[Case : 1]
TIGA SAMPAI empat kapal terlihat mendekat dari kejauhan. Bendera hitam bergambar perompak dan tengkorak yang keduanya saling memegang jam pasir berkibar tertiup angin, terpasang pada masing-masing puncak layar tertinggi di setiap kapal tersebut. Malam yang tenang berubah mencekam. Orang-orang di pelabuhan maupun yang berada di kota kalang-kabut, mereka semua menghindari daerah pantai yang dimana kapal-kapal perompak itu berlabuh lantas menurunkan puluhan awak kapalnya yang bersenjata lengkap—siap untuk menjarah apapun yang ada di pulau ini.
Orang-orang yang panik segera menyelamatkan diri; entah itu kabur menggunakan sekoci ataupun bersembunyi di dalam bunker-bunker rumah. Namun ironisnya, apa yang orang-orang itu lakukan berakhir dengan sia-sia. Para perompak itu lebih cepat dan cerdik sehingga dalam waktu kurang dari satu jam, seluruh pulau sudah dikuasai oleh mereka.
Tidak hanya menjarah penduduk, para perompak itu juga menenggelamkan beberapa kapal di pelabuhan—pengecualian untuk dua kapal besar yang dipersenjatai dua puluh enam meriam, para perompak itu sengaja mengambilnya sebagai cinderamata untuk ditambahkan ke dalam koleksi "Royal Fortune".
Ck!
Melihat pemandangan kacau yang baru saja terjadi di pulau ini, gadis bermanik keabuan itu berdecak kesal. Agaknya, malam ini fortune sedang tidak berpihak padanya.
"———kenapa harus malam ini?" umpatnya.
Dari arah kapal nelayan berukuran sedang yang jaraknya beberapa meter di belakang, seorang berseru memanggilnya dengan suara yang bergetar, "Lily, cepat naik sebelum mereka sampai kemari!"
Gadis itu menoleh singkat ke arah suara, selain wanita yang tadi memanggilnya, ada beberapa orang lain di atas kapal—satu per satu wajah itu menatapnya dengan sorot tak terbaca. Khawatir dan panik yang bercampur terlihat jelas dari air muka mereka. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dengan gusar, tidak mungkin ia membiarkan mereka untuk tertangkap. Ada banyak pertimbangan di kepalanya; berlayar sekarang atau memilih untuk bertarung. Memilih salah satu dari dua pilihan tersebut hasilnya pasti akan tetap sama, mereka semua akan berakhir tertangkap oleh para perompak itu.
Ah ... benar-benar sial!
"Angelica, kau pergi saja duluan!" ucap gadis itu kemudian, "aku akan mengulur waktu."
"Ap—"
"ANGELICA!" potong gadis itu cepat, "pergi sekarang!"
"Tapi bagaimana denganmu?"
Gadis itu tersenyum tipis. Logika saja, mana mungkin dirinya mau mengorbankan para tahanan yang baru saja ia bebaskan dari kapal-kapal budak untuk menjadi umpan para perompak. Ia tidak mau apa yang dilakukannya malam ini berakhir sia-sia. "Aku akan baik-baik saja. Aku janji!"
Sekali lagi, wanita bernama Angelica itu tercekat. "Lily, aku tahu disini kau satu-satunya yang punya kemampuan. Tapi tetap saja jika menghadapi jumlah sebanyak itu—"
"Aku tahu itu, Anggie!" si gadis bermata abu itu meliriknya tajam, sedikit kesal. "Sebenarnya aku juga tidak mau melakukan ini ... tapi aku juga tidak mau usaha kita malam ini sia-sia!"
Mendengar kata-kata gadis itu, Angelica tercekat. Ingin rasanya ia memakaikan rantai pada gadis itu lalu menyeretnya untuk naik ke atas kapal. "Lily, kumohon—"
"Aku siap dengan konsekuensinya, Anggie." gadis itu itu kemudian mengeluarkan dua buah belati dari balik mantel panjangnya, memosisikan dirinya untuk menyerang.
Angelica menghela nafas panjang. Satu hal yang paling ia benci dari gadis itu adalah sifat keras kepalanya. Kapan gadis itu bisa bersikap dewasa?
"Berjanjilah kau akan kembali, Lily!" seru Angelica setengah hati.
Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Tidak lama kemudian, layar kapal dibentangkan. Setiap detik berlalu dan kapal itu berlayar meninggalkan pulau—meninggalkan gadis itu seorang diri.
Gadis itu menatap ke atas, bulan purnama sedang bersinar anggun di atas langit. Indah tapi terasa seperti sedang mengejeknya. Memuji ketidak-beruntungannya, gadis itu sekarang ingin menertawakan keputusan bodohnya beberapa detik yang lalu. Coba pikir, ada di mana akal sehatnya? bisa-bisanya seekor kelinci kecil sepertinya berani melawan kawanan serigala yang kelaparan hanya dengan bermodal nekat. Jenius!
"Kenapa akhir-akhir ini rekor masalahku mendadak naik ke tingkat yang lebih merepotkan, ya?"
🔵 🔵 🔵
"In the dark where I decide to go on a journey,
I was running alone on the frozen road—"
————————————
G R A C E N O T E
Grey
————————————
🔵 🔵 🔵
Kalau tidak salah———
Pria yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang sama dengan waktu itu. Wajahnya menjadi sedikit familiar karena pria itu adalah sosok terakhir yang ia lihat sebelum kesadarannya ditarik masuk ke negeri antah berantah. Hmm ... siapa dia? Gadis itu memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, memerhatikan si pria yang juga sedang menatapnya dengan senyuman yang merekah.
Apa arti dari senyumannya?
Mengejek ataukah ... ada arti lain?
Lalu, kenapa pria itu bisa membawanya naik ke kapal ini—kapal perompak, pula!
Yang ia tahu, tidak mungkin jika seorang gadis asing seperti dirinya bisa masuk dengan mudah ke kapal perompak atas dasar dibawa oleh pria ini. Pertanyaannya adalah, posisi pria ini pasti lumayan tinggi sehingga apa yang ia lakukan tidak akan dibantah oleh anak buah kapal lainnya. Terlebih lagi, jika gadis itu dibilang sebagai tahanan, apa artinya ia tidak ditempatkan di sel tahanan melainkan di sebuah ruangan khusus—kamar, tepatnya. Kenapa gadis itu seolah tengah menerima perlakuan khusus?
Tunggu——
Apa mungkin ... pria ini telah menjadikannya sebagai "pelayan malam"?
Oke, agaknya perasaannya yang tadi sempat tenang mendadak diserang oleh badai.
Ah ... tidak, ada satu kejanggalan di sini. Jika benar ia dijadikan sebagai seorang "pelayan malam", kenapa tidak ada yang berubah darinya? pakaiannya saja masih dapat dibilang utuh—yang ditanggalkan hanya sebatas mantel, sepatu dan tas kecilnya saja. Dari mulai baju dan celana panjang hitam yang ia kenakan masih melekat di tubuhnya. Dan lagi rambutnya tidak berantakan, bahkan seutas tali yang ia gunakan untuk mengikat sebagian rambutnya masih berada di tempatnya. Benar-benar aneh.
"Apa yang kau inginkan?" tanya gadis itu tanpa basa-basi. Tatapan dan nada suaranya juga berubah jadi lebih serius.
Mendengar pertanyaan si gadis, pria itu langsung terkekeh, "Sebelum bertanya, bukankah lebih baik kita saling memperkenalkan diri, Nona?"
Sebelah alis gadis itu terangkat, "Memang apa gunanya berkenalan? Seandainya kau tahu namaku juga, aku yakin besok kau sudah melupakannya."
"Hmm ... tidak juga. Ada kemungkinan jika aku akan terus mengingat namamu." pria itu tersenyum lantas mengulurkan tangan kanannya, "kau bisa memanggilku Roberts."
Gadis itu mengerjap pelan, terkejut karena nada bicaranya terdengar cukup sopan untuk ukuran seorang perompak. Tidak hanya sikapnya saja, dari segi penampilan, Roberts tergolong rapi dan lumayan menawan. Ia mengenakan pakaian formal yang terdiri dari atasan kemeja putih dan bawahan berupa celana merah marun dengan boots hitam. Berkulit gelap dan rambut hitam agak berantakan serta sepasang manik berwarna biru cerah. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan hitam dan liontin berbentuk salib emas berukuran cukup besar melingkar di lehernya. Coba pikir, sudah berapa wanita yang pernah terpesona olehnya?
Si gadis kemudian menghela nafas panjang, "Lindel—kau bisa memanggilku Lindel."
"Lindel, ya?" Roberts terkekeh, "namamu ternyata unik."
"Unik?"
"Kupikir kau memiliki nama yang lebih manis."
Tidak mau membahas perihal namanya lebih lama, Lindel kemudian mengalihkan topik permbicaraannya. "Ngomong-ngomong, kenapa kau membawaku kemari?"
"Bukankah sudah jelas, aku hanya ingin menolongmu—gadis yang tiba-tiba saja ambruk di depan mataku."
"Hah?"
————sesederhana itu alasannya?
"Apa yang kau lakukan padaku selama aku tidak sadar?"
Roberts tersenyum, "Hanya mengganti perban di mata kananmu dan memeriksa keadaanmu setiap malam. Selain itu tidak ada yang lain."
Lindel mengerucutkan bibir, agak sangsi dengan pernyataan Roberts. "Kau pikir aku akan mempercayai ucapanmu begitu saja?"
"Dengar, Nona. Aku memang perompak, tapi aku juga tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita dengan baik."
Yep, dia memang aneh! Lindel bertaruh jika hanya Roberts-lah perompak tersopan yang pernah ia temui. Sedikit sangsi. Namun setelah memerhatikan raut wajah pria itu yang tidak menunjukkan adanya kebohongan, untuk sekarang agaknya Lindel bisa percaya.
"Berapa lama aku tidur?" tanya Lindel kemudian.
Roberts menatap ke arah lautan yang terbentang di luar jendela, matahari musim panas nampak sedang bersinar terik di atas samudra. "Sekitar delapan hari, tujuh malam."
Hah?
Lindel terperangah, "Delapan ... hari?"
"Ya. Kenapa terkejut?"
"Tidak. Ini pertama kalinya aku tidur lebih dari satu minggu."
Kali ini giliran Roberts yang mengangkat sebelah alisnya, "Maksudnya kau sudah sering seperti ini?"
Lindel mengangguk, "Biasanya aku tidur tidak lebih dari tiga hari."
"Kau punya penyakit?"
Sebelum menjawab pertanyaan Roberts, Lindel lagi-lagi memerhatikan raut wajah pria itu dengan hati-hati. Kali ini Lindel menemukan ada sorot khawatir saat Roberts menatapnya.
"Tidak. Hanya saja ada beberapa faktor yang bisa membuatku tiba-tiba saja kehilangan kesadaran sampai tidur berhari-hari seperti orang mati." tutur Lindel.
Tidak disangka setelah Lindel mengatakan hal itu, Roberts terlihat semakin khawatir. Serius, ada apa dengan manusia yang satu ini?
"Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, Nona." Roberts menyilangkan kedua tangannya, "apa kau bersedia menjawab semua pertanyaanku?"
"Apa dengan menjawabnya kau akan melepaskanku dari kapal ini?"
"Itu tergantung jawabanmu nanti, Nona."
Lindel menarik nafas dalam-dalam, tidak ada pilihan lain, kan?
"Baiklah."
Untuk sekarang, lebih baik Lindel berdo'a jika Roberts akan melepaskannya dalam kondisi hidup-hidup. Ingat, perompak tetaplah perompak—bajingan keji yang meneror di lautan.
🔵 🔵 🔵
Lindel memerhatikan seorang pria yang sekarang sedang berdiri disamping pintu kamar, baru saja ia menghidangkan dua cangkir teh hangat untuk dirinya dan Roberts. Dari penampilannya, pria itu terlihat seperti orang Asia; bermata sipit dengan rambut pendek lurus berwarna hitam serta berkulit putih pucat. Tenang dan pendiam, pria itu hampir tidak mengatakan apapun bahkan saat Roberts memberinya perintah. Hanya sebatas anggukkan kepala saja yang ia berikan sebagai isyarat persetujuannya.
"Namanya Shen." kata Roberts, "dia satu-satunya orang yang dapat kupercayai di sini."
"Kupikir kita akan bicara empat mata."
Roberts terkekeh, "Dia bisu dan tuli—di sini perannya hanya sebatas mengamati kita berdua. Selain itu, Shen hanya menuruti perintahku, jadi tidak perlu khawatir jika ia akan membocorkan pembicaraan kita pada yang lain."
Lindel mengerutkan kening, "Mengamati?"
"Tampaknya beberapa kru kapal mulai mencurigaiku karena terlalu lama berada di kamar ini. Mereka pikir aku melakukan hal yang tidak-tidak padamu."
"Aku tidak tahu kalau ternyata kau juga bisa dicurigai."
Roberts menyesap tehnya pelan dengan sesekali menatap Lindel yang duduk di depannya, "Semakin tinggi jabatanmu, maka semakin banyak pula orang yang membencimu."
Lindel tersenyum kecut, "Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Ini tentang apa yang terjadi malam itu," Roberts berdeham, "saat kau menyerang kami, kau sebenarnya sedang mengulur waktu agar kapal yang membawa beberapa budak dapat pergi meninggalkan pulau dengan selamat. Apa itu benar?"
Lindel menyilangkan kedua tangannya, "Itu memang benar."
"Apa kau salah satu pedagang budak?"
"Tidak."
Roberts memicingkan kedua matanya, "Kalau begitu berarti kau mencuri budak-budak itu?"
Urat kening Lindel mendadak berkedut kesal gara-gara mendengar pertanyaan Roberts. Memang benar ia membawa beberapa budak ke kapalnya, tapi ia bukan seorang pencuri—ia hanya mengamankan mereka.
"Maaf Tuan, tapi aku bukan pencuri." katanya, "aku hanya menyelamatkan teman-temanku yang dijual oleh seseorang ke pasar gelap."
"Dijual?" Roberts mengerjap, "maksudnya?"
Sorot mata Lindel tiba-tiba berubah, "Sejauh mana kau ingin tahu?"
"Jika bisa, semuanya."
"Jika aku mengatakan semuanya padamu, mungkin kau hanya akan menganggapnya sebagai bualan."
"Aku percaya padamu. Aku janji."
"Tuan, kenapa kau mau percaya pada seorang gadis yang bahkan baru pertama kali kau temui?"
Roberts menghela nafas panjang, "Dari sorot matamu, aku tahu kau sedang serius. Kalaupun kau mengatakan hal-hal yang tidak mungkin seperti dongeng pun aku akan mempercayaimu, tanpa kecuali."
Lindel menatap Roberts dengan sorot penuh selidik. Walau bagaimana pun, tetap saja ia tidak mau jika mengatakan semuanya pada Roberts, terlebih lagi pria itu seorang perompak. Tapi satu hal yang membuat Lindel terdorong untuk menceritakannya adalah karena sikap Roberts—pria itu terlihat dapat dipercaya dan dapat memegang kata-katanya.
"Aku—tidak, tepatnya ini tentang orang-orang yang aku bebaskan dari kapal budak." Lindel meremas lengan bajunya, "mereka semua berasal dari utara, tepatnya di beberapa pelosok desa yang tersebar di seluruh Eropa. Karena suatu alasan, mereka harus meninggalkan tempat kelahirannya. Jika tidak pergi dan memilih untuk bertahan, maka konsekuensinya mereka harus mati."
"Kalian korban perang?" Roberts menatap Lindel dengan tatapan aneh.
"Tidak, kami bukan korban perang."
"Lalu kalian lari dari apa?"
Penasaran, tentu saja. Roberts terlalu sibuk menjarah kapal-kapal yang melintas di sekitar Karibia sampai-sampai tidak tahu apa yang sedang terjadi di Eropa—padahal di sana adalah tanah kelahirannya.
"Witch hunt." Lindel tersenyum masam, "jika tidak melarikan diri, sudah dipastikan hidup mereka akan berakhir konyol—dieksekusi dengan cara dibakar hidup-hidup."
Roberts memijat pelipisnya pelan, "Aku tidak tahu kalau orang-orang bodoh itu masih melakukan praktek keji seperti itu."
Lindel tertawa setengah mengejek, "Berterima kasihlah pada Gereja Suci dan sistem peradilan yang kacau sampai-sampai bisa dimanfaatkan oleh para penegak hukum yang korup. Karena faktor ini, praktek perburuan penyihir masih merajalela di tanah Eropa."
"Maksudnya?"
"Ini ironis, tapi aku rasa mereka lebih keji daripada para perompak seperti kalian." Lindel mengepalkan kedua tangannya, "kau tahu, semakin banyak orang yang dibakar di depan umum, semakin banyak pula uang yang mereka dapatkan dari pemerintah. Maka dari itu, pasti ada saja cara bagi mereka mendapatkan penyihir untuk di eksekusi."
Roberts terperangah.
"Mereka yang aku selamatkan dari kapal-kapal budak adalah segelintir kecil dari orang-orang yang berhasil melarikan diri dari perburuan penyihir." lanjut Lindel.
"Jadi ini alasanmu mengapa ada di sana malam itu?"
Lindel mengangguk.
"Oke, aku terima alasanmu yang ini."
Air muka Lindel berubah cerah setelah Roberts mengatakan hal itu, ia tersenyum. "Jadi, apa sekarang kau akan melepaskanku?"
Ada jeda sejenak sebelum Roberts memjawab pertanyaan Lindel. Ia sedikit terkejut saat melihat perubahan ekspresi gadis itu yang tiba-tiba. Terutama saat Lindel tersenyum, hal itu sedikit membuat Roberts kehilangan kesadarannya untuk beberapa detik.
"Tidak sekarang." kata Roberts, "masih ada pertanyaan yang harus kau jawab."
Ekspresi Lindel kembali suram, "Ha?"
"Ini tentang kau yang malam itu menyerang hampir setengah dari anak buahku seorang diri," Roberts kembali serius, "dalam kasusmu, kau mengalahkan mereka hanya dengan dua buah belati, apa itu normal?"
Lindel mengernyit, "Kupikir itu tidak perlu dibahas, Tuan."
"Perlu. Ada kemungkinan jika suatu hari nanti kita akan berjumpa kembali sebagai musuh." ujar Roberts cepat.
Lindel menghela nafas panjang, pasrah. Jujur, sebenarnya pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling ingin ia hindari.
"Tapi Tuan, bukankah aku tidak sampai membunuh anak buahmu? Jadi tidak perlu dijelaskan secara rinci, kan?"
"Aku berjanji akan melepaskanmu jika kau menjawab pertanyaanku tadi."
Sial———
Lindel menatap lurus ke arah Roberts. Kedua mata mereka bertemu, saling menatap satu sama lain. Ada keheningan sejenak sebelum Lindel mulai kembali berbicara.
"Tuan, apa yang akan kau lakukan jika gadis yang ada di hadapanmu ini adalah seorang penyihir?"
🔵 🔵 🔵
Notes:
🗡 Lindel dan Roberts bertemu di tahun 1720—di tahun pertama Roberts menjabat sebagai bajak laut.
🗡 Di tahun yang sama pula—sekitar abad ke 17 di Eropa memang sedang marak terjadi perburuan para penyihir.
🗡 Kenapa nama "Lindel" kurang cocok, itu karena arti dari nama itu sendiri; "Lindel" artinya jeruk limau. Sementara yang ada dianggapan Roberts, Lindel sendiri sebenarnya punya wajah yang manis :V
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro