Bab 1 : Memorandum Of Understanding
"Gak! Kalau ibu bilang gak ya gak!" suara Agni meninggi. Memenuhi ruang tengah tempat Runa, eyang putri dan ayah mengadakan rapat keluarga dadakan.
Runa menciut. Selama 13 tahun hidupnya, ini pertama kali dia mendengar suara ibunya meninggi seperti itu. Tatapan ibunya tepat mengarah padanya. Membuat gadis berambut sebahu dan berkaca mata itu semakin menunduk ngeri di sebelah eyang putri. Seperti arti namanya, suara ibu Runa malam ini benar-benar seperti api yang siap berkobar.
"Masuk sekolah lagi? Omong kosong apa itu! Bahkan kalau kamu mau masuk UGM saja sudah bisa dengan ijazah privat-mu. Buat apa mengulang SMA segala." lanjutnya tanpa menurunkan intonasi suaranya. "Ayah! Ayah ikut ngomong, dong. Ayah juga setuju dengan ibu 'kan?"
Agni memalingkan wajahnya kepada sang suami yang duduk tepat di sebelahnya. Berusaha mencari dukungan.
Runa mengangkat wajahnya diam-diam, sepelan mungkin. Mencuri pandang ke arah ayahnya yang biasanya selalu ramai dan suka bercanda itu.
Pak Langga Harsa, pemilik resto sederhana dan sekaligus kepala koki di salah satu tempat makan terkenal di Kotabaru itu bergerak tidak nyaman. Berusaha mengulur waktu agar terhindar dari pertanyaan yang enggan di jawabnya.
Namun karena tatapan tegas dan tidak sabar dari istrinya, akhirnya Pak Langga buka suara.
"Nduk, kamu tau dengan jelas alasan kami melarang kamu sekolah formal. Kamu jelasin dulu kenapa kamu tiba-tiba ingin sekolah. Jelasin ke ayah ibu. Setelah itu ayah akan coba pikirkan setuju ndak-nya. " katanya dengan suara pelan, menatap lurus ke arah Runa yang tertunduk kembali.
Runa masih tetap bungkam. Tidak ada satu pun kata yang meluncur dari mulutnya. Dia benar-benar merasa bersalah pada keluarganya. Semua hal yang terjadi saat ini memang karena ulahnya. Tapi seperti mewarisi watak ibunya yang keras, Runa pun kekeh dengan keputusan yang sudah diambilnya. Beberapa hari yang lalu, Runa mengutarakan keinginannya untuk merasakan sekolah formal.
Mungkin itu bukan sebuah masalah untuk kebanyakan orang, tapi tidak bagi Runa yang menderita Narkolepsi, gangguan sistem saraf yang memengaruhi kendali terhadap aktivitas tidurnya. Saat penyakit ini menyerang, Runa akan mengalami rasa kantuk tiba-tiba tanpa mengenal waktu dan tempat.
Penyakit langka yang hanya menyerang 1:2000 manusia ini bisa jadi bukan penyakit berbahaya, namun akan membahayakan jika kambuh di saat Runa berada di tempat yang tidak tepat, jalan raya misalnya.
Itulah alasan kenapa selama 13 tahun ini dia hanya mengenyam pendidikan privat di rumah. Orang tuanya tidak mau menanggung resiko untuk keselamatan anak semata wayang mereka itu. Bahkan penjagaan seketat itu pun belum cukup. Runa masih sering keluar masuk rumah sakit untuk sekedar perawatan.
Namun Runa tahu, bukan hanya itu alasan ibunya menolak keras keputusannya untuk sekolah lagi, tapi memang bagi ibunya itu sangat tidak perlu dan buang-buang waktu. Runa adalah siswa homeschooling yang sudah menyelesaikan pendidikan setingkat SMA 1 tahun yang lalu. Sekolah lagi berarti hanya buang-buang waktu.
"Wes-wes, ojo digawe ribut. Kalau mau sekolah ya sekolah. Ngunu wae kok jadi masalah. Kalau soal dana, nanti eyang yang tanggung." eyang putri yang sedari tadi diam akhirnya ikut bicara.
"Bu! Ini bukan soal biaya!" suara Agni meninggi, emosinya semakin terpancing akibat kata-kata ibunya itu. Perasaannya terluka. Bagaimana mungkin biaya bisa jadi alasan penolakannya.
"Lha trus opo masalae?"
Deg. Suasana seketika berubah semakin tegang. Runa menyadarinya, jika eyangnya sudah angkat suara, maka bukan penyelesaian yang akan mereka dapat. Tapi kegaduhan yang semakin menjadi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan ibu dan anak itu tidak pernah harmonis. Runa paham betul bahwa ibu dan eyangnya adalah dua orang yang berkarakter sama, mungkin itulah alasan kenapa mereka tidak pernah akur. Kalau kata sesepuh dulu, itu karena weton-nya sama. Entah benar atau tidak, Runa tidak tahu alasan pastinya.
Semua hal yang dilakukan ibu, eyang akan menentangnya. Dan alih-alih mengalah, ibu justru akan memasang badan, menjawab apapun yang eyang katakan. Itu terjadi setiap hari, sepanjang waktu, saat keduanya memiliki kesempatan berada dalam satu ruangan yang sama. Seperti kali ini, Runa menduga ini akan menjadi salah satu malam panjang menegangkan yang akan dia ingat suatu saat nanti.
Runa memutuskan untuk menjawab sebelum ibunya sempat membalas pernyataan eyangnya.
"Runa cuma ingin ngerasain punya temen, Yah, Bu," ujarnya pelan. "Runa pengen sekolah normal kayak yang lain. Ngerasain kerja kelompok, ngerasain ikut ekskul, ngerasain ada di kelas bareng temen-temen. Apa itu berlebihan?"
Ayah, ibu dan eyang putri terkejut dengan jawaban Runa yang tiba-tiba. Mereka tidak menduga bahwa gadis yang jarang bersuara itu akan berani menjawab pertanyaan mereka. Dan lebih terkejut lagi dengan jawaban yang keluar darinya. Selama ini mereka mengira sudah memberikan yang terbaik untuk Runa, nyatanya, perlakuan mereka justru membuat Runa semakin berbeda dari anak kebanyakan.
Agni yang sempat duduk dengan tegak karena terbawa emosi tiba-tiba terduduk lemas, merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi sudut yang dia duduki. Tangan kanannya memijit pelipis yang tiba-tiba terasa sakit.
Runa memandang ibunya yang masih mengenakan seragam mengajar itu. Ibunya yang seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah smp negeri dekat rumah mereka. Ibunya yang sangat tegas saat mengajar, namun tak pernah menaikkan suaranya sama sekali padanya. Ibunya yang saat ini sedang menahan air mata yang ingin menghambur keluar. Dia benar-benar merasa bersalah.
Runa bergerak dari tempatnya duduk. Didekatinya perempuan 40 tahun itu, meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
"Runa janji bakal jaga kesehatan. Runa gak akan ngelakuin sesuatu yang bikin ayah sama ibu khawatir. Runa janji, Bu." kata Runa lirih. Berusaha memasukan perasaannya dalam kalimat-kalimatnya yang terbatas. Dia ingin orang tuanya memberinya kepercayaan.
Ibu dan ayahnya melihat Runa dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi perasaan khawatir mereka memuncak, tapi di sisi lain mereka juga ingin melihat anaknya tumbuh normal seperti anak seusianya. Mereka benar-benar dihadapkan pada pilihan yang sulit.
"Ayah sama ibu diskusikan lagi nanti ya, Nduk." Pak Langga akhirnya membuka suara setelah beberapa saat mereka semua diam. "Ini bukan keputusan yang bisa diambil dalam semalam. Ayah juga perlu konsultasi sama Dokter Syifa dulu. Semuanya bergantung dari keputusan beliau."
*******
Seminggu berselang sejak rapat keluarga darurat malam itu. Belum ada keputusan, tidak ada yang terjadi. Selain sikap ibunya yang menjadi semakin diam, segala hal berjalan seperti biasanya. Sarapan bersama, eyang dengan rajutan-rajutannya, ibu dengan tugas mengajarnya, dan ayah yang berangkat pagi pulang malam untuk mengurus restorannya.
Ketenangan ini justru membuat Runa semakin cemas. Dia benar-benar tidak sabar ingin mendengar keputusan orang tuanya. Beberapa kali dia berniat untuk bicara dengan mereka, namun kembali dia urungkan saat melihat keduanya terlihat kelelahan setelah bekerja.
Bahkan sampai berbulan-bulan berlalu sejak itu. Anak-anak sudah memasuki tahun ajaran baru mereka. Runa terlihat semakin putus asa dan kehilangan harapan. Tepat saat dia memutuskan untuk mengubur keinginannya dalam-dalam, ayahnya memanggilnya ke ruang keluarga. Di ruangan itu ada ibu dan eyang putri yang sudah menunggunya.
Ada berkas-berkas bertumpuk di atas meja. Catatan-catatan medis yang berisi pantangan dan anjuran untuknya. Surat-surat pendaftaran sekolah yang semuanya sudah ditandatangani oleh orang tuanya. Semua berkas siap, Runa membacanya dengan seksama.
Orang tuanya bahkan sudah menyiapkan setumpuk seragam sekolah di samping berkas-berkas itu. Tiga seragam resmi, sepasang seragam olahraga, dan satu buah almamater berwarna merah maroon sudah tersetrika rapi.
Mata Runa berbinar memandang ketiganya, penuh rasa syukur dan berterima kasih. Malam hari di akhir bulan ketujuh, akhirnya keputusan untuknya diambil. Runa siap meninggalkan semesta kecilnya.
Si introvert ber-IQ 160 itu siap menjadi manusia baru.
Mungkin.
.......
Bersambung ...
#TantanganWritora Day 1
28 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro