Bab 13 : Home Sweet Home
Rombongan kecil itu mengikuti dokter Tanu menuju ruangannya. Ayah dan ibu Runa yang sebenarnya khawatir namun terlihat sangat tenang, dokter Syifa dan dokter Fitra yang masih dengan seragam putihnya dan terlihat sedang berbisik satu sama lain. Saat mereka sampai di sebuah ruangan di ujung rumah sakit, kedua dokter itu terpaksa menghentikan aktivitas mereka dan memasuki ruangan sesuai instruksi dokter Tanu.
"Dokter, perkenalkan, ini Ayah dan Ibu Aruna ... pasien yang dokter tangani tadi. Dan ini Dokter Fitra, dokter penjaga di sekolahnya." dokter Syifa memulai, menunjuk satu persatu orang yang dia kenalkan. "Dan, Om, Tante, Fi ... ini Dokter Tanu, dokter spesialis syaraf dan juga senior saya dulu di kampus."
Mereka semua saling menunduk satu sama lain.
"Jadi, hasil pemeriksaannya bagaimana, Dok?" ibu Runa bertanya, melihat ke arah suaminya sekilas lalu ke arah dokter Tanu kembali.
"Saya belum bisa memberikan hasil pastinya tanpa melihat jejak medis pasien. Apa itu mungkin?" dokter Tanu melihat ke arah orang tua Runa dan dokter Syifa bergantian.
"Bagaimana, Om, Tante? Boleh tidak?" tanya dokter Syifa meminta persetujuan.
"Ndak papa, semakin banyak dokter yang menangani semakin besar harapan sembuhnya, kan?" kali ini ayah Runa yang bertanya.
Itu retoris. Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak membutuhkan jawaban. Karena semua orang dalam ruangan ini, kecuali dokter Tanu tentunya, tahu bahwa Narkolepsi belum ada obatnya.
Dokter Syifa juga memilih untuk bungkam, sebagai gantinya, dia mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada dokter Tanu. Dokter Tanu menerima berkas tersebut dan mulai membacanya. Sesekali terlihat alisnya yang berkerut tanda berpikir keras, atau kepalanya yang terangkat untuk melihat ke arah dokter Syifa, mencari pembenaran tentang berkas yang sedang dia baca. Saat dia sudah mencapai halaman terakhir, dia menutup berkas tersebut dan memandang dokter Syifa dengan tatapan serius.
"Ini kasus langka. Dan dari penjelasanmu yang terakhir, sepertinya pengamatanmu belum selesai." ungkapnya. Ada pertanyaan tak terucap dalam pernyataan itu. Sesuatu yang dengan mudah ditangkap maksudnya oleh dokter Syifa.
"Hmm ... sebenarnya, dari pengamatanku pada perkembangan Runa, ada yang berbeda dari gejalanya belakangan ini. Om, Tante ... " dokter Syifa melihat ke arah orang tua Runa untuk meminta persetujuan. Keduanya mengangguk, siap dengan segala hal yang akan keluar dari dokter keluarga mereka itu. "Pada kasus penderita Narkolepsi biasa, mereka hanya akan mengalami kondisi mengantuk pada jam-jam tak terduga. Dan itu pun hanya 5-15 menit saja. Setelahnya mereka akan bangun dan seperti biasa lagi. Hal ini bisa terjadi 5-6 kali sehari, normalnya begitu.
"Tapi belakangan, kondisi Runa berbeda. Rasa kantuk yang biasa menyerangnya di siang hari mulai tidak terlihat. Om dan Tante juga menyadarinya, kan? Tapi sebagai gantinya ... " dokter Syifa berhenti kembali, melihat ke rekan sesama dokter di depannya dan kedua orang tua Runa. "Sebagai gantinya, dia bisa tertidur berjam-jam, apalagi saat dia mengalami kejadian yang membuatnya tertekan. Dan ... hal tidak biasa lain yang saya temukan adalah, saat terbangun, ada beberapa kejadian yang sama sekali tidak dia ingat. Saya pernah bertanya padanya saat dia terbangun setelah hampir 3 jam tertidur di luar kamarnya, dan dia bilang, dia tidak ingat apa yang dilakukannya sampai berakhir tertidur di ruang keluarga itu."
"Itu sebuah kemajuan atau bagaimana?" tanya ibu Runa, terlihat bingung.
"Gejalanya bergeser. Bukan sesuatu yang akan terjadi pada penderita Narkolepsi biasa. Ini perlu penelitian lebih lanjut, kita tidak bisa asal mendiagnosa. Tapi aku sepertinya bisa menduga, bergeser kemana penyakit ini."
*******
Runa sudah berada di kamarnya lagi. Selang infus masih terpasang di tangannya, ntah apa alasan dokternya melakukan itu karena dia sudah merasa sangat baik. Ingatannya tentang kejadian kemarin hanya terlihat samar, dan seperti yang sudah-sudah, dia tidak pernah ambil pusing tentang itu. Dia hanya perlu mengingat satu hal, sesuatu yang bisa membuatnya terbaring di ruang perawatan berarti bukan kenangan yang perlu diingat kembali.
Dia sudah terbiasa dengan situasi ini sampai-sampai selang infus yang menggantung itu tidak menghalangi aktivitasnya. Dia bangun dari ranjangnya dan bergerak menuju balkon, ingin melihat keadaan di luar. Saat ini pukul sepuluh pagi, cukup telat untuk sebuah sarapan sepertinya. Jalanan yang biasanya ramai orang beraktivitas mulai terlihat lengang.
"Sudah bangun, Run?" suara tegas ibunya membuat Runa seketika menoleh dari kegiatannya. Dia bergerak pelan ke arah ibunya dan mencoba tersenyum.
"Ibuk ga ngajar? Apa masuk siang?" tanyanya, duduk di kursi kecil dekat gitar akustiknya berada.
"Sabtu to. Cuma ekskul, jadi bisa ijin, ngapain ke sekolah, ga ada kegiatan." jelas ibunya.
Runa mengamati ibunya yang sedang merapikan tempat tidurnya. Walau sikap dan tindakan ibunya terlihat tenang, tapi dia tahu kalau sebenarnya perempuan di depannya ini sangat khawatir. Ibu memang sosok yang seperti itu. Dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya, tidak pernah memanggil Runa dengan sebutan nduk seperti ayahnya, tidak pernah bertanya keadaan Runa atau pun menangis saat sesuatu terjadi padanya. Tapi ibu adalah orang pertama yang akan datang untuk melihat kondisinya, menyiapkan segala sesuatu yang Runa butuhkan bahkan tanpa Runa meminta lebih dulu.
Cintanya sediam itu, tidak terlihat tapi bisa dirasakan. Namun sikap diamnya itu tanpa sadar sudah membuat jarak di antara keduanya. Sikap tegas dan diam ibunya membuat Runa juga sulit mengungkapkan apa yang dia rasakan. Ditambah lagi, kemampuan Runa yang mudah belajar banyak hal baru tanpa bimbingan khusus membuatnya seperti tidak membutuhkan bantuan orang-orang sekitarnya. Dia mulai terbiasa menyelesaikan banyak hal sendiri.
"Infusnya boleh dilepas ga, Buk? Runa kalau mau turun ke dapur ribet." rengeknya. Berharap sikap yang ditunjukkannya itu berhasil membuat sang ibu luluh. Kamarnya memang berada di bangunan berbeda dari bangunan utama, tepat di atas paviliun yang biasanya dipakai untuk acara keluarga. Letaknya yang berada di lantai 2 membuat dapur dan segala hal di bangunan utama terasa jauh darinya.
"Kalau butuh apa ya tinggal panggil ibuk." jawab ibunya sambil membawa keranjang baju kotor dari dalam kamar mandi Runa. "Kata Mbak Syifa belum boleh dilepas sampai besok."
"Tapi 'kan Runa dah ga papa, Buk." jawabnya, menggerakkan tangannya ke atas bawah.
"Kalau dokternya belum ngijinin mau apa ... baca buku yang kemarin dari Mas Jeri saja kalau bosen. Ibu turun ya." kata ibunya sambil melangkah keluar dari kamar Runa.
Runa menghela nafas. Debat dengan ibunya tidak akan pernah berhasil. Dibalik sikap tenang itu, ibunya adalah sosok yang keras kepala. Sepertinya sifat yang satu ini menurun padanya.
Ketimbang mendebat lagi, dia akhirnya pasrah. Mengambil kantong plastik bertuliskan Gramedia yang berisi beberapa buku baru pemberian Jeri, sepupu dari pihak ibunya dan yang paling dekat dengannya. Dia tidak tahu kapan sepupunya itu mampir ke rumahnya, karena seingatnya kemarin bingkisan buku itu belum ada di sana.
Tidak pernah mengecewakan, batin Runa puas saat melihat judul-judul buku yang dia keluarkan. Ini adalah buku-buku yang ingin dibacanya, dia tidak ingat kapan dia menyebutkan pada sepupunya itu tentang keinginannya. Kedekatan mereka memang tidak perlu diragukan lagi.
Ninkara Jericho Andara adalah anak dari kakak perempuan ibu Runa yang kini sudah menetap di Surabaya. Jeri memutuskan tetap di Yogya karena kuliah di UGM adalah cita-citanya sejak dulu. Saat masih di bangku sma, dia tinggal di rumah Runa, itulah alasan kenapa mereka bisa sangat dekat. Jeri yang mudah bergaul selalu saja bisa membuat Runa keluar dari cangkangnya.
********
Bersambung....
#TantanganWritora
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro