Bab 10 : Make It Right
Semua murid-murid junior maupun senior sangat antusias dengan ujian penentuan lomba bahasa Inggris tingkat nasional yang diadakan mendadak itu. Tak ada seorang pun yang ingin melewatkannya. Seorang anak baru berani menantang juara bertahan sekolah dan calon presiden angkatan yang kemampuannya sudah diakui seluruh sekolah, jelas semua orang ingin tahu siapa dia. Bahkan pihak sekolah sengaja meniadakan kegiatan belajar-mengajar agar semua murid bisa ikut menyaksikan.
Sebagian besar guru sudah tahu kemampuan bahasa Inggris Runa. Dia terkenal di kalangan pendidik karena suaranya sering dipakai dalam ujian-ujian listening tingkat smp dan sma. Namun hanya kepala sekolah saja yang tahu seberapa jenius anak itu, karena beliau memang berteman dekat dengan orang tua Runa. Kepala sekolah bahkan mengetahui kalau sebenarnya anak itu sudah mengantongi ijazah setingkat sma. Tapi semua fakta itu sengaja disembunyikan, karena tujuan Runa masuk ke sekolah ini adalah untuk belajar bersosialisasi dengan anak-anak seusianya. Dan wajar saja jika banyak yang meragukan kemampuan Runa sekarang, prestasinya memang tidak pernah diungkapkan pada siapapun.
Kepala sekolah melihat dari podium atas aula yang mereka gunakan sebagai tempat ujian penentuan terakhir. Di satu sisi beliau merasa bersalah karena sudah membuat anak sahabatnya itu mengalami bullying di sekolah formal pertamanya, tapi di sisi lain, kepala sekolah juga ingin agar dunia mengenal anak jenius yang selama ini tersembunyi itu.
**
Tanisha menuruni podium dengan sorak-sorai riuh dari penonton yang memenuhi aula sekolah. Dia memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna, dan dia juga sudah menghapalnya di luar kepala. Baik isi, pelafalan dan artikulasinya benar-benar menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa dengan situasi kompetitif seperti ini. Dia turun dengan penuh percaya diri.
Berbanding terbalik dengan Tanisha, Runa tampak murung. Dia memang sudah mempersiapkan teks pidatonya dengan baik, dan kemampuan bahasa Inggrisnya juga lumayan, hanya saja dia tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Ditambah lagi suara murid-murid lain yang semakin membuatnya putus asa. Dia merasa buruk karena merasa sendirian. Saat menunggu gilirannya, dia sekali lagi memandang berkeliling, berharap melihat si bongsor keturunan Jepang yang biasa mengganggunya itu, namun nihil. Dia menghela nafas, pasrah. Dipaksakannya tubuhnya yang berat untuk bergerak menuju podium yang sudah disiapkan. Di tengah perjalanannya, dia berpapasan dengan Tanisha, tapi lagi-lagi Tanisha menghindari tatapannya dan berjalan lurus melewatinya.
Runa sudah berdiri di atas podium dengan menggenggam selembar kertas. Sorak-sorai penonton mendadak berhenti, dan aula mendadak sunyi senyap. Ada ketegangan yang dirasakan semua orang, penasaran tentang identitas sosok yang berdiri di depan mereka saat ini.
Runa melihat sekeliling sekilas sebelum memulai pidatonya, tatapannya berhenti sejenak saat melihat dokter Fitra juga meninggalkan posnya untuk melihatnya bertanding, atau dia khawatir aku akan stres dan kambuh? Batin Runa.
Akhirnya dia menghela nafas dan memulai pidatonya. Tangannya tidak mau berhenti gemetar. Tidak ada yang salah dengan pelafalannya, tapi karena dia gugup, kata-katanya terdengar putus-putus. Mulai terdengar kasak-kusuk di antara para penonton. Runa semakin gugup. Rasanya dia ingin melarikan diri dari situasi ini. Dia bahkan hampir tidak peduli jika memang dia harus keluar dari sekolah dan melanjutkan pendidikan privat-nya.
Suara yang terdengar semakin lama semakin keras, menenggelamkan suara Runa yang semakin lirih. Bahkan ada yang menyuruhnya untuk turun podium segera. Semua murid sahut-sahutan meneriakkan hal yang sama. Para guru berusaha menghentikan itu tapi percuma, murid-murid yang lain seolah tidak menyadari kehadiran mereka.
Runa akhirnya terdiam. Ada jeda panjang yang membuat suasana menjadi lengang. Penonton yang memenuhi aula pun ikut terdiam, menunggu.
Apa yang sudah dimulai, harus selesai.
Lagi, dia mengucapkan mantra yang sama. Entah mendapat keberanian dari mana, dia mengangkat kepalanya, dan siap melanjutkan pidatonya. Diremasnya teks pidato yang selama ini dia pegang. Dia tidak butuh itu sekarang.
***
"Untuk mempermudah, anggap saja saya sudah selesai. Anggap saja saya sudah kalah," kata Runa memulai pidatonya, mengabaikan kasak-kusuk yang mulai terdengar lagi di antara banyaknya penonton.
"Tapi sebelum saya turun dari sini, izinkan saya mengatakan sesuatu terlebih dahulu.
"Seperti yang kalian semua tau, saya anak baru di sini. Dibandingkan kalian, saya jelas tidak ada apa-apanya. Belakangan ini saya benar-benar merasa tertekan dengan semua yang terjadi. Saya bukan seseorang yang terlatih untuk menghadapi situasi seperti yang sedang saya hadapi sekarang, jujur saja.
"Gallendra Aruna Starsha Yara, salam kenal. Selama 9 tahun, ini pertama kalinya saya mengenyam pendidikan formal, pertama kalinya saya bisa belajar satu ruangan dengan banyak teman. Apa yang saya lakukan untuk bisa sampai di sini bukan hal yang mudah dengan orang tua yang sibuk dan sangat protektif. Butuh berhari-hari, berbulan-bulan bahkan berlembar-lembar perjanjian yang harus kami sepakati. Untuk sekedar mendapatkan kebebebasan seperti yang teman-teman dapatkan dengan sendirinya.
"Selama 9 tahun saya hanya mengenal guru privat, soal-soal, ujian-ujian. Saya tidak tau cara bersosialiasi, saya hanya membacanya di buku-buku. Saya belum pernah kerja kelompok, karena saya memang tidak punya teman untuk itu. Saya hanya tau teori, tanpa pernah sekalipun menjalankannya. Hal-hal yang dengan biasa bisa teman-teman dapatkan, adalah privelege buat saya."
Runa berhenti sejenak hanya untuk menarik napas. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, pertanda tidak baik. Matanya pun mulai memanas, tapi dia sudah bertekad untuk tidak menjatuhkan air bening itu sampai dia selesai berbicara.
Apa yang sedang dilakukannya sekarang adalah pertaruhan yang lebih besar, berhasil menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya berarti dia naik kelas, jika tidak, dia harus angkat kaki.
"Semua orang punya hak istimewa masing-masing. Tapi naluri kita selalu melihat bahwa apa yang dimiliki orang lain, lebih baik dari apa yang kita miliki. Tanpa sadar, kita justru menetapkan standar berdasarkan apa yang kita lihat di luar, bukan di dalam. Saya tidak berbicara tentang siapa-siapa, hanya tentang saya.
"Untuk memenuhi standar itulah saya sampai di sini. Apa yang saya lihat pada kalian adalah sesuatu yang istimewa, sesuatu yang ingin saya miliki juga. Saya terlalu sombong karena penuh keyakinan bahwa saya akan langsung diterima. Tapi ternyata tidak semudah itu. Hubungan manusia tidak terbentuk secara begitu saja.
"Hanya butuh 5 detik untuk seorang pem-bully mengeluarkan kata-kata yang mampu menjatuhkan orang lain, tapi tidak semua korban mampu menghilangkan trauma mereka bahkan setelah tahun-tahun berlalu.
"Itu yang ada di kepala saya, saat saya pertama kali menerima perlakuan tidak biasa dari teman-teman. Saat saya dibicarakan di belakang, saat penjelasan saya tidak didengarkan, saat keberadaan saya bahkan tidak dianggap. Sama sekali bukan sesuatu yang pernah saya bayangkan.
"Tapi kemudian saya menyadari, sayalah yang mengijinkan diri saya di-bully. Semuanya bermula dari saya, saya tidak akan berani menyalahkan teman-teman.
"Karenanya, setelah ini saya akan berpesan kepada diri saya sendiri, apapun yang terjadi, saya harus menyayangi diri saya lebih banyak dari sebelumnya, saya harus menghargai diri saya lebih dulu sebelum berharap saya dihargai, saya akan menyuarakan pendapat saya saat saya merasa diperlakukan tidak adil, dan bukannya berharap semua orang memahami saya."
Jantung Runa mulai berdetak tidak karuan. Matanya mulai berkunang-kunang. Dia harus segera menyelesaikan ini, jangan sampai penyakitnya kambuh saat seluruh sekolah sedang berada di ruangan ini.
"Teman-teman dan semua pengajar di sekolah ini, saya mohon izinnya untuk menjadi bagian dalam hari-hari kalian. Mari membuat cerita bersama sampai 3 tahun ke depan." Runa mengakhiri kata-katanya dengan menundukkan kepala. Suasana hening di sekitarnya tidak berubah. Semua orang terkejut dengan apa yang mereka dengar, perasaan mereka campur aduk. Pengakuan jujur dari seorang anak yang mereka perlakukan buruk sebelumnya sungguh membuat mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Runa memanfaatkan keheningan itu untuk meninggalkan podium, dia baru berjalan beberapa langkah saat tubuhnya mulai menunjukan reaksi yang dikenalnya namun sudah lama tidak dia alami itu. Dalam hati dia membatin, jangan di sini please, tapi tubuhnya tidak mau mendengar perintah dari pikirannya. Detik itu juga, dia tidak lagi bisa mengendalikan tubuhnya. Tubuhnya melayang jatuh menimpa seseorang, entah siapa. Sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, dia mendengar beberapa suara memanggil namanya.
#TantanganStora #day10
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro