l i m a
l i m a
GRANDPA'S GRAND WILL: WASIAT KAKEK
*
Kiki mengikuti langkah Kelvin dari belakang kemudian berhenti tepat di belakang punggung lebar pria yang baru saja melingkarkan cincin di jari manisnya, "Make me feel loved."
Kelvin membalikkan badannya kemudian menatap Kiki dengan kening berkerut, menunjukkan secara tidak langsung jika dirinya tidak pernah menduga kalimat itu keluar dari bibir Kiki yang dari awal menolak perjodohan mereka. "Pardon me?"
Kiki tersenyum sendu, "Dari siapa aku bisa mendapatkan cinta jika bukan dari kamu?"
Kiki memberi jeda dalam kalimatnya sebelum kembali melanjutkan, "I mean, kita menikah memang bukan karena cina namun tetap saja kamu pria yang kunikahi. Sudah sepantasnya aku mendapatkan cinta darimu. Apa perlu aku mencarinya dari pria lain?"
Kelvin pura-pura berpikir panjang, padahal pikirannya kosong. Lagi-lagi, lamarannya baru saja ditolak seminggu yang lalu dari wanita yang tumbuh bersamanya selama delapan tahun, bagaimana bisa dirinya memberikan rasa cinta pada orang lain? Namun, karena tidak ingin menciptakan suasana buruk yang bisa membuat Kiki malu kemudian memperburuk hubungan mereka berdua ke depannya, Kelvin memilih untuk memberi respon senetral mungkin. "I'd go black and white then."
Kiki yang mendapat jawaban seperti itu dari Kelvin mendadak bisa bernapas. Ia tidak sadar jika sedari tadi dirinya menahan napas. Jujur saja, Kiki tidak tahu arti dari perkataan Kelvin barusan, tapi itu lebih baik daripada penolakan secara langsung. "Apa maksudmu," tanya Kiki langsung tanpa berniat basa-basi. "Aku tidak mengerti."
"Jalani dan rasakan saja semua hal ke depannya, jika memang kamu tidak merasa dicintai, kamu berhak untuk mencarinya dari pria lain."
-
Seminggu sebelum resepsi pernikahan mereka dilaksanakan, tepat ketika Kiki dan Kelvin sibuk mengundang keluarga dan kolega terdekat, berita mengenai pernikahan mereka tersebar luas. Tiba saatnya bagi Kiki untuk menjadi pusat perhatian di luar dari pencapaian karirnya. Namun, respon yang diberikan publik atas berita mengenai pernikahan Kiki dan Kelvin benar-benar di luar dugaan.
Dukungan dan antusiasme yang sangat tinggi terjadi. Pernikahan impian masa kini ataupun pernikahan cucu konglomerat tahun ini. Begitu respon yang diperoleh mereka. Berkat dukungan dan antusiasme itu jugalah, kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani Kiki sebelumnya tidak menuntut penalti apa pun meskipun dirinya sudah melanggar salah satu syarat dari isi kontrak.
Saat ini, Kiki dalam perjalanan menuju kantor Kelvin. Sebelumnya mereka sudah mengatur janji untuk bertemu di kantor Kelvin saat makan siang untuk membahas penalti kontrak Kiki yang sudah menjadi tanggung jawab Kelvin seperti perkataan pria itu sebelumnya. Apa Kiki harus mengagetkan Kelvin dengan berbohong mengenai nominal penalti kontrak? Atau sebaiknya ia langsung berkata jujur?
Sepertinya, Kiki akan memilih pilihan pertama. Ia penasaran dengan reaksi yang akan diberikan oleh Kelvin. Jujur saja, jika penalti kontrak memang dikenakan padanya, nominal yang harus dibayar oleh Kelvin bukanlah angka kecil.
Secara tidak langsung Kiki menatap cincin yang sudah melingkari jari manisnya selama dua bulan terakhir ini. Masih cincin yang sama, cincin yang dipasang Kelvin pada jarinya. Cincin yang disukai Kiki karena terlihat sederhana, indah, dan manis di saat yang bersamaan. Cincin yang sempat membuat Kiki kebingungan karena diperoleh langsung oleh Kelvin dari saku celananya, apalagi tanpa kotak cincin.
"Mbak Kiki, kita sudah sampai."
Suara dari Pak Rudi, supir pribadinya sejak masih duduk di bangku SMP, membuatnya tersadar dan menemukan dirinya sudah ada di depan pintu lobi kantor Kelvin. Kiki keluar dari pintu yang dibukakan untuknya setelah memberi pesan pada Pak Rudi untuk tidak menunggunya, melainkan langsung pulang. Kalau memang semuanya berjalan sesuai dengan rencana awal, maka dirinya akan diantar pulang oleh Kelvin. Jika tidak, dirinya bisa dengan mudah memesan taksi online.
Begitu dirinya tiba di ruang kerja Kelvin, pria itu langsung menghentikan pekerjaannya kemudian berjalan mendekati Kiki untuk duduk berhadapan. "Apa yang dikatakan manajemenmu?" tanya Kelvin langsung pada inti pembicaraan dan Kiki sudah terbiasa dengan hal itu. Kelvin bukanlah pria yang suka berbasa-basi.
Kiki mencari posisi yang nyaman untuk duduk terlebih dahulu, mengabaikan Kelvin yang menunggunya kemudian menaruh map tebal ke atas meja di antara dirinya dan Kelvin. "Delapan dari dua belas kontrak yang sudah kutandatangani menuntut penalti atas pelanggaran kontrak yang sudah kulakukan," bohong Kiki. Ia berusaha mengamati perubahan ekspresi sekecil apa pun yang terlihat pada wajah Kelvin, namun hal itu tidak terjadi. Kelvin terlihat sangat tenang, terlalu tenang malah.
Calon suaminya itu membaca sekilas satu persatu dokumen yang ada di dalam map yang diserahkan Kiki dengan wajah tenang hingga lembar terakhir, kemudian melemparkan tatapan datar namun penuh selidik pada Kiki. "Tidak ada satupun dari pembaharuan kontrak ini yang menuntut penalti. Kamu membohongiku."
"Hanya ingin melihat reaksimu," jawab Kiki singkat.
Kiki mendapati raut wajah Kelvin yang seperti menuntut penjelasan lebih lanjut sehingga dirinya kembali buka suara, "Baiklah. Memang benar mereka tidak menuntut penalti apa pun, melainkan berterima kasih atas berita pernikahan kita yang menaikkan antusiasme publik terhadap diriku yang secara tidak langsung akan menaikkan popularitas dan penjualan drama, film, dan iklan yang akan kubintangi."
Kelvin terkekeh geli mendengar penjelasan dari Kiki yang sedikit banyak mengandung kepercayaan diri yang cukup tinggi. "Apa pun itu, nilai penalti kontrak yang sudah kusiapkan akan tetap kukirimkan padamu sebagai bukti tanggung jawabku. Koordinasikan sebebasmu."
"Tidak perlu dan tidak butuh," tolak Kiki cepat. Jika berhubungan dengan penolakan, refleks dalam dirinya sangatlah cepat. "Lagipula kamu tidak punya nomor rekeningku," lanjut Kiki asal. Ia tidak ingin menerima uang sepeserpun dari Kelvin dan hanya ada jawaban konyol itu dalam pikirannya.
"Bukan hal yang sulit untuk mendapatkan nomor rekeningmu." Kelvin memainkan ponselnya untuk beberapa saat hingga dirinya melanjutkan kembali kalimatnya setelah ponselnya berdering singkat. "Bahkan aku sudah mendapatkannya sekarang," lanjut Kelvin sambil membacakan sejumlah angka yang langsung dikenali Kiki sebagai nomor rekening pribadinya.
"Hei! Itu melanggar hak informasi pribadi, kamu bisa kutuntut," kata Kiki cepat.
"Mendapatkan nomor rekeningmu saja tidak akan membuatku dituntut," bantah Kelvin sambil berdiri dari sofa yang didudukinya. "Cek rekeningmu."
"Kamu benar-benar mengirimkan uangnya?" Kiki mengabaikan Kelvin yang sudah berjalan meninggalkannya ke arah pintu. Ia sibuk memainkan ponsel dengan tangan yang bergetar. Bola matanya melebar ketika mendapati nominal yang dianggapnya tidak wajar terpampang pada layar ponselnya. "Ini berlebihan!"
Kiki yang mendapati kebisuan Kelvin segera mengalihkan pandangan ke arah pintu untuk mendapati sosok Kelvin yang sudah tidak ada. "Astaga!"
Kiki berjalan keluar dari ruang kerja Kelvin dan menemukan Kelvin tengah sibuk berbincang dengan sekretarisnya, Jeffri. Kelvin yang menyadari keberadaan Kiki langsung mengalihkan pandangan menatap Kiki yang berdiri cukup jauh dari mereka dengan niatan untuk tidak melampaui jarak privasi.
"Ayo, kita beli cincin."
Entah kenapa, kalimat yang diucapkan dengan wajah dan nada datar Kelvin berhasil menciptakan getaran pada hati dan pikiran Kiki.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro