Chapter 4
Chapter 4 – Bunny Project 5th
Graduation
Matsuno Chifuyu x Tachibana Haruna
Tokyo Revengers belongs to Ken Wakui
***
.
.
.
Meskipun liar dan dapat hidup sendiri, kucing juga
mampu merasakan yang namanya kesepian jika ditinggal.
Beberapa hari ini, tiap Chifuyu menampakkan diri, dadaku bergemuruh kencang. Tiap berpapasan dengannya di lorong sekolah, segera saja aku menjauh. Bila kehadirannya mendekat, lantas aku menghindar, berupaya untuk menyembunyikan diri darinya. Entah apa yang merasukiku, tetapi aku sangat yakin kalau ini adalah perasaan kesal. Mungkin saja, karena ia selalu mencoba menempel padaku seperti anak kucing.
Memang tidak sopan dan hal yang pengecut jika terus-terusan menjauhinya seperti ini. Tetapi, pada dasarnya kami dekat hanya karena Baji Keisuke. Karena sosoknya telah tak ada, maka tidak ada alasan lebih untuk menghabiskan waktu bersamanya lagi. Namun, apa benar itu yang kupikirkan?
Pulang sekolah ini langkahku terhenti saat berpapasan dengan sebuah café. Nampak Hinata, Takemichi, dan Naoto di meja pelanggan outdoor-nya, tak lain adalah kedua sepupuku. Mendapati kehadiranku yang tiba-tiba, dua sosok yang bermarga sama denganku itu segera saja melambaikan tangan antusias, mencoba menyapa diriku. Helaan napas lolos dari bibirku, mau tak mau harus mengikuti mereka bertiga.
"Konnichiwa, kalian bertiga. Hina-chan dan Takemichi lagi kencan, ya?" tanyaku dengan niat terselubung ingin menggoda sepasang kekasih ini. Wajah Hinata dan Takemichi memerah, mereka memalingkan wajah satu sama lain. Membuatku hanya mampu menggelengkan kepala dan mengambil tempat di samping anak lelaki berambut hitam legam sama sepertiku, "jadi, kenapa kau menemani kakakmu pacaran, Naoto-kun?"
"E-eh, pacaran? Bukan begitu ... aku dan Nee-san tadi hanya kepengen makan parfait bareng. Terus, ada ..."
Naoto menggantungkan kalimatnya, melirik enggan pada pemuda pirang dengan beberapa luka yang telah diplester di wajahnya. Tanpa sepupuku lanjutkan pun, sudah kuduga kalau Takemichi mencoba untuk terus melindungi Hinata dari balik layar. Namun, pastinya, karena alasan itu pula mereka berdua menjadi susah untuk menghabiskan waktu tenang bersama. Aku mendengkus, berdiri dari kursi dan mendorong Hinata dan Takemichi untuk keluar. Toh, parfait mereka berdua sudah habis pula.
Takemichi membelalakkan matanya, melotot padaku, "Haruna-chan?!"
"Haru-chan, apa yang kau lakukan?!" tanya Hinata, panik. Semburat merah di wajahnya terlihat jelas, membuatku mengerutkan dahi sebal. Karena inilah, aku tidak menyukai mereka berdua yang tak berniat namun malah mengumbar kemesraan secara alami. Aku berkacak pinggang, iris biruku mendelik pada kedua sosok di hadapanku saat ini.
"Kalian tidak kasihan sama Naoto-kun yang seolah jadi pihak ketiga? Sudah, kalian pergi saja. Nanti, parfait-nya aku yang tanggung. Sekalian, sudah lama aku tidak bermain bersama Naoto-kun," ujarku seraya tersenyum, yang mana mereka berdua merasakan bahwa senyumanku cukup mengerikan. Tak berniat menyembunyikan keinginan untuk mengusir. Dengan tergesa-gesa, mereka melangkah pergi.
Lelaki yang umurnya lebih muda di sampingku ini lantas melemparkan tatapan penuh tanda tanya, mengerjapkan mata di balik iris polosnya, "Haru-nee mau main denganku? Tapi, kita kan sudah lama tidak bermain .... Lagian, ingin main apa denganku? Tidak ada game atau buku di sini."
Bohong.
Yang tadi itu hanya alasan belaka agar pasangan itu dapat menikmati suasana tenang, khusus mereka berdua saja.
Perkataan Naoto memang benar. Sudah lama, aku tidak menghabiskan waktu bersama kedua sepupuku ini. Tetapi, sejak bertemu dengan Takemichi yang time loop, raut wajahnya sudah tampak cerah sedikit demi sedikit. Membuatku cukup lega karena akhirnya ia tidak murung lagi. Jari-jemariku mengelus helaian rambut hitam itu, mencoba menenangkannya lalu kembali mengambil tempat sembari menopangkan dagu, "Yah, anggap saja aku menjadi penjagamu selama seharian penuh ini. Seharusnya, kau bersyukur ya, Naoto-kun. Oh, kalau kau ingin melihat-lihat di toko buku juga tidak masalah, kok."
"Aku sudah tahu kalau Haru-nee itu kaya. Tapi, apa tidak masalah menghabiskannya seperti itu?"
Meskipun kami berdua sepupu, tetapi ibuku adalah orang kaya karena memiliki perusahaan ternama di Amerika. Hal itu yang menyebabkan orang tuaku sulit pulang untuk menemuiku, hingga rasa kesepian ini sudah terasa biasa. Mungkin, Naoto menyadarinya, sebuah lubang kosong di hatiku. Bisa jadi karena aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama kedua sepupuku ini. Wajahku nampak cemberut, "Dengar ya, Naoto-kun, membahagiakan seseorang itu adalah pekerjaan dari uang. Tentunya, menghargai uang sangatlah penting—"
"—karena esensi uang itu adalah kehidupan. Bekerja keraslah untuk mendapatkan uang dan habiskanlah agar kau bisa hidup bahagia, bukan begitu, Haruna-san?"
Sebuah suara familiar menginterupsi kalimatku, sosok yang kuhindari selama beberapa hari terakhir ini. Aku tak ingin berbalik, tak ingin menatap wajahnya. Menemukan diriku yang berkeringat dingin, Naoto bertanya sungkan padanya.
"Anoo, kalau boleh tahu, kau siapa?"
"Hm, aku? Haha, aku pacarnya Haruna-san! Salam kenal, ya!"
Pacar?
Siapa yang kau sebut dengan pacar?
Bukankah selama ini, aku menghindarimu?
"Apa yang kau katakan, bodoh?! Kita tidak pernah dalam hubungan sepert itu! Berhenti bercanda atau kupukul kau!" bentakku kesal, bersiap dengan tangan yang mengepal di udara. Ia tertawa puas ketika mendapati ekspresiku, wajah memerah dan dahi mengerut. Sudah pasti, ia akan menjadikan hal ini sebagai bahannya dalam menggodaku di masa depan. Setelah puas, ia mencoba menormalkan napasnya, lalu mengulas senyum.
Namun, beberapa menit kemudian, senyum itu luntur. Lantas, Chifuyu mengangkat suara, "Kenapa kau mencoba menjauhiku selama beberapa hari ini, Haruna-san? Apa ... aku berbuat salah padamu? Kalau iya, aku harap, kau bisa mengatakannnya padaku agar aku bisa memperbaikinya."
Tatapan mata itu terlihat memelas, seolah meminta jawaban dariku. Dadaku terasa sakit saat menatap balik dirinya. Aku hanya membutuhkan ketenangan agar dapat menetralisir kembali perasaanku. Tetapi, mengapa malah berbalik menyakitinya yang rapuh itu? Helaan napas lolos dari bibirku, sementara Naoto hanya mampu mengamati kami berdua dalam diam. Karena tak kunjung menjawab, pemuda dengan helaian rambut pirang dicat itu berdecak sebal sembari mendekatkan wajahnya padaku.
"Jika benar, aku melakukan kesalahan. Bisa kau katakan padaku sekarang ini?" tanyanya geram seraya mengeratkan genggamannya pada lenganku. Iris biruku membulat, terkejut akan sikapnya yang refleks seperti ini.
Siapa pun, tolong aku dari suasana canggung ini—
"Ah, nampaknya Haru-nee sibuk, ya. Mungkin aku akan pulang sendiri," sahut Naoto yang memecahkan suasana sesak ini. Aku maupun Chifuyu mengerjap tatkala menyadari kehadiran pemuda berambut hitam itu. Ia memasang raut wajah tidak enak. Lantas, genggaman itu mengendur hingga lepas. Chifuyu mengacak helaian rambutnya, malu karena tidak sadar tempat. Bahkan diriku pun menghela napas, lega sekaligus bersyukur akan pertolongan tak langsung dari sepupuku tersebut.
Senyum manis kuulas, lekas saja aku mengulurkan tangan pada Naoto, membuat Chifuyu membelalakkan matanya, "Saa, Naoto-kun, bagaimana kalau kita pulang bersama. Kucing liar ini sepertinya tersesat. Jadi, kau tidak perlu khawatir dengan rencana kita untuk berjalan-jalan hari ini."
"Ah, Haruna-san—"
"Matsuno Chifuyu, tidak bisa kau lihat aku sedang sibuk? Nanti saja kita bicaranya, setelah aku mengantar Naoto-kun," balasku ketus, mendelik sinis pada Chifuyu yang terlihat murung.
"Ya-yah, sebenarnya aku bisa pulang sendiri, kok ... Haru-nee."
"Apa yang kau katakan, Naoto-kun? Mana bisa begitu, aku berjanji pada Hina-chan untuk menjagamu hari ini."
'Sejak kapan kau berjanji pada Neesan? Kau cuman ingin lari dari orang aneh ini, bukan?' batin Naoto, bertanya padaku melalui tatapannya. Aku mengangguk, masih dengan senyum yang bertengger di wajah, lalu membalas tatapannya, 'Kalau tahu, ikuti saja permainanku. Aku ingin segera lepas!'
"Kalau begitu, aku akan ikut mengantar!"
Chifuyu berseru, mencengkram lenganku dengan erat. Aku meringis, menahan sakit. Sadar akan dirinya yang terlalu kuat hingga hampir saja melukaiku, ia sontak melepaskan. Mau bagaimana lagi, untuk kali ini saja aku mengizinkannya. Toh, aku tidak ingin terlihat seperti orang jahat di hadapan Naoto.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro