Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18 : Cut To The Case

Runa tidak punya pilihan. Sebersih dan semegah apapun rumah sakit, dia tidak akan pernah terbiasa berada di dalamnya. Alih-alih ikut ke dalam dan menemui Juro dan papanya, dia memilih untuk menunggu di taman belakang rumah sakit. Hanya Tanisha, Rama dan orang tua Rama yang masuk ke dalam. Jery dan temannya izin untuk pulang ke rumah orang tuanya di Surabaya. 

"Kamu yakin mau di luar sendirian, Bae?" Tanisha bertanya sekali lagi, khawatir jika harus meninggalkan sahabatnya di tempat asing sendirian. "Aku temenin aja ya?"

"Jangan ... Juro lebih butuh kalian. Lagian 'kan di sini ramai, aku juga bawa ponsel, jadi ga usah khawatir." Runa memberikan tatapan mantap, berusaha meyakinkan sahabatnya.

"Okay, kami masuk dulu ya, nanti aku suruh Juro keluar." kata Rama akhirnya. Menarik tangan Tanisha cepat karena orang tuanya sudah memimpin jauh di depan. Mereka tidak tahu nomor kamarnya, kalau tidak segera, mereka hanya akan tersesat.

Runa melihat kedua sahabatnya menghilang saat berbelok di sudut pertama bangunan putih itu. Dia mengedarkan pandang, mencari tempat yang bisa digunakannya untuk menunggu sampai satu jam ke depan. Satu-satunya bangku kosong yang tersisa di taman itu tertangkap penglihatannya, tepat di bawah sebuah rumpun Jakaranda yang bunganya belum mekar sempurna.

Dia melihat sekeliling. Kendati dia hampa jika menyangkut tentang rumah sakit, tapi taman ini memberi kesan bersahabat untuknya. Mulai dari jenis tanaman yang ada di sana, sampai di mana tanaman itu berada sungguh pas menurut Runa. Duduk di sini untuk sekedar mengusir stres atau menghabiskan waktu akan sangat menyenangkan.

"Kamu ga ketiduran 'kan?" sebuah suara tiba-tiba mengganggu lamunannya. Dia mengangkat kepalanya, menangkap sosok yang selama beberapa hari ini menghilang tanpa kabar berita.
"Maaf ya, udah bikin kalian jauh-jauh ke sini."

"Nih ... " Runa memukul lengan anak itu sekali saat dia duduk di sebelahnya. "Balasan karena pergi tanpa kabar. Dan ini ...." kali ini Runa mencubit lengan sahabatnya itu. "Karena ga jujur dengan kita dan malah menghadapinya sendiri."

"Ah ... memang dasar barbar ya barbar aja! Sakit tauuuu!! Kamu hobinya ngancurin momen haru ya!" Juro mengusap-usap lengan yang dipukul oleh Runa, pura-pura mengaduh histeris padahal tidak merasakan sakit sama sekali. Dalam hati dia sangat bersyukur, teman-teman yang dikenalnya setahun lalu itu benar-benar mepermasalahkan ketidakhadirannya. "Makasih ya, sudah datang ke sini." lanjutnya  tiba-tiba.

Runa yang terkejut mendengar perubahan intonasi itu memutuskan untuk mengalihkan pandangan. Air mancur dengan banyak tanaman di seberang mereka mendadak menjadi lebih menarik dari apapun.

"Kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama kalau posisinya dibalik. Jadi santai aja." kata Runa menenangkan. "Ngomong-ngomong, papamu gimana?"

"Udah mendingan, 2 hari lagi boleh pulang kayaknya. Tapi karena kondisi kakinya, untuk sementara papa ga bisa jualan dulu, harus pakai kursi roda." ucap Juro dengan suara yang semakin lama semakin lirih. Jika Runa tidak di sebelahnya, mungkin dia tidak bisa mendengar kalimat terakhir Juro.

"Kamu ... okay, 'kan?" tanya Runa. Dia memandang sahabatnya, prihatin. Anak yang bahkan belum genap 16 tahun itu pasti sedang memikirkan banyak hal di kepalanya. Tentang kembali ke sekolah dan melanjutkan mimpinya, atau menetap di sini dan berbakti kepada orang tuanya.

Juro mendongak mendengar pertanyaan itu. Hanya dua kata. Hanya dua kata namun bisa memanggil seluruh beban yang selama ini dipendamnya, muncul ke permukaan. Beban yang berusaha dia abaikan, tapi kini seperti menuntut untuk diperhatikan.

"Aku ga tau baik-baik aja atau ga. Semuanya jadi ga jelas sekarang." ungkap Juro, menyandarkan punggungnya ke bangku taman, lalu menengadah memandang awan biru yang jernih menggantung di atas mereka. "Aku egois ga si Run, karena pertahanin sesuatu yang ternyata bisa nyakitin orang terdekatku?"

"Kamu yakin kalau orang terdekatmu tersakiti karena pilihanmu? Atau itu cuma keyakinan yang kamu tanamkan di kepalamu sendiri?"

"Aku ga tau ... papaku punya pilihan buat hidup layak kalau dia kembali ke negaranya, tapi karena aku, papa harus hidup susah di sini. Ada saat di mana ku pikir kembali ke Jepang adalah pilihan terbaik buat papa."

"Gimana denganmu? Menurutmu itu juga terbaik buat kamu?" tanya Runa. Dia sempat terdiam sesaat karena terkejut mendengar Juro bilang tentang kembali ke Jepang, tapi dia berusaha menyembunyikan perasaannya itu.

Juro melihat Runa lama. Lagi-lagi anak itu berhasil membuatnya kehilangan kata-kata. Kalimat yang akan diucapkannya seakan menggantung di udara.

"Dengan keadaan papaku sekarang, memangnya keinginanku masih penting?" tanyanya akhirnya, lebih untuk dirinya sendiri ketimbang untuk sahabat di sebelahnya itu.

Suasana di antara dua remaja itu mendadak hening. Karena keduanya sibuk dengan perasaan masing-masing. Runa tidak tahu bagaimana  membuat sahabatnya merasa lebih baik. Sedang Juro berusaha untuk tidak terlalu menunjukan emosinya di depan Runa, karena entah bagaimana, dia kesulitan menyembunyikan apapun dari sahabatnya satu ini.

Situasi canggung mereka terselamatkan saat di kejauhan terlihat rombongan kecil yang mereka kenal sedang menuju ke arah mereka berada, membuat Juro dan Runa berdiri tiba-tiba. Tanisha dan Rama memimpin di depan bersama ibunya, diikuti ayah Rama yang sedang mendorong sebuah kursi roda yang dinaiki oleh seorang laki-laki berwajah persis seperti Juro. Usianya sepertinya belum terlalu tua, namun jelas terlihat, ada guratan-guratan hasil kerja keras yang melekat di mana-mana. Laki-laki itu tersenyum ramah saat sudah mendekat ke tempat di mana Runa dan Juro berada, membuat matanya yang sipit itu semakin menghilang.

"Ada gadis ayu kok ga dikenalin sama papa." katanya ramah, mengulurkan tangan ke arah Runa yang salah tingkah.

"Runa, Om ... eh, salam kenal. Maaf ga bisa masuk." Runa menjawab putus-putus.

"Ya gitu, Om, mau diawetin sama Juro. Pelit dia kalau soal Runa." celetuk Rama sekenanya. Membuatnya mendapatkan pukulan keras dari Juro yang tiba-tiba sudah di sebelahnya. Mereka semua sudah terbiasa dengan tingkah dua sahabat kecil itu, saking terbiasanya sampai membuat mereka enggan menanggapi. 

"Sudah-sudah bercandanya. Ayo pulang, Om Taka juga harus istirahat." ibu Rama melerai keduanya agar lebih tenang.

"Kalian pulang hari ini?" papa Juro yang bertanya, membuat mereka saling bertukar pandang.

"Iya, Om. Kak Jery yang antar kami ada ujian Senin pagi, jadi ga bisa bolos." Tanisha yang menjawab.

"Nanti Juro nyusul ke rumah Rama ya, biar siap-siap dulu."

"Aku ga akan kemana-mana."

"Tapi, Nak ... minggu depan kamu ujian semester."

"Biarin aja."

"Juroo ..." suara ayahnya agak meninggi.
Antara putus asa dan kesal pada anaknya yang keras kepala.

"Sudah-sudah ... nanti dibicarakan lagi. Ayo, Mas, 'tak antar ke dalam." ayah Rama yang menengahi, memutar kursi roda itu dan bergerak menuju ke dalam rumah sakit. Istrinya mengikuti di belakangnya.

Tinggal tersisa mereka berempat di taman itu. Semuanya terdiam. Suasana canggung sisa pertengkaran yang ayah dan anak itu tinggalkan masih terasa di udara. Membuat semua orang mengambil jeda sebelum melanjutkan bicara.

"Kamu pikirkan baik-baik dulu. Buat keputusan dan jangan menyesalinya." Rama menasehati. Merangkul pundak temannya itu untuk menguatkan. "Kami pulang ke Yogya duluan ya."

"Jadi terbaik buat seseorang ga berarti kamu memberikan semua yang kamu punya. Kamu juga harus memperjuangkan apa yang terbaik buat dirimu. Karena mereka yang benar-benar peduli dengan kita, ga akan membuat kita berkorban." kali ini giliran Tanisha yang menyemangati, meninju pelan lengan Juro. Mereka yang biasanya saling mengganggu itu bisa akur juga dalam keadaan begini.

Mereka tidak terbiasa bicara manis satu sama lain, jadi bisa dibayangkan bagaimana perasaan Juro saat ini. Jika tidak sedang di tempat umum, dia mungkin sudah memeluk mereka semua. Dia belum membuat keputusan, tapi setidaknya bebannya sudah terasa ringan.

Runa melangkah paling belakang, menyusul Rama dan Tanisha yang sudah bergerak lebih dulu. Jarak mereka masih cukup untuk mendengar satu sama lain saat Runa berbalik dan mengatakan pesan terakhirnya. "Kamu tau ga kalau sumber kesalahpahaman terbesar itu karena orang ga mau saling bicara? Bisa jadi kamu dan papamu cuma salah paham. Coba dibicarakan, cari solusi bersama tanpa ada yang terluka. Komunikasi itu penting dalam hubungan apapun. Aku pulang, ya ...." Runa melambaikan tangan, meninggalkan Juro yang tiba-tiba disergap rasa kesepian.


*********


Bersambung

#TantanganWritora

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro