Chapter 3
Chapter 3 – Bunny Project 5th
Graduation
Matsuno Chifuyu x Tachibana Haruna
Tokyo Revengers belongs to Ken Wakui
***
.
.
.
Kucing itu selalu tidak sabar untuk memperhatikan kupu-kupu biru yang cantik,
beterbangan ke sana kemari seolah ia memang tercipta untuk langit.
Berada di Arcade Game dan ia benar-benar berhasil mendapatkan nuigurumi dalam percobaan kedua dan ketiga, memberikanku dua boneka, kucing hitam dan putih. Meskipun, dia tahu bahwa aku tidak terlalu menyukai kucing dengan desain yang aneh seperti ini, tetapi ia tetap mengincarnya. Membuatku secara tidak langsung segera berandai bahwa fashion sense yang ia miliki, cukup untuk dipertanyakan. Namun, aku menghargai kerja kerasnya, membuatku mau tidak mau harus berujar sesuatu, "Terimakasih dan otsukare, Chifuyu."
"Hehe, douitashimashite, Haruna-san! Aku senang kalau kau menyukainya," ujarnya dengan seringai kecil penuh kemenangan. Aku hanya mampu menghela napas, mengulas senyum pasrah yang tipis. Irisku mengedarkan pandangan, mencoba mencari sesuatu yang dapat menghilangkan kebosanan sekali lagi.
"Ah ... di sana ada arena sport games," gumamku.
"Hm, kau tertarik dengan permainan basket, ya?" tanya Chifuyu sembari memiringkan kepalanya, penasaran akan tempat yang kusebut. Wajahku memerah, tidak bisa kubiarkan ia mengetahui bahwa aku dulunya cukup atletik. Bisa-bisa kerja kerasku dalam membangun reputasi seorang gadis yang manis akan rusak. Refleks, aku mengalihkan pandangan, tak berani untuk menatap iris biru kehijauan yang memperhatikan diriku secara seksama.
"Bukan—maksudku, aku hanya kebetulan saja melihatnya. Kita tidak perlu ke sana!"
"Eh, kenapa begitu? Kalau kau menyukainya, aku akan menemanimu bermain. Malahan, kita bisa bertanding, lho. Kedengarannya keren bukan kalau kita menjadi rival dalam satu sesi permainan itu? Kapan lagi aku bisa melawanmu, haha," tuturnya dengan ringan, terkekeh seraya menyilangkan kedua tangannya di belakang, menjadi sandaran bagi kepalanya. Dia ini memang sangat suka dengan hal yang beginian, ya?
Aku mendecih sebal, lalu memutar kedua irisku jengah. Tanganku pun memberikan kedua boneka itu padanya untuk dipegang, sementara ia mengerjap kebingungan akan tingkahku yang tiba-tiba terasa kompetitif. Lengan bajuku segera kugulung, menjepit bagian helaian poni hitamku dan memasukkan uang koin ke dalam mesin ring basket itu. Geraman kesal terdengar jelas dariku, membuat pemuda berambut pirang itu terdiam menahan napas.
Dalam tiga puluh detik, aku cukup memasukkan semuanya ke dalam ring, bukan?
Satu, dua, tiga ...
Empat, lima, enam ...
Tujuh, delapan, Sembilan ...
Sepuluh, dan sebelas!
Tawa riang lolos dari bibirku, dua kali gagal melemparnya ke dalam ring, namun berhasil dengan sebelas lemparan. Chifuyu menganga, berdehem pelan lalu gantian memberikan kedua boneka itu kepadaku. Ia mencoba dengan keras dan hanya berhasil mendapatkan tujuh poin. Angka yang lumayan bagus untuk pemula. Tetes demi tetes keringat jatuh dari masing-masing kami. Ia mengulas senyum, gembira, "Aku tidak menyangka kalau Haruna-san hebat dalam basket! Haha, aku senang mengetahui sisi ini dari dirimu."
Keheningan mengalir, mengacaukan suasana bahagia kami sebelumnya. Lekas saja, aku memalingkan wajah, memukul-mukul kepalaku karena terprovokasi oleh kalimat Chifuyu sebelumnya. Bagaimana ini? Apa ia akan mengetahui bahwa diriku adalah gadis yang tidak memiliki keimutan sama sekali? Atau bahkan sampai tidak pantas untuk mengemban gender ini?
"Kau keren, lho, Haruna-san," ujarnya dengan senyum yang masih terpatri bebas di wajahnya, seolah tahu akan kekhawatiranku., "sangat keren hingga aku tidak bisa memalingkan wajahku darimu. Ah, tapi di satu sisi kau juga imut. Jadi, kurasa gadis sepertimu sangatlah unik!"
"Hah?! Kau bicara apa, sih? Berhenti mengatakan sesuatu yang ... tidak-tidak."
Gawat.
Merasa malu, kusembunyikan wajahku di balik nuigurumi yang didapatkan oleh Chifuyu tadi, menahan perasaan aneh di dada. Kakiku mondar-mandir, berusaha untuk menghilangkan rasa yang tidak familiar ini. Ia mendengkus kasar, lalu mengacak rambutku dan memasang cengiran khasnya, "Baiklah, apa ada lagi yang ingin kau kunjungi? Aku siap menemanimu kapan saja dan di mana saja, lho!"
Aku menundukkan kepalaku, berpikir dalam diam, meskipun Arcade Game terdengar ramai akibat lantunan lagu yang diputar oleh staff. Kembali, irisku mencoba melirik ke sekeliling dan mendapati sebuah photo booth. Menyadari arah tatapanku, Chifuyu pun mengangkat suara.
"Oh, Haruna-san ingin mengabadikan momen bersama? Tak masalah. Ayo!" ajaknya dengan riang. Padahal aku belum menyetujuinya, namun ia dengan seenak jidat menggenggam tanganku, menariknya sehingga mau tak mau aku harus mengikuti langkahnya dan masuk ke dalam booth tersebut. Tidak terlalu luas, tetapi tidak juga sempit untuk ukuran kami berdua. Mungkin saja disesuaikan dengan tubuh orang dewasa agar muat.
"Jika ... Baji-san masih ada di sini, mungkin ruangan ini akan terasa penuh," gumamku sendu. Chifuyu yang mendengarku ikut terdiam, memasang ekspresi tidak enak lalu mengalihkan pandangannya. Sadar akan suasana yang suram, segera saja aku memecahnya, "maaf, tidak seharusnya aku berkata seperti itu."
Chifuyu menggeleng, paham.
"Tidak, ini bukan salahmu, kok. Lagipula, aku juga merasakan hal yang sama dengan keinginanmu. Justru aku yang harus minta maaf karena tidak bisa menyelamatkannya. Penyesalan memang selalu datang terlambat, ya?"
Ia mengepalkan tangan erat, seolah mampu untuk melukai tangannya kapan saja. Tak ingin ia berlarut dalam kepedihan, lantas aku memegang tangannya, menatap ia dengan lekat. Ia ikut menatapku, cukup lama terhanyut oleh kesepian di antara kami berdua, "Chifuyu, aku memang kesal dengan Touman dan juga geng lainnya. Tetapi, aku tidak akan pernah bisa marah denganmu ataupun Baji-san. Kalau sekali lagi, kau menyalahkan dirimu sendiri, aku akan segera menamparmu, mengerti?"
"O-oh, baiklah, aku mengerti. Maaf karena membuatmu merasa tidak nyaman," balasnya dengan rona pipi yang tampak sedikit memerah. Kemungkinan, terkejut akan sikapku. Ia menarik sudut bibirnya, membentuk lengkungan tipis bernama senyuman, tak lain terbentuk dari perasaan haru, "dan ... terima kasih karena sudah memberitahuku hal itu, Haruna-san."
Aku menghela napas, memaklumi seraya melepaskan peganganku padanya, lalu mengangguk kecil sebagai balasan, "Ya, lebih baik kau mengingat hal itu."
"Hehe, tentu saja! Nah, sekarang, bagaimana kalau kita langsung berfoto saja? Takutnya, ada orang di luar yang mengantri. Kita posenya sepakat dulu atau bebas?" Chifuyu kembali dalam mode serius, membuatku alisku tertaut.
"Sebenarnya, aku ingin pose bebas. Namun, karena sekarang sedang bersamamu, makanya kita harus sepakat agar tidak keluar dari tema. Aku akan memilih filter-nya sebagai tema, nanti sesuaikan saja ekspresi dan tema yang bersangkutan," jelasku, sibuk mengutak-atik tombol pada kamera photo booth itu, mencoba memilih filter apa yang cocok. Ia memasang cengiran, malah fokus memperhatikanku daripada mendengarkan penjelasanku. Setelah selesai, aku segera mendekatkan diri padanya dan berseru pelan, "Satu, dua, tiga!"
Suara kamera terdengar sebanyak empat kali, yang artinya aku dan Chifuyu juga bergaya sebanyak itu. Kami berdua keluar dari sana, mengambil dua cetakan polaroid foto yang dikolase empat bingkai. Dahiku mengerut ketika mendapati pose Chifuyu yang berbeda, namun tatapannya selalu mengarah kepadaku dan bukannya kamera.
"Hei, kenapa kau melihatku terus dari tadi? Jangan-jangan, selama sesi foto, ada sesuatu di wajahku. Tetapi, kau tidak bilang, ya?!" tuntutku kesal.
Ia tertawa, mengibaskan tangannya dengan ringan lalu mengendikkan bahu. Seringai jahil nampak jelas di ekspresinya, begitu pula nada bicaranya, "Mana mungkin! Haruna-san hanyalah sebagai titik fokusku saja! Tidak kurang dan tidak lebih, kok."
Aku memukul punggung belakangnya dengan pelan, kesal tentu saja, tetapi ia hanya membalas dengan tawa puas. Benar-benar, aku tidak bisa menang darinya yang seakan mencoba untuk memperhatikanku setiap saat bagai tak bisa dilepaskan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro