Bab 4 : Hero & Heroine
Gallendra Starsha Aruna Yara, biasa dipanggil Runa. Namanya jelas mengikuti aturan penamaan orang-orang Jawa jaman dulu, bahwa anak pertama perempuan seharusnya diselipkan nama laki-laki, agar kuat dan bisa mengayomi adik-adiknya, begitu filosofinya. Nyatanya, Runa sama sekali tidak memiliki adik. Dia menjadi satu-satunya anak di keluarga Harsa. Satu-satunya penerus yang ternyata justru memiliki keunikan lain dalam dirinya. Narkolepsi.
Narkolepsi juga yang membuat orang tua Runa terpaksa melarang segala hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial, termasuk pendidikan formal. Runa harus menjalami masa sekolahnya hanya berdua dengan guru yang berganti-ganti. Kerja kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, pekan olahraga, jelas bukan sesuatu yang bisa dia dapatkan. Dan kendati semua nilainya tanpa cela, segala pendidikan privat yang dia dapatkan jelas hanya sekedar nilai dan peringkat. Tentang cara bergaul dengan orang lain? Nihil.
Semesta kecil yang didiaminya selama ini, turut membentuk kepribadian anak yang akan genap berusia 14 tahun itu. Runa tidak pendiam, hanya pemalu, padahal secara fisik dia tidak jelek sama sekali. Bisa dibilang dia memiliki wajah yang manis dengan mata besar warisan sang ayah, bibir tipis dari sang ibu, dan tinggi yang menjulang karena kedua orang tuanya pun demikian.
Hanya saja, dia tidak pandai berekspresi. Kendati tempatnya duduk sekarang adalah tempat strategis untuk menjadi pengamat, dia hanya bisa mengamati, tanpa memahami. Dia tidak pernah menolak saat diajak berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, namun dia juga memasang benteng pertahanan tanpa disadari. Ternyata memenuhi keiginan untuk lebih memahami orang lain tidak semudah yang dia bayangkan. Dia bisa saja membaur, tapi dia tetap tidak bisa melebur.
Namun ternyata benteng pertahanan itu hanya berlaku untuk anak-anak lain. Tidak untuk Tanisha dan Juro, dua bintang sekolah yang tanpa terduga menjadi terobsesi padanya sejak pertama kali bertemu. Kedua anak itu selalu menempel pada Runa setiap ada kesempatan. Menjejalinya dengan berbagai pertanyaan, atau sekedar narasi panjang tanpa mengharap jawaban.
Tanisha memperlakukan Runa seperti seorang kakak ke adiknya. Kadang responnya pun terlalu berlebihan saat melihat Runa dekat dengan orang lain. Menariknya pergi dan menjauhkannya dari jangkauan anak-anak lain.
"Runa ada janji nge-date sama aku. Daaa semuanyaaaa .... " ucapnya setiap kali menarik Runa dari kerumunan.
Tidak ada yang memrotes setiap kali dia melakukan itu, mengingat betapa menakjubkannya Tanisha di mata mereka. Mereka justru dibuat gemas oleh tingkahnya yang posesif.
Tanisha Pranaditha Ayu. Cantik, ramah, ceria, penebar senyum pada siapa saja. Dia sedikit lebih pendek dari Runa dengan rambut panjang terawat bak model iklan. Kulitnya bersih tanpa cela. Tangan kanannya tak pernah lupa mengenakan jam tangan kecil yang tak kalah manis dengan dirinya, jam yang berganti-ganti warna dan type setiap harinya.
Tak hanya tampangnya saja yang ayu, Tanisha juga terkenal karena prestasi akademiknya yang belum terkalahkan sampai sekarang. Dia adalah satu-satunya lulusan SMPs TC yang selama 3 tahun berturut-turut menjadi juara umum. Di tahun keduanya, dia terpilih sebagai presiden angkatan, sebuah posisi bergengsi di sekolah itu. Sesuatu yang tidak dapat dicapai tanpa prestasi akademik, sikap tauladan dan pengakuan dari para pengajar. Karenanya, di SMA kali ini pun semua orang percaya bahwa Tanisha akan menjadi presiden angkatan selanjutnya.
Tak kalah menonjol dengan Tanisha, Juro Nathaniel Sachalendra adalah atlet renang nasional yang mendapat beasiswa sekolah penuh sejak smp dulu. Seperti Tanisha, dia juga lulusan SMPs TC. Dia nekat sekolah ke Yogya bersama dua temannya, Rama dan Arga, dan meninggalkan kampung halamannya di Malang, Jawa Timur, sejak masih 12 tahun.
Di sini, dia dikenal dengan prestasi dalam berbagai bidang olahraga. Terlebih olahraga renang yang memang sangat dia sukai dan kuasai. Bukan sekali dua kali dia absen sekolah untuk mengikuti kejuaraan nasional dan pulang dengan piala membanggakan.
Dalam sekejap saja, popularitasnya menyebar dan dia mulai digilai para gadis, didukung dengan wajah kombinasi Jawa-Jepang yang tidak biasa. Tinggi, tampan dan atletis. Siapapun akan melihat dua kali saat berpapasan dengannya.
Namun definisi bahwa Tuhan itu adil sepertinya dapat dilihat dari Juro. Bagaimana tidak, dengan prestasi non-akademik yang sedemikian bersinar, Juro memiliki kelemahan terbesar, yaitu pe-la-ja-ran.
Selain karena seringnya mengambil cuti sekolah untuk perlombaan, Juro memang cenderung mudah lupa dan kesulitan mengingat angka-angka. Tidak heran jika nilai-nilai pelajarannya sering berada di peringkat ratusan. Bahkan hobinya untuk selalu duduk di bangku paling depan pun tidak membantu sama sekali.
"Run, nanti nonton lombaku yo?"
"Run, ayo ngerjain tugas."
"Run, ayo ke kantin."
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang Juro ulang berkali-kali setiap bertemu Runa. Dia ingin selalu berdekatan dengannya, karenanya dia sering bertanya. Untuk Juro, Runa adalah manusia unik yang selalu membuatnya penasaran. Dia tidak pernah melepaskan setiap ada kesempatan untuk bersama dengan Runa.
Perlakuan Tanisha dan Juro pada Runa sempat membuat geger. Bagaimana tidak, setiap kali berjalan bertiga mereka selalu menyedot banyak perhatian. Trio Visual Killer, begitu teman-temannya menyebut mereka. Kombinasi wajah yang menawan dari ketiganya memang tidak bisa ditolerir. Kemana pun mereka pergi, seperti ada lampu sorot yang mengikuti.
Namun, bukan hanya semua perhatian itu saja yang membuat Runa pusing. Tapi kegaduhan yang muncul setiap kali mereka berdua bertemu. Di tengah tingkahnya berebut perhatian darinya, ada hal yang membuat Runa khawatir. Dari yang Runa tangkap, sepertinya mereka berdua tidak saling menyukai. Dan tentang alasanya, dia tidak pernah mencari tahu, walau dia juga sangat penasaran.
"Kamu ngapain sih ke kelas kami terus? Kelasmu bosenin banget, ya?" ejek Juro siang itu, saat Tanisha untuk kesekian kalinya mendatangi Runa di kelasnya.
"Kok kamu yang sibuk. 'Kan aku datengin Runa, bukan kamu." balas Tanisha tak mau kalah.
"Tetep aja, ga enak dilihat." cemooh Juro lagi.
"Iri bilang bosss .... Kamu sebenernya sebel karena ga bisa ikut gandengan sama kayak aku dan Runa gitu 'kan?" Tanisha tak mau kalah.
Segera ditariknya tangan Runa dan menuntunnya ke kantin. Kendati dengan tampang kesal dan penuh amarah, Juro mengikuti mereka dari belakang. Dan itulah awal mula sebutan trio visual killer itu muncul.
Runa dilanda dilema oleh kedua anak manusia itu. Dia memang ingin mendapatkan banyak teman, tapi dia sungguh tidak habis pikir, bagaimana bisa dua anak paling menonjol di sekolah, justru selalu berlomba-lomba mencari perhatiannya.
Bagi Runa, mereka berdua seperti tokoh utama dalam sebuah novel kerajaan. Posisi sebagai duke dan duchess pasti sangat cocok sekali untuk mereka. Baik tampang dan prestasi benar-benar bisa dijadikan sebagai panutan.
Kendati dalam hati Runa belum tahu bagaimana cara bersikap, tapi dia bisa merasakan ketulusan dari mereka berdua. Itulah alasan kenapa dia mulai membiasakan diri dengan perlakuan keduanya dan tidak menjadikan itu beban. Asal bisa membuatnya belajar memahami orang lain, dia akan tetap menjalani kehidupan yang sudah dipilihnya ini, bahkan dengan dua anak menyebalkan yang senang menempel padanya itu.
******
#tantanganwritora #day4
01 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro