Epilog
Runa berdiri kaku di depan pintu ruangan Dokter Tanu yang masih menutup, dia masih dipenuhi keraguan, padahal ini bukan pertama kalinya dia berada di sana. Juro dan Tanisha yang mengikuti di belakangnya menunggu dengan sabar, mereka tahu, sahabatnya yang terkadang barbar itu tetap belum terbiasa dengan rumah sakit.
Hari ini adalah hari pemeriksaan terakhirnya. Dia tidak tahu kenapa para dokter itu tetap kekeh ingin melanjutkan Sleep Study padanya, padahal penyakitnya kini bahkan sudah jarang kambuh. Kalau bukan karena keluarganya dan paksaan dari dokter Syifa, dia pasti sudah menolak.
"Bae, masa masih takut si, kan ada kita." Tanisha mendorong pelan tubuh Runa agar mendekati pintu. Dia selalu dibuat gemas dengan sikap Runa terhadap rumah sakit.
Runa yang tidak punya pilihan lain akhirnya memberanikan diri mengetuk. Sebuah jawaban "Masuk" pelan terdengar dari dalam. Baik Juro dan Tanisha mengacungkan tangannya, memberi semangat.
Sekali lagi dan semuanya selesai. Runa membatin dalam hati. Dengan terikan napas panjang terakhir kali, dia akhirnya masuk ke ruangan yang selamanya akan berada di black list miliknya itu.
******
There's a sing that's inside
Of my soul
It's the one that I've tried to write
Over and over again
I'm awake in the infinite cold
But you sing to me over and over and over again
So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only yours I pray
To be only yours
I know now you're my only hope
Suara Tanisha yang merdu berhenti mendadak untuk mencari di mana kesalahannya. Runa yang mengiringi nyanyiannya dengan gitar akustik hitamnya juga ikut berhenti. Di pandangnya sehabatnya yang sedang terlihat berpikir itu.
"Kenapa, Sha? Suara gitarku ga masuk ya?" tanya Runa.
"Bukan. Bukan itu. Suaraku agak gimana gitu. Menurutmu gimana?"
"Karena lagi flu aja sih, semoga saja besok waktu penilaian udah okay."
"Amiiin ... Eh, Juro di mana? Tumben belum datang."
Runa hanya mengangkat bahu, sama sekali tidak tahu di mana sahabatnya itu berada. Dia mengedarkan pandang ke seluruh sudut lapangan di mana mereka berada sekarang, berharap melihatnya di kejauhan.
Taman belakang sekolah yang dipenuhi rumput hijau itu, kini menjadi salah satu tempat favorit mereka. Setiap istirahat atau pulang sekolah, mereka selalu menyempatkan untuk menghabiskan waktu di sini. Seperti sekarang, saat Runa dan Tanisha butuh tempat latihan untuk penilaian terakhir mereka, syarat masuk ke Institut Seni Indonesia yang akan mereka masuki.
Keduanya sudah lolos seleksi berkas, dan seminggu lagi, mereka harus melakukan tes praktik yang terakhir. Runa memilih untuk bermain gitar, sedang Tanisha akan memamerkan kemampuan vokalnya.
Setelah mengalami pertimbangan panjang, Runa dan Tanisha akhirnya memutuskan untuk masuk ke Institut Seni Indonesia. Runa dan musik memang tidak bisa dipisahkan. Saat ibunya bertanya apa yang bisa membuat jantungnya berdebar semangat, hanya musik yang terbayang dipikirannya. Jadi saat orang tuanya memberi lampu hijau, dia tanpa ragu memutuskan untuk masuk ke ISI Yogyakarta.
Untuk Tanisha, agak mengejutkan mungkin saat tahu si gila belajar ini ternyata menyimpan obsesi sebagai penyanyi. Dulu saat dia masih menuruti segala ucapan orang tuanya, dia bahkan tidak tenang untuk sekedar bersenandung. Tapi kali ini, dia mulai berani menunjukan diri. Targetnya satu saat ini, lulus seleksi universitas dan mengejar beasiswa penuh. Walau Tanisha tahu bahwa dia kini membuat jalannya sendiri, dia tetap tidak ingin menyerah. Membuat keputusan berarti berani mempertanggungjawabkannya.
Kedua gadis itu akhirnya memutuskan melanjutkan latihan mereka karena tidak melihat Juro di mana pun. Namun saat lagu yang dimainkan itu baru berjalan setengah, Juro berlarian entah dari mana dan langsung berbaring di rerumputan di dekat mereka, membuat keduanya lagi-lagi menghentikan latihan.
"Dari mana sih?" Runa bertanya, memandang anak laki-laki yang masih mengatur nafas itu.
"Di panggil wakepsek. Ngurus berkas terakhir. Sudah beres. Sama ambil paket juga. Nih ...." jawab Juro sambil mengangkat amplop coklat besar di tangannya.
"Sudah fix UNY?" kali ini Tanisha yang bertanya. Melirik pada amplop besar yang sekilas terlihat ada tulisan jepangnya itu. Dia segera mengalihkan pandangan karena tidak tahu maksud tulisannya.
"Gimana lagi. Cuma di situ aku dapat beasiswa penuh. Kalau di ISI ada beasiswa olahraga, aku pasti ngejar ke sana."
"Kita beneran pisah, nih?" tanya Runa.
"Ada pilihan lain?" jawab Juro. "Ga semua hal berjalan sesuai yang kita mau. Kadang kita juga harus berdamai dengan hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi. Ini namanya kompromi. Kompromi sama hidup."
"Astaga, sok bijak sekali kamu, Nak." goda Tanisha. Walau dalam hati dia setuju dengan apa yang diucapkan sahabatnya itu. "Nah, iya. Cepet lulus trus kita bikin usaha bareng."
"Kenapa harus nunggu lulus? Justru harus dimulai segera, jadi kita punya lebih banyak alasan untuk bertemu."
"Hahaha ... boleh juga idenya. Jadi mau usaha apa?"
"Kafe? Rental buku?"
"Rumah makan resep rumahan?"
"Aneka snack juga bisa."
"Bakpia lumer ala-ala."
Obrolan tiga remaja yang bahkan belum genap 17 tahun itu berlanjut. Ketiganya terlalu menikmati suasana sampai tidak menyadari jika matahari semakin lama semakin tenggelam.
Saat akhirnya mereka memutuskan untuk bersiap-siap pulang, Juro yang penasaran dengan amplop yang diterimanya, memutuskan untuk membukanya saat itu juga. Dia menyobek ujung amplop itu dan menarik keluar isinya.
Ada beberapa tumpuk berkas dari dalam amplop itu, semuanya diketik dalam bahasa Inggris. Walau tidak sebaik Runa dan Tanisha, tapi bahasa Inggrisnya juga lumayan. Jadi saat dia membaca halaman pertama dari berkas di depannya, dia tahu apa maksudnya.
Congratulations! You have made an excellent decision in applying to University of Tsukuba. I am both happy and honoured to welcome you to our academic community.
Juro segera memasukkan kembali berkas itu ke dalam amplopnya. Dia tidak pernah mengirimkan berkas apapun ke Jepang, jadi dia tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Diliriknya kedua sahabatnya, mereka masih sibuk memungut bekas plastik makanan yang berserakan.
Tiba-tiba, perasaan sesak memenuhi hatinya. Apa ini yang dimaksud kompromi yang sebenarnya? Dia membatin dalam hati.
********
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro