Bab 19 : Your Eyes Tell
"Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya dokter Syifa memulai percakapan. Dipandangannya dokter laki-laki yang juga seniornya saat kuliah dulu. Namun, dokter yang diajak bicara itu belum juga menunjukkan reaksi, sibuk membolak-balik berkas yang ada di depannya, membaca data.
Di sampingnya, suami istri penghuni perumahan Pesona Permata Hijau nomor 13 sedang diam menunggu. Menantikan dengan berdebar hasil pemeriksaan kesehatan putri semata wayangnya. Perasaan mereka selalu dibuat campur aduk jika menyangkut tentang kesehatan Runa. Karena walau penyakitnya sejauh ini tidak membahayakan, tapi Runa tetap tidak bisa senormal anak-anak lainnya. Bahkan saat anak itu sudah masuk sekolah formal seperti yang lain, dia tetap masih sering absen saat penyakitnya kambuh.
"Kita belum bisa membuat keputusan," dokter laki-laki itu menggelengkan kepalanya, meletakkan berkas-berkas yang sedang dipegangnya itu. "Gejalanya agak berbeda dari data-data yang sudah ada. Sepertinya kita harus melakukan beberapa tes lagi."
"Tes apalagi yang dibutuhkan, Dok?" kali ini pak Langga yang bicara, berusaha menyembunyikan nada khawatir dalam suaranya. "Kalau harus ke rumah sakit, sepertinya sulit. Runa agak ...."
"Cukup banyak. MRI, CT scan, Sleep Study yang lebih detail lagi, dan yang terpenting, tes psikologisnya." jawab dokter Tanu. Dia sebenarnya juga tidak yakin, karena ini kasus pertama yang ditanganinya, jadi daripada membuat keputusan terburu-buru, dia ingin mengumpulkan data-data selengkap mungkin. "Apa memungkinkan membuat Runa melakukan semua tes itu segera?"
"Tidak dalam waktu dekat sepertinya, Dok." kata dokter Syifa. "Belakangan gejalanya memang berbeda dari penderita Narkolepsi biasa, tapi kehidupan sosialnya sedang membaik. Saya takut psikisnya semakin memburuk jika dia dipaksa tinggal di rumah sakit. Bagaimana baiknya, Dok?"
"Saya berharap bisa dilakukan secepatnya. Karena ibaratnya, sekarang ini kita masih buta dengan penyakit Runa. Petunjuk sekecil apapun bisa membantu."
Dokter Syifa menoleh ke arah suami istri di sebelahnya. Keduanya kompak melakukan hal yang sama, berbagi perasaan cemas lewat tatapan.
"Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk bisa menyakinkan Runa. Untuk saat ini, ada yang perlu kami lebih perhatikan?"
"Tidak ada, selain kehilangan beberapa memori yang memicu stresnya, sepertinya kondisi Runa kelihatan baik. Cukup pantau saja kegiatannya, usahakan untuk jangan terlalu banyak kegiatan di luar. Imun yang menurun dan tekanan berlebih dapat memicu penyakitnya kambuh."
Percakapan mereka berempat berakhir di sana. Pasangan suami istri berbeda profesi itu meminta izin untuk mengundurkan diri dan kembali ke pekerjaan masing-masing. Setelah mengantar keduanya sampai ke lobi rumah sakit, dokter Syifa kembali ke ruangan dokter Tanu. Melanjutkan pembicaraan yang belum bisa mereka lakukan di depan orang tua pasien.
"Menurut Senior, apa ada kemungkinan ke arah sana?" tanya dokter Syifa. Tangannya sibuk memberesi tumpukan berkas kesehatan Runa yang tadi dilihat oleh dokter Tanu.
"Maksudnya?"
"You know what i mean, KLS?"
Dokter Syifa memperhatiannya. Dokter Tanu tidak menunjukkan ekspresi terkejut dengan teorinya, menandakan kalau mereka memikirkan hal yang sama.
"Aku sendiri sebenarnya belum terlalu percaya dengan syndrome itu, studies-nya masih sangat sedikit untuk dijadikan acuan."
"Satu tahun belakangan sebenarnya kondisi Runa jauh lebih baik ketimbang saat dia kecil dulu. Andai tidak ada efek samping yang diperlihatkan, ku pikir dia pasti sudah sembuh total."
"Kamu juga tau kalau penyakit ini belum ada obatnya. Melihat penderitanya bisa hidup normal dengan orang sekitarnya saja sudah berkah. Dan harusnya itu bisa jadi motivasi biar kita segera menemukan obatnya. Kamu harus bisa bujuk dia ke rumah sakit, sesegera mungkin. Lebih baik berjalan di tempat gelap dengan lilin ketimbang tanpa cahaya sama sekali."
*********
Helma kembali membuat ulah. Beberapa hari menjelang ujian akhir semester digelar, dia berhasil membuat hampir seluruh anak kelas XI bertaruh tentang siapa yang akan menduduki peringkat pertama kali ini. Mendadak saja, Tanisha dan Runa sudah menjadi rival. Tujuannya jelas, membuat Runa, si anak baru yang mendadak dekat dengan para bintang sekolah itu, merasakan malu.
"Kamu bahkan ga pernah serius ngerjain ujian, gimana mau serius jalanin pertemanan? Sesuatu yang kamu anggap sepele dan ga penting, bisa jadi itu adalah yang sekuat tenaga diusahakan orang lain." kata Helma suatu hari, lagi-lagi memprovokasi Runa.
Runa sudah berniat untuk mengabaikannya. Dia terbiasa untuk tidak terpancing pada semua bentuk provokasi dari Helma. Menurutnya, menanggapi anak yang sengaja mencari perhatian tidak akan membawa dampak positif apapun. Dia juga mengamati, Helma sepertinya hanya ingin dekat dengan Tanisha, yang sejak kehadirannya, hal itu sulit dilakukan. Tanisha tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menempel padanya, kapan pun itu.
Namun hal itu pun sulit dilakukan. Tanisha yang akhir-akhir ini selalu kehilangan kesabaran jika sudah berhubungan dengan Helma, mendadak menjadi super menyebalkan pada Runa juga. Dalam setiap kesempatan langka di mana mereka bisa berkumpul, dia akan menggunakan itu untuk menceramahi Runa panjang lebar. Seperti sore ini, saat dia, Runa dan Juro yang baru kembali dari Malang kemarin sore, berkumpul di belakang sekolah yang sepi.
"Pokoknya aku ga mau tau! Kalau kali ini kamu ngerjain ujian main-main, aku ga bakal mau ketemu kamu lagi!" teriaknya keras. Membuat Runa yang sedang asyik dengan webtoon-nya bergerak 'tak nyaman. Runa berpikir tampang Tanisha sekarang sungguh menyeramkan. Tidak biasanya si gadis lemah lembut ini terbakar emosinya.
"Tinggal cuekin aja, sih, tumben banget kamu aware sama hal beginian." Juro yang menjawab. Dia sedang berbaring di rerumputan, berusaha bergelut dengan soal matematika yang Runa berikan.
"Ga bisa gitu dong. Kalau kita ga bisa nunjukin pake data, mereka ga akan berhenti bergosip. Sama seperti tahun lalu, rumor itu mengerikan."
"Semua orang tau siapa yang bakal lebih unggul. Tahun lalu pun sama. Mereka cuma ingin pertujukan. Masa kamu kepancing hal kayak gini, sih, Sha." kali ini Runa yang menjawab. Dia mulai terganggu dengan sikap Tanisha yang sangat sensitif dengan hal-hal tentang nilai dan ujian ini, sesuatu yang sama sekali tidak membuatnya tertarik.
"Bukan masalah kepancing ga kepancing. Ini tentang kredibilitas, lho."
"Bahasamu berat, Sha. Pusing aku dengernya."
"Oh, dengar ...." Tanisha mendadak menjatuhkan diri di depan dua sahabatnya, bersila. Runa menaruh ponselnya, sedang Juro yang sudah menyerah dengan soal matematikanya, menutup buku di depannya itu dengan semangat, menjadikan orasi Tanisha sebagai alasan bagus untuk berhenti mengerjakan. "Kalau kamu masih main-main dengan nilai ujian, mereka akan terus berpikir kalau nilaiku cuma hasil belas kasihan. Mereka ga akan melihat sama sekali kerja keras yang selama ini ku lakukan. Yang mereka percaya, aku bisa juara hanya karena kamu ga serius saat mengerjakan."
"Itu gila. Mana mungkin ada anak belasan tahun yang berpikir dengan cara seperti itu." Runa menatap ngeri.
Juro memegang pundak Runa, membuat Runa menoleh. "Ckckckck ... kamu harus belajar banyak hal, Nak, hidup memang sekejam itu, bahkan di dunia pertemanan anak belasan tahun seperti kita ini." katanya sok bijak, menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Iuhhh ... ga cocok banget kamu ngomong gitu. Mual lihatnya." balas Runa sambil menyingkirkan tangan Juro.
"Udah-udah. Jadi gimana?" Tanisha menyela tidak sabar. "Kamu mau bantu temanmu memperbaiki image-nya atau ga?"
Runa menghela nafas pasrah. Kalau Tanisha sudah menyebut kata 'tolong', dia tidak berani lagi membantah.
"Aku akan melakukan sebisaku. Ini buat kamu, inget ya ...."
Tanisha menubruk Runa dalam pelukan, erat sekali sampai membuat Runa sesak.
"Makasih, ya, Bae ... suatu saat kamu akan tau alasannya."
Runa tidak tahu bagaimana harus bersikap dengan perlakuan Tanisha. Rasanya terlalu dini diberi ucapan terima kasih untuk sesuatu yang belum dia lakukan. Dia juga tidak memahami, kenapa Tanisha begitu ingin membuktikan diri. Apa alasannya? Untuk siapa? Sepenting itu kah prestasi di matanya? Dia ingin menanyakan itu pada Tanisha langsung, tapi sepertinya tidak sekarang. Ujian yang semakin dekat, ditambah lagi rumor yang lagi-lagi beredar, membuat mood-nya naik turun.
*****
Bersambung
#TantanganWritora
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro