Chapter 6
Chapter 6 – Bunny Project 5th
Graduation
Matsuno Chifuyu x Tachibana Haruna
Tokyo Revengers belongs to Ken Wakui
***
.
.
.
Kisah dengan akhir bahagia akan selalu ada
Tetapi, apakah kita termasuk di dalamnya?
Pemuda berambut hitam itu membukakan pintu mobil, menampakkan diriku dengan iris biru tua khas yang keluar dari sana. Aku menoleh, memperhatikan helaian bunga sakura yang terbang diterpa oleh angin. Helaan napas panjang kuembuskan, lekas saja melangkah masuk ke dalam kawasan sekolah yang sepi. Tentu saja, ini adalah hari libur, meski masih ada beberapa guru dan satpam. Perlahan, dinding yang kulewati selama berjalan, jari-jemariku menyentuhnya, memutar balik kilas memori yang hanya diketahui oleh diriku dan sosok di belakangku.
Butuh beberapa menit hingga sampailah di gedung olahraga. Mengedarkan pandangan di seluruh ruangan, menatap lekat ring bola, aku pun duduk di samping ring bagian kanan. Menyadari kegelisahan dariku, segera pemuda itu mengulas senyum tipis. Mungkin saja, mengetahui sesuatu.
Di tempat ini, saat kelulusan, aku mengakui keberadaannya setelah kalah telak dari satu putaran latih tanding.
Dengan perolehan nilai 5-3, walau benci untuk kuingat lagi. Tetapi, karena kalah tantangan, aku perlu menyerah. Lihatlah hasil dari pertandingan waktu itu, ia selalu mengekori diriku kemana-mana. Padahal, ia masih berada di Touman yang semakin hari semakin melebarkan sayapnya. Rasa takut kian meningkat, bagaimana jika terjadi sesuatu pada dirinya? Kalau bisa, aku ingin kembali ke masa-masa ini.
"Ada gerangan apa kau mengikutiku ke sini? Sampai repot-repot untuk mengantarku. Bukankah, kau masih ada pekerjaan? Kudengar kau bersama Takemichi kembali menjadi bagian atas di jajaran dari loop kali ini," ujarku seraya menyembunyikan wajahku dalam benaman kedua kakiku yang bertumpu. Lantas, ia ikut mengambil tempat di sampingku, mengenggam tanganku, mencoba untuk membuka pelukanku dengan lembut.
Suara baritone yang khas memanggil namaku. Tak ada lagi perawakan pirang premannya seperti dulu, hanya ada penampilan natural, walau model rambut dan selera fashion-nya tidak banyak berubah. Ia bertambah tinggi, tetapi kebaikannya masih sama. Tatapan itu lurus dan penuh keyakinan, mengarah padaku, "Haruna-san, sudah kubilang, bukan? Aku tidak akan melepaskanmu setelah kau mengakuiku. Lagipula, mana bisa aku meninggalkanmu sendirian. Akan kusampingkan segala pekerjaanku jika itu menyangkut dirimu."
"Benar-benar, kau ini. Aku berharap, kau jadi manajer pet shop saja. Kau 'kan lebih cocok mengurusi para hewan, terutama ... kucing. Daripada kumpulan aneh itu."
Kalimat yang kuucapkan terdengar pelan. Gawat, suaraku serak karena berusaha menahan tangis. Saat ia mengerjap dan melemparkan tatapan khawatir, sudah pasti bahwa ia menyadarinya dengan sangat jelas. Padahal, aku ingin sendirian di sini, menyatu dengan keheningan, berdiam diri bersama memori masa lalu yang telah terjadi. Namun, mengapa kau mengetahui niatku untuk datang ke sini?
Apa karena kemarin adalah kelulusan dari sekolah ini?
Lantas, ia memejamkan matanya, mengulas senyum tipis, "Kau benar, di masa depan nanti aku akan membuka tokoku sendiri. Jadi, jangan lupa untuk selalu berkunjung, ya? Aku tahu kalau Haruna-san menyukai hal yang lucu dan imut. Oh, atau kau bisa membantuku menjaga toko."
"Kalau ingin bantuanku, kau perlu membayarku dengan upah yang setara."
"Haha, meskipun Haruna-san banyak uang, kau benar-benar perhitungan padaku, ya."
Ia tertawa memaklumi, membuatku memalingkan wajah, merasa malu. Bukan karena tingkahnya yang menyejukkan hati, tetapi karena dirinya yang terus-terusan saja menjahiliku. Cukup lama kami terdiam, membiarkan keheningan mengalir dengan begitu normalnya. Tangan kami masih bertaut, seolah ia tidak rela melepaskannya.
Selama beberapa tahun hidup bersama dia, membuatku paham betul akan sikap keseharian yang ditunjukkannya. Ketika ide aneh muncul, ia bakal menghabiskan persediaan di kulkasku tanpa memberitahu. Diam-diam, dia juga suka mempersiapkan sesuatu, misal memberiku hadiah kejutan di waktu ulang tahunnya sendiri. Ia pekerja keras dan rajin. Kata-kata yang ia ucapkan padaku selalu jujur, penuh kebaikan dan kenaifan. Terakhir, jika merasa cemas, ia akan melakukan skinship padaku, seperti saat ini.
"Apa sudah merasa tenang?" tanyanya tiba-tiba, memecahkan keheningan. Aneh, ia selalu mampu membaca diriku. Meskipun, di waktu yang bersamaan pula, ia nampak mengkhawatirkan bagiku, "Haruna-san sedari tadi diam ... kau bahkan tidak memarahiku saat kita bersentuhan tangan cukup lama."
"Hah ... buat apa aku marah padamu yang tak bersalah? Toh, hanya pegangan tangan saja," balasku sembari memutar kedua irisku, jengah.
Mendengar responku yang menurutnya cukup bersahabat, ia memasang cengiran gembira seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia kembali memastikan, "Benarkah? Baguslah kalau begitu! Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu saat waktu luang. Jadi, apa kita bisa langsung ke inti permasalahan sekarang? Mengapa kau ingin ke sini tiba-tiba?"
Selama di mobil, ia tidak terlihat memusingkan hal ini. Baru sekarang, rupanya menunjukkan niat. Kami memang bertemu di jalan, lalu ia memberiku tumpangan, bersikap seolah kebetulan saja.
"Seharusnya, aku yang bertanya seperti itu. Kenapa kau tahu kalau aku akan ke sini? Dapat kabar dari mana?" tanyaku balik dengan nada interogasi, memicingkan mata, menatapnya curiga. Layaknya bisa membaca hal yang ia lakukan sebelumnya adalah akting semata saja.
Ia mengalihkan pandangannya. Cukup lama kutatap, membuat ia menahan napas karena aku yang mendekati dirinya dengan sigap. Lalu, ia menyentil dahiku dan mendesah pasrah. Mengabaikan desis sebalku, tangannya merogoh saku, menunjukkan ponsel genggam miliknya.
"Adik sepupumu yang memberitahuku. Ugh, aku cemburu sekali kalau Haruna-san terus-terusan perhatian padanya. Segala kegiatanmu diketahui olehnya, lho. Apa aku perlu menjadi adikmu juga agar bisa mendapat afeksi yang sama? Ah, tapi aku lebih suka kalau aku juga yang memberi perhatian padamu!"
"Kenapa cemburu? Dasar aneh."
Aku berjalan mundur, berusaha untuk menjauhi dirinya, namun nihil. Ia mendekapku ke dalam pelukannya. Pasti ada yang salah lagi di kepala anak ini, mengherankan jika ia menggerutu untuk hal sepele seperti ini. Lantas, aku mendengkus kasar, masih memberi tatapan maut kepadanya, "Bukankah wajar kalau aku perhatian pada Naoto-kun? Lagian, sejak kapan kalian berdua bertukar kontak? Kau tidak mengancam Naoto-kun, bukan?"
"Hei, detektif seram sepertinya, apa bisa kuancam, huh? Kau itu terlalu terbutakan oleh tipu muslihatnya. Dia itu tidak lemah, tahu," balasnya, melotot tidak terima padaku, "toh, pihakku dan pihaknya tidak bisa sembarangan untuk saling berkomunikasi. Jadi, rahasiakan ini dari yang lain, ya."
"Oh ... atau jangan-jangan sesuai dugaanku? Nampaknya ... ada seseorang yang menyuruhmu datang ke sini, ya, Haruna-san?"
Nada bicaranya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu, membuatku bergidik ngeri dan menegak saliva pelan, kebingungan. Terdengar berat dan penuh intimidasi. Melihatnya yang bersikeras, mau tak mau hanya membuatku menggelengkan kepala, memberi jawaban dengan kuat, "Tidak ada. Ini keinginanku untuk datang sendiri ke sini. Kau tahu, bukan, kalau kemarin itu adalah kelulusan angkatan tahun ini. Aku hanya ingin jalan-jalan saja sebagai alumni. Yang terpenting, bisakah kau lepaskan dulu?"
"Ah, begitu ya? Ternyata seperti itu. Kupikir ada hal mengkhawatirkan sepeti apa sampai kau harus datang di tempat kau mengakuiku dulu."
Terdengar nada suaranya yang kembali riang, membuat dahiku mengernyit sebal. Ia masih tidak melepaskan pelukannya, tetap pada posisi seperti ini, mengabaikan pintaku. Ada kalanya, aku tidak bisa mengerti, mengapa ia selalu menyukai untuk mendekatiku. Aku bahkan tidak paham, apa bagusnya menghabiskan waktu bersamaku? Selain Hinata dan Naoto, aku tidak bisa memahami yang lainnya, terutama dirinya, Matsuno Chifuyu.
"Hei, Haruna-san ..."
"Ya?"
"Apa kau mau menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?"
Aku mengerjap, berusaha memproses apa yang baru saja ia katakan. Dahiku mengerut, benar-benar kebingungan, tak tahu respon apa yang harus kuberikan padanya. Mulutku membuka, mengangkat suara, memastikan kalau apa yang berada dalam pikiranku itu tidak benar, "Hu-huh, jangan bilang—maksudku, Chifuyu, kau bercanda, 'kan?"
Katakan iya, kau bercanda.
"Haha, apa selama ini, pendekatanku sejak tujuh tahun yang lalu terasa bercanda bagimu? Memang benar ya, kata Baji-san, kau super duper tidak peka jika menyangkut perasaan seseorang."
Pipiku terasa panas, kepalaku seolah mendidih, kehilangan kemampuan untuk berpikir sejenak. Aku menunduk, meskipun sosok yang tengah mendekapku saat ini hanya tersenyum senang. Sekilas, kutemukan rona merah tipis di wajahnya. Ini tidak benar, ada yang salah. Ingin sekali dirinya kupukul, tapi segera kuurungkan. Kubenamkan wajahku dalam dada bidangnya, berujar pelan, "Maaf, Chifuyu, tapi aku—"
"Tidak. Jangan menolaknya, Haruna-san. Aku tidak akan sanggup jika kau yang satu-satunya alasanku untuk bertahan menolakku lagi. Katakan, kau butuh waktu sampai kapan agar kau bisa menerimaku lagi, sama seperti waktu itu. Aku menyukaimu ... sangat, sangat, sangat mencintaimu."
Aku tidak melihat ekspresi di wajahnya, namun yang kutahu, suaranya tengah bergetar hebat. Jari-jemarinya yang menyentuh punggungku mulai basah akibat keringat. Kalau aku menolaknya seperti dulu, maka tidak akan ada yang berubah. Lantas, aku menengadah, menatap lekat irisnya. Benar dugaanku, raut wajah yang ia pasang saat ini tengah menahan tangis. Ia sungguh cengeng, terlepas dari statusnya sebagai lelaki.
"Baiklah, aku menerimamu, baka. Dengan syarat, kau tidak boleh pergi dari hadapanku."
Chifuyu mengerjap, senyumnya merekah seraya melepaskan dekapan dan mengepalkan kedua tangannya dengan antusias. Meskipun tidak mendengar ucapan cinta langsung dariku, ia sebahagia itu. Ia pasti paham, maksud pergi dari hadapanku, artinya tidak boleh meninggal duluan. Luka yang Baji Keisuke torehkan, membekas dalam di antara kami berdua hingga tak perlu kata-kata untuk saling mengerti satu sama lain.
"Aku berjanji akan membuatmu bahagia, Haruna-san!"
"Hmph, coba saja sana."
Meskipun lulus dari sekolah ini, tetapi kisah kami belumlah tamat. Tidak ada salahnya untuk menemaninya sedikit lagi. Benar, sampai ia merasa bosan padaku. Hingga, aku merasa ia telah aman dari segalanya.
.
.
.
Musim dingin perlahan berubah, salju meleleh oleh embusan angin musim semi. Kucing yang terjebak dalam kesepiannya musim kematian itu, menantikan musim penuh bunga, menemukan kehadiran kupu-kupu sang pembawa keindahan. Ia tidak bisa menangkapnya, namun mampu berlari dan bersanding bersamanya.
[END]
[ Note ]
akhirnya yume bittersweet ini selesai juga. ngebut soalnya ngejar kerjaan lain dan irl yang mulai sibuk lagi. mereka berdua sebenarnya di headcanon-ku identik dengan angst, sih. tapi, aku ga pengen nulis dengan akhir yang sedih. setidaknya sudah cukup aku disakiti oleh imajinasiku sendiri, sobs.
untuk yang mengikuti collab-ku atau yang membaca buku kehaluan ini, kuucapkan terimakasih banyak! aku lebih aktif di twitter sebenarnya, kalau ada yang mau nyapa di sana, jangan sungkan, www.
oke, i think that's all. bye-bye!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro