."
Kelvin masih terlihat santai. Ia menggelengkan kepalanya kemudian menarik bahu Kiki agar mereka kembali berhadapan, "Jika aku perlu untuk kembali berlutut dan memohon di depanmu agar kamu menerima perjodohan ini, akan kulakukan."
Kelvin berdiri kemudian berlutut dengan satu kakinya di samping Kiki, "Kiki, menikahlah denganku."
"Kamu benar-benar sudah gila! Semua ini tidak seperti yang kita bicarakan tadi," kata Kiki frustasi.
Tommy menyandarkan punggungnya pada kursi santainya, menikmati percakapan antara cucunya dan Kelvin yang sudah dikenalnya sedari kecil. Ia tahu jelas apa yang tengah terjadi antara Kiki dan Kelvin, namun ia memilih diam selama apa yang diinginkannya tetap terjadi. Yang Tommy perlu tahu hanyalah Kiki dan Kelvin menikah sesuai dengan harapannya.
***
Hai! Makasih sudah baca sampai sini 🤗
Cerita ini akan update 3x seminggu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro