Bab 17 : Malang
Kamar kos itu hanya berukuran 3x4 meter saja. Cukup untuk meletakkan 1 tempat tidur berukuran single, 1 lemari pakaian kecil yang juga merangkap sebagai meja belajar, dan sebuah rak sedang yang Juro gunakan sebagai tempat buku dan peritilan barang-barangnya. Cukup sederhana dan biasa untuk sebuah ruangan yang sudah hampir 3 tahun belakangan ini menjadi tempat tinggalnya. Ukurannya yang kecil hanya membutuhkan beberapa detik saja untuk Juro mengedarkan pandang, mencoba mencari kenangan di sudut kepalanya.
Ranselnya sudah tersegel rapi, bersandar pasrah di kaki rak di sebelah pintu keluar, menuntut perhatian. Juro memandangnya sekilas sebelum terduduk lemas, resah dengan keadaan yang dia hadapi sekarang. Beberapa jam lalu, kenalannya di kampung mengabari jika ada sesuatu yang terjadi pada ayahnya saat sedang berkeliling menjajakan dagangannya seperti biasa. Walau mereka mengatakan ayahnya baik-baik saja dan sudah mendapat perawatan, dia tetap tidak tenang dan ingin memastikannya sendiri. Kabar itu ikut memunculkan rasa bersalah yang selama ini berusaha dia abaikan. Rasa bersalah pada ayahnya yang harus hidup susah demi keinginan Juro yang ingin menetap di Indonesia.
Bukan hanya itu saja, teror dari keluarga ayahnya di Jepang yang meminta mereka untuk kembali sudah semakin sulit dihindari. Mungkin itu karena Juro sudah mendekati usia 18 tahun, usia di mana dia secara legal harus memilih kewarganegaraan. Kakek dan neneknya masih belum rela jika mereka selamanya menetap di sini. Hampir setiap hari, mereka menelpon Juro dan berusaha untuk meyakinkannya. Juro mulai ragu, jika mereka kembali ke Jepang, ayahnya tidak akan kesusahan lagi. Mereka juga akan lebih mudah melupakan kenangan tentang ibunya yang sekarang entah di mana.
"Nenek nelpon lagi." dia ingat memberi tahu ayahnya saat mereka telponan kemarin malam.
"Angkat aja, dengerin, ndak usah dibantah." jawab ayahnya dengan bahasa Indonesia fasih bercampur logat Jawa Malangnya. 10 tahun di Indonesia jelas sudah melatih lidahnya.
"Papa tenan ga mau pulang?"
"Kamu mau?"
Ada jeda panjang sebelum Juro menjawab, dan dia selalu merasa menyesal karena ini. Responnya yang selalu terdiam setiap pertanyaan itu diajukan membuat ayahnya tahu kalau Juro tidak ingin kembali ke Jepang. Dan itu juga yang membuatnya selalu terlihat tidak ingin juga, keinginan anaknya adalah yang utama untuk laki-laki yang sudah ditinggalkan perempuan yang dicintainya itu.
"Kita cuma harus cari jawaban yang sama buat nenek. Jadi ndak usah terlalu dipikirkan. Fokus aja sama sekolahmu. Oh ya, soal renang, katanya kamu mau ngasih tau papa, ada kabar apa?" sekali lagi, ayahnya berusaha mengalihkan topik pembicaraan, renang adalah hidup Juro, dia tahu itu.
"Pihak Foundation perpanjang beasiswanya, Juro bisa masuk kuliah gratis karena menang lomba kemarin." Juro berusaha menyembunyikan kebahagiannya yang sebenarnya sedang meluap. Perpanjangan beasiswa ini benar-benar kabar yang sangat dia tunggu. Karena sejak setahun yang lalu, selain renang, alasannya ingin tinggal di sini kini bertambah. Sesuatu yang sangat berharga sudah masuk dan menjadi bagian dalam dirinya.
Juro tidak tahu, bahwa setelah dia selesai menyampaikan kabar itu, ayahnya langsung terduduk bangga, memegang dadanya erat dan menangis haru. Anak lelakinya yang besar dengan banyak luka itu memilih untuk berdiri tegak dan menolak menyerah pada kemiskinan. Dia, juga harus menguatkan diri dan tak boleh goyah. Dia harus lebih kuat agar tetap bisa menjadi sandaran untuk putra satu-satunya itu.
*********
Runa, Tanisha, dan Rama menunggu cemas di dalam kamar Runa. Di bawah, Jery sedang berbicara dengan kedua orang tua Runa tentang apa yang akan mereka lakukan, menyusul Juro ke Malang dan melihat keadaannya. Mereka juga harus membawanya kembali karena UAS hanya tinggal menghitung hari. Runa sudah memulai pembicaraan itu tadi, tapi karena keadaannya justru kacau karena orang tuanya yang mengamuk, akhirnya Jery turun tangan.
Runa sudah tidak bisa berpikir dengan tenang sejak Rama memberi gambaran sedikit tentang apa yang dialami Juro. Rama bilang, dia tidak bisa memberitahu lebih jauh, bukan haknyaa. Biar Juro sendiri yang berbagi, saat dia benar-benar ingin. Anak itu sungguh bodoh, batin Runa. Bagaimana mungkin masalah sebesar itu disembunyikan dari sahabat-sahabatnya dan dihadapi sendiri.
Saat pikirannya sedang sibuk kemana-mana, pintu kamarnya mendadak menjeplak terbuka. Ayah ibunya dan Jery masuk, dengan tampang tak tertebak dari ketiganya.
"Pakai mobil Kak Jery dan temannya, menginap di rumah Bude Retno, bawa obat, ga boleh telat makan, ga boleh pergi kemana pun tanpa ada siapapun, segera pulang setelah urusan selesai." ibunya mengatakan itu semua dalam satu tarikan nafas.
Runa memelototkan mata. Bagaimana mungkin menginap di Surabaya jika yang mereka tuju adalah Malang? Dengan waktu perjalanan yang panjang, mereka bahkan hanya memiliki sedikit waktu meyakinkan Juro untuk kembali. Mana sempat jika harus ke Surabaya juga. Dia hampir melayangkan protes andai tidak melihat kode yang dikirimkan sepupunya. Jery mengedipkan mata, menyuruhnya diam dan menerima saja semua syarat itu. Anak laki-laki yang 10 centi lebih tinggi darinya itu bergerak memutar dan merangkul bahu Runa.
"Aku udah janji, Te, Runa pulang utuh."
***
Runa merapatkan selimutnya sampai ke dagu. Jendela mobil Toyota Rush yang mereka naiki padahal sudah rapat terkunci, tak ada cela yang mengizinkan hawa dingin dari luar masuk menyentuh mereka. Tapi ternyata keadaan di dalam mobil itu tetap bisa membuatnya menggigil, dia yang duduk di kursi tengah bersama Tanisha terus bergerak tidak nyaman.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilang malam. Perjalanan mereka sudah di tempuh hampir 6 jam lebih. Menurut penuturan Rama yang duduk di kursi paling belakang, mereka sudah memasuki kecamatan di mana rumah Juro dan rumahnya berada. Sesuai kesepakatan, malam ini mereka akan menginap di rumah Rama dulu, besok baru mereka bertemu dengannya dan mengajaknya bicara.
Tidak butuh waktu yang lama, setengah jam kemudian mereka sudah memasuki halaman sebuah rumah berlantai satu yang di kanan kirinya penuh dengan tanaman hias. Rama yang sudah mengabari orang tuanya lebih awal melongok lewat jendela untuk melihat apakah mereka masih terjaga. Dan benar saja, keduanya berdiri tegak menyambut kedatangan mereka.
"Papanya Juro masih di rawat di rumah sakit. Bapak sama Ibuk juga dari sana." kata ibu Rama saat mereka selesai makan malam.
Runa, Rama dan Tanisha saling pandang. Hanya tersisa mereka bertiga di ruang keluarga Rama. Jery dan temannya pamit lebih awal untuk menggunakan kamar tamu, mereka sudah kelelahan akibat bergantian memegang kemudi.
"Besok kita ke sana bareng-bareng. Sore kalian harus sudah pulang ke Yogya. Bukannya Senin sudah mulai ujian?"
"Inggih, Bu" jawab Rama. Ketiganya lantas pamit dan memasuki kamar yang sudah disediakan. Runa dan Tanisha menggunakan kamar Rama, sedang Rama mengungsi di kamar adiknya.
"Juro marah ga ya kita ke sini?" Runa bertanya pada Tanisha yang terbaring di sampingnya. Keduanya kelelahan, tapi mata mereka menolak untuk menutup. Informasi yang mereka dapat dari ibu Rama membuat keduanya dipenuhi perasaan yang bercampur aduk. Kabarnya, luka yang diderita ayah Juro cukup serius yang membuatnya akan sulit beraktivitas seperti biasa. Dan itu berarti bahwa pencari nafkah di keluarga itu tidak lagi bisa melakukan perannya. Di tambah lagi, Juro dan ayahnya hanya memiliki satu sama lain di sini.
Runa menyadari, tidak banyak lagi pilihan yang Juro punya. Tapi setidaknya, mereka ingin berusaha sekali lagi, walau keputusan akhir tetap akan mereka serahkan pada sahabatnya itu.
"Entah ... mungkin ga nyaman. Tapi seharusnya dia ga marah. Keadaannya membutuhkan lebih banyak dukungan bagaimana pun juga."
"Ku harap juga begitu. Ku harap kita sudah melakukan hal yang tepat."
******
Bersambung
#TantanganWritora
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro