Bab 5 : BFF?
"Yah, nanti gak usah jemput. Aku, Juro sama Tanisha mau mampir sana boleh 'kan?" tanya Runa saat sarapan pagi itu, menahan sendoknya di udara sebentar untuk bicara pada ayahnya.
"Yo boleh to. Kok cuma bertiga? Biasanya lebih rame. Siapa itu yang berdua, ehm, Rama Sinta, ya? Gak ikut mereka?" balasnya. Ayah sudah selesai sarapan dan sedang menikmati secangkir teh dengan koran yang terbuka di depannya.
"Sintia, Yah ..." Ibunya nimbrung, membenarkan kekeliruan ayahnya.
"Mereka ada kumpul OSIS, padahal katanya kangen bakmi Ayah." lanjut Runa lagi. Dia sudah menyelesaikan sarapannya dan membantu ibunya membereskan piring kotor.
"Sibuk ya mereka. Kalau sempat nyusul biar nyusul aja. Melasi, nanti ayah siapin yang porsi besarrr... " kelakar ayah sambil melipat koran yang dia baca sebelumnya, bersiap untuk berangkat.
Ayah, ibu dan eyang putri mulai terbiasa mendengar Runa menceritakan teman-temannya saat mereka sarapan atau makan malam. Mereka mungkin terlihat biasa saat menanggapi, tapi di lubuk hatinya, mereka sangat bersyukur bahwa anak mereka diterima dengan baik di lingkungan barunya. Kekhawatiran yang awalnya menghantui, sedikit demi sedikit mulai menghilang. Perlahan, mereka mulai menaruh kepercayaan sepenuhnya pada Runa, membiarkan gadis itu menemukan sendiri apa yang dia cari. Yah, remaja memang seharusnya seperti itu 'kan?
Sudah 3 bulan berlalu sejak Runa pertama kali menginjakkan kakinya di sekolah baru. Tidak banyak kejadian yang terjadi, kecuali hubungan Runa dan teman-temannya yang semakin hari semakin baik, terutama Juro dan Tanisha. Ketiganya tak pernah absen untuk menghabiskan waktu bersama. Ke kantin, perpustakaan atau bahkan sekadar berkumpul di bangku Runa, basecamp terbaik mereka, kursi paling belakang di pojok paling kiri kelas, menghadap jendela dengan angin berhembus yang nyaman. Seperti siang ini, saat ketiganya enggan menuju kantin dan lebih memilih makan camilan saja.
"Aku Harry Potter pokok'e. Moso aku Ron," celetuk Juro tiba-tiba sambil membuka bungkus camilan yang kedua, stick kentang dengan saos sambal di dalamnya. Itu adalah camilan kesukaan Runa. Tidak heran matanya sejak tadi sudah memantau gerak-gerak Juro seperti elang melihat mangsanya.
Tanisha yang peka dengan hal itu, langsung merebut camilan yang sudah berhasil dibuka Juro, menyerahkannya pada Runa.
"Nih, bae, buat kamu," ucapnya sambil tersenyum cerah, memperlakukan Runa seperti adik kecilnya, seperti biasa. Dia lalu melihat ke arah Juro dan melanjutkan, "Ngomong apa, sih? Gak jelas banget. Kebiasan deh kalau cerita gak ada prolognya, langsung ke klimaks."
Juro, yang lebih terganggu dengan apa yang sedang dipikirkannya ketimbang camilanya yang direbut, memandang keduanya dan mulai bercerita.
"Tadi itu aku denger anak-anak lain cerita soal julukan baru buat kita, " Juro memulai, menatap serius kedua anak perempuan di depannya itu. "Kata mereka kita itu kayak Harry, Ron sama Hermione. Runa jadi Harry, Tanisha Hermione dan aku Ron Weasley. Kok aku Ronnya, 'kan aku Harry James Potter!" tuturnya sambil berpose keren, meletakkan ibu jari dan telunjuknya di bawah dagu.
"Gosh, is this stupid boy think we need that kind of story?" ucap Tanisha sambil menepuk jidatnya. Memandang ke arah Runa yang masih sibuk memakan camilannya. Runa hanya mengangkat bahu sekilas, tidak peduli.
"Ya wes, kamu Harry Potter, aku Ron. Kalau Hermione mah udah valid." Runa menanggapi hanya agar Juro kembali ke hadapan mereka, karena dia belum menyelesaikan imajinasinya dan memandang ke sembarang arah, melamun.
"Nah, iya bener. Kamu juga mikir gitu 'kan? Aku memang lebih cocok jadi Harry. Nilai kita aja gak beda jauh pas ujian semester kemarin." Juro tersenyum cerah akhirnya, merogohkan tangannya ke bungkus camilan yang Runa pegang, ingin ikut menikmatinya juga.
"Ih, kok abis sih, Run!" teriaknya seketika saat dia menyadari tangannya hanya memegang udara kosong.
Ujian semester pertama sudah diadakan sebulan yang lalu. Seperti yang diduga, Tanisha menempati urutan pertama tanpa hambatan berarti, disusul oleh Rama dengan selisih nilai yang sangat kentara. Untuk Runa, semua soal ujian itu sebenarnya sudah diulangnya berkali-kali saat dia homeschooling dulu, tapi karena sejak awal dia tidak ingin menonjol dan lebih ingin jadi murid biasa, dia sengaja membuat kesalahan di banyak soal, membuatnya berada di peringkat ke-30 dari 130 siswa tahun pertama. Juro beberapa baris di bawahnya, urutan 55.
Apa yang dilakukannya, tentu tanpa sepengetahuan teman-teman yang lain, bahkan Tanisha dan Juro. Hanya keluarganya yang diberi tahu, itupun karena ibu yang agak terkejut dengan nilai-nilai Runa yang hanya memiliki rata-rata delapan koma. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di keluarga besar mereka, Runa dikenal sebagai anak dengan IQ tertinggi, padahal para sepupunya juga bukan orang-orang biasa. Sepupu-sepupu yang sudah selesai masa pendidikannya ada yang menjadi dokter, pengacara, dosen muda, arsitektur, dan profesi bergengsi lainnya. Sedang yang masih sekolah rata-rata memilih untuk masuk ke sekolah internasional, berbeda dengan Runa yang lebih memilih berada di sekolah yang dekat rumahnya.
Bagi Runa kini, nilai tinggi bukan sesuatu yang dia inginkan. Dia sudah pernah mengalaminya dulu. Belajar giat siang dan malam, membaca buku-buku pelajaran yang bahkan bukan untuk anak seusianya, dan menyelesaikan ujian kesetaraan SMA saat usianya masih 12 tahun.
Dia bisa melakukannya bukan karena dia terlahir genius, tapi juga usahanya yang tak putus.
Melahap berbagai macam buku sudah menjadi rutinitasnya. Bukan karena dia terobsesi dengan belajar, tapi tidak bersekolah dengan formal membuatnya lebih banyak waktu ketimbang anak-anak lain, dan dia ingin membunuh rasa sepinya itu dengan menjelajah dunia lewat buku. Dan tanpa sadar, kegiatan yang dia gunakan untuk membunuh waktu luang itu justru menjadi kebiasaan menyenangkan.
Buatnya, sudah cukup dia berkutat dengan nilai-nilai. Untuk saat ini, dia ingin menikmati waktu remajanya dengan anak-anak yang lain. Bermain bersama, mengerjakan tugas, berangkat dan pulang bersama, atau sekadar berkumpul dan bercerita banyak hal. Dia, juga ingin menulis kisahnya sendiri, suatu hari nanti.
*****
21.45 wib
Bae, besok bisa berangkat pagi gak?
What for?
Lupa ya? Seleksi renang nasional tahap satu.
Astagaa.. Iyaa lupa..🙈
Si bongsor bakal ngamuk kalau kita gak di sana besok.
Okay, lapor babeh dulu...
Kabarin.... Asap.
Siapppp
Percakapan singkat itu berakhir. Runa yang sedang duduk nyaman di dalam kamarnya segera berlari keluar, tidak sabar untuk menemui ayahnya dan memberitahu apa yang direncanakannya besok. Berangkat pagi berarti mengubah jadwal satu rumah, mulai dari jadwal masak ibu, jadwal bangun ayah, dan juga jam bangunnya sendiri. Tapi jika itu untuk salah satu sahabatnya, dia akan melakukannya..
Besok adalah harinya. Hari di mana Juro akan absen selama 2 minggu untuk mengikuti perlombaan renang tingkat nasional. Ini adalah perlombaan bergengsi karena selain membawa nama sekolah, Juro juga merupakan perwakilan dari provinsinya. Perlombaan itu sendiri akan diadakan seminggu lagi di Jakarta. Karenanya, pelatih renangnya mengatakan bahwa dia harus masuk karantina agar bisa berlatih tanpa gangguan. Letak tempat latihan dari kostan tempatnya tinggal cukup jauh, jadi mereka memutuskan untuk membuat Juro tinggal di asrama atlet untuk sementara.
Runa, Tanisha dan Rama sepakat untuk datang ke sekolah lebih pagi untuk mengantar Juro. Di sini, hanya mereka teman-teman dekat yang bisa membuat perasaannya lebih baik. Orang tua Juro berada jauh di Malang sana.
#TantanganWritora
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro