Bab 15 : Narcolepsi
Kamar yang berada di atas pavilium keluarga Harsa itu tiba-tiba hening. Keempat remaja yang berada di dalamnya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka menyimpan rasa bersalah pada satu sama lain, sampai tak seorang pun bersedia membuka percakapan. Bahkan sekedar berbasa-basi pun tidak. Saat ibu Runa meninggalkan mereka agar lebih leluasa untuk mengobrol tadi, hanya ada satu gerakan yang terjadi. Juro yang berada di paling belakang barisan tiba-tiba mendekati Runa, memegang keningnya sesaat, menarik nafas lega, lalu terduduk di bangku di sebelah ranjang, masih tanpa mengeluarkan satu kata pun. Mereka semua terkejut dengan tindakan mendadak Juro, tapi tak ada satu pun yang berkomentar.
"Kita gak lagi di pemakaman, lho. Kok vibe-nya suram gini." Runa berusaha melucu untuk mencairkan suasana, tidak nyaman dengan diamnya mereka semua. Karena tidak ada yang menyahut, akhirnya dia melanjutkan.
"I'm okay, really. Aku gak mau denger permintaan maaf dari siapapun, aku juga gak akan minta maaf pada siapa-siapa. Kita lupain, okay?"
Dilihatnya ketiga sahabatnya bergantian. Juro yang duduk di kursi sebelahnya, Rama yang duduk di tepi ranjang tempatnya berbaring, dan Tanisha yang berdiri diam di antara keduanya. Tiba-tiba saja Tanisha menghambur ke arah Runa dan memeluknya erat. Terdengar isakan pelan dari gadis berambut panjang itu. Runa yang sempat terkejut dengan pelukan itu mengangkat tangannya, membalas pelukan sahabatnya itu.
"Sekarang udah mau ngomong sama aku, Sha?" goda Runa, mencoba menjahili Tanisha yang mulai berhenti dari isakannya.
"Runa!" Tanisha merespon dengan memukul pelan lengan Runa yang bebas infus. "Aku khawatir tau."
"Apalagi Juro tuh, dari kemarin mendadak jadi pendiem dia." Rama ikut nimbrung. Diikuti tatapan mengancam dari Juro. "Tapi aku lega kamu kelihatan baik sekarang. Mewakili teman-teman, kami minta maaf ya."
"Aku ga sepenuhnya nyalahin teman-teman yang lain. Wajar mereka menebak-nebak karena rumor yang beredar seperti itu. Yang ga habis pikir, kenapa ga ada yang mau nyoba cari tau kebenarannya dulu sebelum menghakimi seseorang? I really didn't get it."
"Yang aku lebih bingung, dari mana rumor-rumor itu berasal." Juro yang sejak tadi diam tiba-tiba ikut bergabung. Dia yang sedang absen dari sekolah saat semua hal buruk itu terjadi mendapat detail ceritanya dari Rama. "Rumor itu gila, ga masuk akal, tapi hampir semua anak percaya."
Tanisha bergerak tidak nyaman, dia yang duduk bersila di atas ranjang Runa mengalihkan pandangannya sekilas sebelum kembali bergabung dengan sahabat-sahabatnya.
"Rumor has it. Pada dasarnya manusia itu percaya apa yang ingin mereka percaya, bukan apa yang seharusnya mereka percaya," kata Rama sok bijak.
"Tapi kamu bener sudah ga papa, Run?" Kondisimu kemarin agak ... " Tanisha tidak melanjutkan kata-katanya.
Mereka bertiga yang melihat secara langsung saat Runa tak sadarkan diri kemarin, atau saat dia berteriak histeris di rumah sakit, sedikit heran melihat kondisi Runa yang sekarang, seperti tidak terjadi apa-apa. Tanpa selang infus yang menempel di tangan kirinya, Runa sudah seperti orang sehat pada umumnya. Kemana perginya anak rapuh yang bahkan membutuhkan SSRI agar bisa tenang itu?
Runa menghela nafas. Mengedarkan pandangan kepada sahabat-sahabat yang sedang mengitarinya itu. Tatapan mereka menunjukkan satu hal, penjelasan. Sesuatu yang tidak ingin mereka paksakan, namun juga menyeruak karena penasaran. Dia juga sebenarnya bukan seseorang yang sengaja menutupi tentang kondisinya, hanya saja, selama ini memang tidak ada cukup alasan untuk memberi tahu kebenarannya pada mereka.
"Aku punya Narkolepsi." kata Runa akhirnya. Diucapkan dengan biasa, seolah sedang membicarakan tentang deman dan flu. Rama, Juro dan Tanisha yang terkejut mendengarnya mengeluarkan ekspresi yang berbeda-beda. Ketiganya bukan murid biasa, jadi setidaknya kata asing ini pernah mereka dengar. Hanya saja, mereka tidak tahu seberapa bahaya penyakit ini.
"Ini bukan penyakit berbahaya, hanya penyakit yang membuatku tertidur di jam-jam yang tidak biasa. Namun kata dokterku, akan berbahaya kalau aku kambuh di tempat-tempat tak terduga. Misal saat aku naik tangga, saat di jalan raya, atau saat naik kendaraan umum. Itulah kenapa dari kecil aku homechooling. Orang tuaku terlalu khawatir." katanya nyegir. Sama sekali bukan ekspresi seseorang yang sedang menceritakan hal buruk dalam hidupnya.
Runa memang seseorang yang seperti itu. Masa di mana dia menolak menerima kenyataan tentang kelainan yang dia miliki sudah lewat. Dia sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri, dengan penyakitnya, atau pun kondisi yang menyertainya. Dia sudah bisa menikmati segala hal yang ditakdirkan untuknya. Alih-alih bersedih dan menyembunyikan diri, Runa memutuskan untuk keluar dari istananya yang nyaman dan berpetualang. Walau petualangan pertamanya ternyata memberi syok terapi tersendiri, tapi setidaknya dia bersyukur, dia bisa mengenal orang-orang keren yang sekarang ada bersamanya ini.
"Apa tekanan juga bisa menjadi pemicu kambuhnya?" Juro bertanya, memutar kursinya agak tepat menghadap Runa yang masih bersandar itu.
"Harusnya ga, biasanya kambuh justru tanpa sebab, tiba-tiba ngantuk. 10 atau 15 menit ketiduran, udah bangun lagi. Tapi belakangan gejalanya memang agak beda." pikiran Runa melayang. Ada sesuatu yang baru disadarinya justru saat dia bercerita kepada sahabatnya. Sesuatu yang mengganggu pikirannya belakangan ini namun dia tidak tahu apa itu. Saat dia menceritakannya tadi, dia sadar apa hal aneh itu. Tapi untuk saat ini, dia hanya akan menyimpannya sendiri.
"So ... don't worry too much. Aku baik-baik saja. Aku normal. Tapi kalau aku sering tidur di kelas, maklumin saja ya."
"Jadi itu alasan bahasa Inggrismu bagus? Homeschooling?" kali ini Rama yang bertanya. Banyak sekali hal tentang Runa yang ingin dia tahu, tapi dia memilih berhati-hati karena tidak ingin melewati batasannya. Bagaimana pun juga mereka belum lama saling mengenal.
"Kalau bahasa Inggris bukan karena homeschooling sebenarnya. Keluarga besar ibuku memang terbiasa berkomunikasi dengan 3 bahasa, Inggris, Bahasa, sama Jawa." jelas Runa. "Kalian ketemu Jericho kemarin? Selain ambil jurusan Managemen, dia juga jadi penulis artikel bahasa Inggris di koran dalam kota. Dan ada juga Estella, sepupuku yang lain malah jadi broadcaster di radio yang basic-nya bahasa Inggris semua. Bahasa Inggris di keluarga kami itu kewajiban, jadi saking terbiasanya sama kayak lagi ngomong Jawa. Tapi mentalku jelas ga bisa dibandingkan dengan Tanisha, aku ga terbiasa bicara di forum."
"Aku cuma unggul karena terbiasa." Tanisha merendah.
"Ga. Dari awal memang aku yakin kamu yang lebih mampu. Berdiri di depan itu bukan soal bisa atau tidak bisa saja, tapi juga seberapa mampu kita menyampaikan pesan pada pendengar. Dan aku belum punya bekal sebesar itu."
"Syukurlah kita sempet bertanding, jadi setidaknya sedikit rumor itu bisa dihindari. Dan setidaknya, semua hal buruk itu sudah berlalu."
"Aku ndak nyangka kalau ending-nya sebiasa ini. Perasaan jengkelku bahkan belum hilang. Bully lho ini." Juro mendengus kesal.
"Bully, apapun alasannya, memang ga baik. Tapi hal-hal seperti itu masih sering terjadi di sekitar kita. Alih-alih mengasihani si korban, bukannya lebih baik kita mengajarkan ke mereka cara untuk speak up? Setidaknya agar mereka tau, ada hak yang harus diperjuangkan." ungkap Runa. Berusaha melupakan sensasi Dementor yang dirasakannya saat dia sempat stress dulu.
Runa benar-benar tidak ingin ada anak lain yang merasakan seperti apa yang dia rasakan. Untuknya mungkin mudah, dia tertolong segera karena memiliki teman-teman yang peduli padanya. Tapi bayangkan, anak-anak di luar sana yang sering menjadi korban bully pasti dijauhi dan tidak punya teman. Dia membayangkan betapa sedihnya jika menjadi anak-anak yang harus berada di posisi seperti itu.
Runa yang masih harus belajar banyak hal itu tidak menyadari, bahwa dalam hidup, kita harus bisa berkompromi dengan banyak hal, termasuk dengan hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi. Hidup kadang memang sebercanda itu.
******
Bersambung
#TantanganWritora
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro