Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22 : Go Your Own Way

'Ada yang terjadi' ternyata hanyalah kalimat sederhana yang Rama pilih, agar Runa dan Tanisha penasaran dan segera datang ke sekolah. Karena kenyataanya, yang terjadi jauh lebih buruk dari yang mereka perkirakan. Saat keduanya sampai di sekolah, suasananya sudah berubah tidak menyenangkan, jauh berbeda dari terakhir kali mereka di sana. Entah mana yang lebih menyebalkan, berpuluh-puluh pasang mata yang mendadak berpusat pada mereka, atau kasak-kusuk yang menyebar saat keduanya berjalan menyusuri koridor lantai satu.

"Gila ya, ternyata dunia orang pinter tuh beda. Munafik banget." salah satu kasak-kusuk yang sepertinya sengaja dikeraskan saat melihat Runa dan Tanisha mendekat.

"Huss, awas kedengeran. Kalau ga hati-hati bisa-bisa nilaimu ancur lho. " timpal yang lainnya. Sama sekali tidak berusaha merendahkan suaranya. "

"Ah, iya ya ... orang biasa kayak kita mana bisa macem-macem."

Runa melihat sekilas dari mana sumber suara tidak menyenangkan itu berasal. Seperti yang diduga, lagi-lagi dari anak-anak yang biasa bergerombol bersama Helma. Walau tanpa kepala gengnya, mereka tetap lancar menyebarkan gosip di sana sini. Anak-anak lain hanya mencuri-curi pandang ke mereka, Helma dan kroni-kroninya jelas berada di level yang berbeda. Andai saja punya banyak waktu luang, Runa pasti berhenti dan meminta penjelasan pada gerombolan anak itu.

Sayangnya, Rama dan Juro berpesan agar mereka langsung ke ruang rapat osis saat sudah di sekolah. Jadi mereka bergerak lebih cepat tanpa menanggapi satu kata pun.

Ruang rapat osis terletak di ujung koridor di lantai satu. Tidak butuh waktu lama untuk mereka sampai di sana. Saat sudah berada di depan ruangan yang tertutup itu, Runa dan Tanisha saling berpandangan sebelum akhirnya mengetuk pelan. Keduanya sudah tidak sabar ingin mendengar apa yang terjadi.

Klik.

Terdengar bunyi kunci yang diputar dari dalam. Seorang gadis berkucir kuda melongokkan kepala melihat mereka, Runa mengenalnya sebagai salah satu kakak kelas yang sering bertugas menjadi pengibar bendera.

"Masuk." kata kakak kelas itu. Membuka pintu lebih lebar agar Runa dan Tanisha bisa lewat. Saat mereka sudah berada di dalam, kakak itu menutup pintu di belakang mereka. Runa mengedarkan pandang untuk melihat siapa saja yang ada di sana. Ada 3 orang lagi selain Rama dan Juro, 2 kakak kelas laki-laki yang Runa ketahui bernama Dimas dan Rangga, dan 1 lagi kakak kelas perempuan yang membukakan pintu untuk mereka.

Ruangan yang mereka masuki tidak terlalu luas. Hanya ada beberapa lemari untuk menyimpan berkas menempel di beberapa bagian dinding. Di bagian tengah, ada sebuah meja panjang yang di kelilingi banyak kursi mendominasi sebagian besar ruangan. Di tengah meja itulah dia melihat tumpukan kertas yang berisi gambar yang sama, Runa tidak tahu apa itu, tapi sepertinya seluruh murid yang ada di sana sedang memandanginya saat dia masuk tadi.

"Kalian tau kenapa di panggil ke sini? tanya Dimas yang berdiri paling dekat dengan mereka.Remaja laki-laki yang menjabat sebagai presiden angkatan itu bertanya sambil melihat bergantian dari Runa ke Tanisha.

Keduanya menggeleng. Benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi.

"Maju ke sini. Lihat." lagi-lagi Dimas yang bicara.

Baik Runa dan Tanisha menurut. Mereka mendekat ke meja besar yang berisi gambar-gambar berserakan. Runa mengangkat sebuah gambar agar bisa melihatnya lebih jelas, terlihat olehnya gambar seorang anak perempuan berkucir kuda dengan pakaian tidurnya sedang menerima amplop coklat dari sosok laki-laki yang hanya tampak siluetnya saja.

Kualitas gambar yang sangat buruk itu membuat Runa tidak mengerti apa maksudnya. Dia menoleh ke arah Tanisha untuk mencari jawaban. Dan betapa terkejutnya dia, Tanisha sedang membekap mulutnya sendiri dengan mata yang membelalak terbuka. Terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Sha, kamu kenapa?" tanya Runa keheranan. "Kamu tau maksudnya ini?" diangkatnya gambar itu lebih tinggi.

Alih-alih menjawab, Tanisha justru melihat bergantian semua anak yang ada di sana. Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya berulang-ulang, air mata mulai mengalir dari pelupuknya. Runa yang melihat itu langsung menjatuhkan kertas yang dipegangnya dan meraih tangan sahabatnya.

"Sha, kamu kenapa! Ini kenapa?" tanyanya dengan lebih keras. Dia benar-benar merasa bodoh karena menjadi satu-satunya yang tidak tahu apa-apa di ruangan ini.

Juro tiba-tiba bergerak. Berinisiatif mengambil kursi dan menariknya ke dekat Tanisha, memaksa gadis itu untuk duduk. Tanisha menurut, dia terduduk di kursi yang dibawa Juro dengan tangan yang menutupi seluruh wajahnya.

"Kenapa ini? Ga ada yang mau jelasin?"

"Run, tenang dulu. Biar aku jelasin. Boleh 'kan, Kak?" Rama yang bicara. Dia memandang ke arah Dimas, meminta persetujuan.

"Iya, boleh. Lakukan secepatnya. Sebentar lagi pasti ada perwakilan guru yang ke sini." jawab Dimas sambil melihat jam tangannya. Dia meminta Rangga berjaga di dekat pintu dengan sebuah isyarat, Rangga mengangguk dan mulai bergerak.

"Kamu tau 'kan kalau urutan nilai kalian berubah?" Rama memulai, diikuti anggukan dari Runa, tanda bahwa dia mengerti sampai bagian ini.

"Aku di sekolah sampai malam kemarin saat kalian pulang awal. Guru-guru ternyata lembur untuk mengoreksi ulang. Dan setelah di koreksi, nilai Tanisha ternyata lebih unggul. Mereka sebenarnya merasa bersalah, tapi mereka tidak punya pilihan. Malam itu juga semua pengumuman diganti. Masalahnya ... " Rama berhenti sejenak, berusaha menjaga intonasi agar kabar ini tidak terlalu mengejutkan Runa.

"Pagi tadi bukan hanya pengumuman baru yang ditempel, tapi juga ini." Rama memegang gambar yang tadi sempat dijatuhkan Runa. "Foto Tanisha sedang menerima amplop ujian. Dari foto itu terlihat tanggalnya, malam sebelum ujian digelar. Jadi ... "

"Tunggu ... tunggu. Jadi ini maksudnya ...." Runa mulai mengerti ke mana arah pembicaraan mereka.

"Iya. Anak-anak berpikir kalau Tanisha curang selama ini."

"Ini gila! Mana mungkin!" Runa berkata 'tak percaya. Dia melingkarkan tangannya di bahu Tanisha yang isakannya semakin terdengar jelas. Dia tiba-tiba ingat salah satu bagian cerita Tanisha pagi tadi, tentang Pak Robi dan apa yang dilakukannya. "Jelas-jelas mereka tau seperti apa Tanisha. Mana mungkin dia curang!"

"Kami juga berpikir begitu. Kami sudah kenal dia sejak smp, sudah tau segila apa dia saat belajar. Jadi gosip ini mentah buat kami. Masalahnya, banyak orang lebih percaya apa yang mereka lihat." ujar Rama.

"Makanya kami mengajak kalian ke sini dulu. Terutama kamu, Sha." kata Dimas, pandangannya tertuju pada Tanisha yang masih setia menunduk. "Tenangin diri kamu. Aku tau kamu terguncang. Dan bukannya aku ga bersimpati, tapi kami butuh kejelasan tentang apa yang terjadi. Itu dibutuhkan untuk tau bagaimana mengambil langkah selanjutnya."

"Sha, ini Kak Mel. Lihat Kakak." gadis yang membukakan pintu tadi tiba-tiba sudah berjongkok di depan Tanisha, memegang kedua lututnya, berusaha memberikan ketenangan. "Kamu tau kalau Kak Mel percaya kamu. Tapi kami butuh tau cerita aslinya. Waktu kita ga banyak. Sebentar lagi mereka pasti ngirim utusan ke sini. Kamu jelasin, ya?" nada terakhirnya terdengar memohon.

Tanisha belum menunjukan gerakan apapun. Dimas terlihat mulai gelisah, berkali-kali dia mengecek arlojinya dan pintu yang dijaga Rangga bergantian. Runa tidak tahu apa yang mereka takutkan, tapi sepertinya dia harus ikut membujuk Tanisha agar mau berbicara. Dia tahu bahwa ini sulit untuk Tanisha. Karena dengan jujur tentang Pak Robi berarti juga akan membuka aib tentang ayahnya. Tapi ini juga satu-satunya kesempatan yang dia miliki untuk speak up. Dia harus berani, jika memang ingin mulai hidup dengan jalannya sendiri.

Runa sibuk mencari sesuatu yang bisa membuat Tanisha tersadar dari keadaannya sekarang. Hanya satu hal yang terpikirkan olehnya, entah akan berhasil atau tidak, setidaknya dia akan mencobanya.

What is the you that you dreamed of?
Who do you see in your mirror, I gotta say
Go your own way
Even if you live a day
Do something
Put weakness away

Runa membaca arti lirik itu dengan nada biasa karena dia tidak tahu bagaimana menyanyikannya. Tapi usahanya sepertinya berhasil, karena dia melihat tangan Tanisha yang menutup wajah it perlahan mulai membuka, melihat ke arahnya.

"It's the time, Sha. Go your own way." Runa menyampaikan kalimat pendek itu dengan mata yang menatap langsung ke dalam mata Tanisha. Berusaha memberikan kekuatan dalam tatapan itu, berharap Tanisha bisa menangkap maksudnya.

Ada perubahan dalam sikap Tanisha. Mereka semua menyadari itu. Dia sedang mengumpulkan keberanian untuk bisa mengungkapkan kebenaran di depan mereka semua. Tidak ada yang mendesak, semuanya bersabar menunggu. Mereka tahu butuh banyak keberanian untuk melakukan ini.

Saat keadaannya lebih baik, dia mulai bercerita walau masih terbata-bata. Dia bercerita tentang Pak Robi, tentang apa yang selalu dilakukannya sebelum ujian, tentang rumor yang sengaja disebarkan tentang Runa saat lomba pidato, tentang ayahnya yang ternyata berada di balik ini semua. Saat bercerita bagian ayahnya, Tanisha lagi-lagi dipenuhi emosi dan kembali terisak kencang, Kak Mel harus memeluknya erat karena dia belum juga tenang.

"Pak Robi, ya." kata Dimas akhirnya, saat Tanisha sepertinya syok dan tidak bisa bercerita lagi. "Dari awal aku juga ga terlalu suka dengan dia. Bukannya anaknya juga sekolah di sini?"

"Helma." Kak Mel yang menjawab. "Bukannya dia yang sering berada di dekat Tanisha?"

Mereka semua masih terkejut dengan fakta yang Tanisha ceritakan, sampai tidak sadar sudah berapa lama waktu berjalan. Saat semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba terdengar ketukan keras yang membuat lamunan mereka buyar. Rangga membuka pintu itu dan melihat seorang guru laki-laki berdiri di baliknya.

"Tanisha Pranaditha. Ikut Bapak ke kantor."

Serempak, semua orang melihat ke arah Tanisha. Mereka sudah menduga bahwa ini akan sampai ke telinga guru segera, tapi mereka seperti tidak rela membuat Tanisha masuk ke sana sendirian.

"Kami boleh ikut, Pak?" Kak Mel yang bertanya.

"Mau ngapain? Kami cuma mau bicara dengan Tanisha."

"Setidaknya salah satu dari kami, Tanisha tidak sedang dalam keadaan baik." Runa ikut mencoba.

"Dimas. Kamu saja yang ikut." kata guru laki-laki itu. Enggan untuk berdebat lebih panjang.

Dimas mengedarkan pandang ke semua orang yang ada di ruangan itu. Dia mengangguk meyakinkan.

"Kalian urus yang ada di sini, cari tau apa yang perlu. Aku temenin Tanisha dulu."

Runa memegang tangan Tanisha erat. Berusaha menyalurkan kekuatannya.

"It's okay. Ga, papa. Jangan takut. Kamu ga salah."

Tanisha hanya bisa mengangguk. Dia dan Dimas mulai bergerak, mengikuti guru laki-laki yang sudah meninggalkan ruang rapat osis itu, menuju rapat yang akan jauh lebih menegangkan.

************

"Selain hasil print, apa tidak ada foto asli yang ditempel?" tanya Runa sambil mengacak-ngacak tumpukan gambar yang ada di atas meja.

"Sepertinya ada. Yang 'tak lepas dari mading dekat kantor guru malah foto asli. Mau buat apa?" Juro ikut membantu mengobrak-abrik kertas-kertas itu. Di tengah-tengah tumpukan, dia akhirnya menemukan apa yang dicarinya dan menyerahkannya pada Runa.

"Bagus sekali." kata Runa senang. Menerima kertas yang ada tempelen foto di dalamnya.

"Buat apa, Run?" yang lain mulai bertanya heran.

"Ngumpulin bukti." jawab Runa enteng. Dia memegang foto dengan tangan kiri, tangan kanannya mulai bermain-main dengan ponsel pintarnya. Saat menemukan nama yang akan dihubungi, dia menekan tombol call.

"Setidaknya kita harus tau dari mana sumber foto ini. Kalau dia tahu, mungkin dia bersedia jadi saksi. Rama, Juro, kalian bisa ke kosan Tanisha? Aku dengar warga di sana hampir semua pakai cctv. Kita bisa minta rekaman di hari itu. Kita harus menemukan bukti kalau Tanisha menyerahkan amplop itu kembali."

"Biar kami saja yang mencari rekaman cctv, kalian tunggu di sini." Kak Rangga yang bicara. Dia dan Kak Mel segera bergegas sebelum ada masalah yang lain.

Halo?

Mba Estell, boleh ngerepotin dikit?

Kenapa Run?

Mba bisa kan cari sumber foto dari fotonya saja?

Bisa. Mau buat apa?"

Ada sesuatu. Aku kirim ya fotonya. Makasih banget Mba.

*******

Bersambung

#TantanganWritora

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro