Lembar 16
Busan.
Choi Ji Sub meninggalkan putra sulungnya di hotel untuk bertemu dengan Jo In Sung yang kala itu sudah berada di Busan. Alih-alih bertemu di tempat terbuka yang dikunjungi oleh banyak orang, kini Choi Ji Sub berjalan menyusuri gang sempit yang cukup gelap. Daerah pinggiran kota yang begitu sepi.
Setelah berjalan cukup jauh, Choi Ji Sub menemukan sebuah motel yang tidak begitu bagus namun masih layak untuk dihuni. Dia memasuki bangunan itu dan bergegas menuju lantai atas tanpa bantuan dari petugas hotel. Dia berjalan menyusuri lorong sembari melihat nomor yang tertera pada pintu kamar hingga langkahnya terhenti ketika ia menemukan kamar yang ia tuju. Ia kemudian mengetuk pintu.
"Siapa?" tegur Jo In Sung dari balik pintu.
"Ini aku."
Setelah itu pintu terbuka dan keduanya berhadapan. Jo In Sung segera membawa Choi Ji Sub masuk. Dan lokasi pertemuan mereka menimbulkan tanda tanya bagi Choi Ji Sub.
"Kenapa kau meminta bertemu di tempat ini?" tegur Choi Ji Sub yang sudah berdiri di tengah ruangan.
Jo In Sung yang baru saja mengunci pintu berbalik dan melepas topi yang sebelumnya ia pakai. Dan saat itulah Choi Ji Sub tampak terkejut dengan wajah Jo In Sung yang terluka cukup parah.
"Apa yang terjadi padamu?"
"Aku baik-baik saja." Jo In Sung kemudian berdiri berhadapan dengan teman lamanya itu.
"Apa yang terjadi? Siapa yang membuatmu seperti ini?"
Jo In Sung mengabaikan kekhawatiran Choi Ji Sub dan membangun suasana yang serius dalam pertemuan mereka kala itu.
"Aku bukanlah hal yang penting. Ada hal yang lebih penting lagi yang harus kita bicarakan, Hyeongnim."
"Tentang apa itu?" Choi Ji Sub menatap penuh selidik.
"Di mana putra bungsumu saat ini?"
Dahi Choi Ji Sub mengernyit, ia kemudian mengubah posisinya menjadi benar-menghadap Jo In Sung. "Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba menanyakan tentang putra bungsuku?"
"Mereka sudah tahu."
Hati Choi Ji Sub menjadi gusar. "Siapa? Katakan dengan lebih jelas."
"Sung Dong Il sudah tahu bahwa anak itu masih hidup, Kim Taehwa."
Batin Choi Ji Sub tersentak. Tampak keterkejutan yang besar di raut wajahnya hingga ia tak mampu berkata-kata. Setelah beberapa saat ia memalingkan wajahnya dan terlihat gelisah.
"Bagaimana? Bagaimana mereka bisa mengetahuinya?" Choi Ji Sub tampak tengah menahan diri.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya. Yang jelas, mereka akan memburu anak itu mulai sekarang."
Choi Ji Sub menghela napas dengan pelan, berusaha untuk menenangkan diri. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
"Dimanakah anak itu sekarang, Hyeong?"
"Dia sudah mati."
Jo In Sung menatap tak percaya. "Apa maksudmu?"
"Kim Taehwa sudah mati, dia sudah mati sejak kau membawanya keluar dari rumah itu."
"Hyeong?"
"Choi Hansung, putraku. Anak itu adalah Choi Hansung, putra bungsuku."
"Hyeong, aku mohon."
Choi Ji Sub duduk di tepi ranjang dan mencengkram kedua sisi kepalanya, berusaha untuk tetap tenang agar bisa mendapatkan solusi terbaik.
Jo In sung kemudian mendekati Choi Ji Sub. "Hyeong, kau harus membawa anak itu pergi sejauh mungkin. Kita tidak boleh membiarkan anak itu kembali ke keluarga itu."
"Apa yang sebenarnya diinginkan Kim Dong Il?" gumam Choi Ji Sub, penuh penekanan.
"Selama tidak ada orang yang tahu tato di punggungnya, mereka tidak akan bisa menemukan anak itu."
Choi Ji Sub mengangkat kepalanya, memandang Jo In Sung dengan tatapan yang sedikit tertegun. Dia baru mengingatnya, tato yang menjadi identitas dari Choi Hansung yang sebenarnya. Dan dengan begitu ia mulai sedikit tenang.
"Sejauh ini hanya aku dan istriku yang pernah melihat tato itu."
"Bagaimana dengan putramu, Hyeong?"
Choi Ji Sub menggeleng. "Seungcheol tidak pernah melihatnya. Aku sudah mengatakan pada Hansung agar dia tidak menunjukkan tato itu pada siapapun."
"Itu berarti kita masih memiliki peluang yang besar untuk melindungi anak itu."
"Bagaimana dengan Choi Boyoung?"
"Sampai detik ini dia belum mengetahui tentang hal ini. Tapi mungkin dia akan segera tahu jika masalah ini semakin membesar."
"Tetaplah berada di sampingnya." Choi Ji Sub kembali menjatuhkan pandangannya. Dia kemudian bergumam, "anak itu ... aku lah orang yang akan melindunginya."
🥀🥀🥀🥀
Seoul.
Menyelesaikan makan malamnya, Hansung bergegas kembali ke kamarnya. Tapi saat itu bel pintu tiba-tiba berbunyi. Dia memandang sang ibu yang juga bereaksi dengan suara bel pintu.
"Biar aku yang melihathya," ujar Hansung yang kemudian bergegas menuju ruang tamu.
Tak ada siapapun yang melintas dalam pikiran Hansung, dia langsung membuka pintu dan menemukan pria asing berdiri di depan pintu.
"Oh? Halo," tegur pria itu. Cho Seungwoo, rekan kerja Shin Min Ah, keduanya bekerja di tim yang sama.
Hansung yang tampak asing dengan orang itu tentunya bertanya-tanya. "Paman mencari siapa?"
"Aku datang untuk menemui Jaksa Shin. Apakah dia berada di rumah sekarang?"
Hansung mengangguk, masih belum ingin mempersilakan tamu ibunya untuk masuk. "Paman ini siapa?"
"Aku rekan kerja Jaksa Shin. Bisakah kau memanggilkan Jaksa Shin sekarang?"
"Hansung, siapa yang datang?" Shin Min Ah menyusul Hansung.
Hansung menyingkir dari pintu dan membuat Shin Min Ah menemukan Cho Seungwoo.
"Jaksa Cho, apa yang membawamu datang kemari?"
Cho Seungwoo mengangkat berkas yang ia bawa lalu berkata, "kita perlu melakukan rapat darurat."
Terlihat serius, Shin Min Ah terlihat mempertimbangkan sesuatu sebelum pada akhirnya mengambil keputusan. "Masuklah, kita bicara di ruang kerjaku."
Cho Seungwoo sempat bertemu pandang dengan Hansung sebelum mengikuti Shin Min Ah. Dan kepergian keduanya menjadi pusat perhatian Hansung.
"Kenapa ibu membawa pria asing saat ayah tidak ada?" gumam Hansung. Ia pun menutup pintu dan kembali ke kamarnya. Tak begitu tertarik dengan apa yang dilakukan oleh ibunya.
Hansung duduk di depan meja belajarnya. Ketika dalam suasana tenang seperti ini, pikirannya kembali fokus pada 'si pembawa kematian Kim Tae Hwa' siapakah sosok itu yang sebenarnya dan kenapa nama itu ada di punggungnya. Terlebih lagi tato yang ia miliki cukup identik dengan tato yang dimiliki oleh para putra dari pemilik Rising Moon.
"Kim Tae Hwa?" Hansung tiba-tiba bergumam penuh pertimbangan. "Siapa sebenarnya orang itu? Haruskah aku menanyakannya langsung pada pemilik Rising Moon?"
Hansung sejenak mempertimbangkan ucapannya. Meski ia belum pernah bertemu dengan pemilik Rising Moon, mengingat popularitasnya di Rising Moon, dia berpikir bukanlah hal yang sulit untuk bertemu dengan Kim Dong Il. Dan tentu saja ia akan langsung mendapatkan jawaban yang ia cari langsung dari ayahnya sendiri. Namun dengan cepat ia berubah pikiran.
"Eih ... apa yang aku pikirkan? Jangan terlibat apapun dengan para pecundang itu. Aku datang ke sana hanya untuk mengambil uang mereka."
Hansung kembali berpikir dan sebuah saran tiba-tiba ia dapatkan. Ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Kim Sejeong. Gadis itulah satu-satunya orang yang bisa menghubungkan dirinya dengan Keluarga Kim Dong Il. Namun, hingga percobaan ketiga, Sejeong tidak menerima panggilan itu sehingga Hansung mengirimkan pesan ancaman.
"Jawab panggilanku sekarang!"
Sejeong yang kala itu berada di kamarnya lantas memukuk bantal dengan kesal dan melayangkan protes.
"Apa sebenarnya yang diinginkan orang ini? Kenapa dia terus saja menggangguku?"
Dengan kesal Sejeong pun menjawab panggilan tersebut. "Ada apa lagi, Senior? Urusan kita sudah selasai, tolong biarkan aku hidup dengan tenang."
"Aku bahkan tidak pernah melakukan apapun padamu, jangan menuduh sembarangan." Hansung menyahuti tuduhan itu dengan tenang.
"Bahkan hanya mendengar suaramu sudah membuatku merasa terancam."
"Kau hanya bicara omong kosong."
"Lupakan! Sekarang apa lagi?"
"Aku mendengar desas-desus."
"Tentang apa?"
"Semua kakakmu memiliki tato di punggung mereka." Hansung berusaha untuk bersikap tenang agar tak memprovokasi Sejeong.
"Lalu?" Sejeong pun mulai merasa penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Hansung selanjutnya.
"Kau pernah melihat tato mereka?"
"Tidak, aku hanya pernah melihat milik Namjoon Oppa."
"Apakah nama kakakmu juga ditulis di punggungnya?"
Dahi Sejeong mengernyit, mempertimbangkan pertanyaan Hansung sebelum memberikan jawaban. "Aku tidak tahu."
"Kenapa tidak tahu?"
"Karena aku belum pernah melihatnya?"
"Kau mengatakan bahwa kau sudah melihatnya." Kesabaran Hansung mulai menipis.
"Aku melihatnya saat di Rising Moon. Tempat itu cukup gelap, bagaimana aku bisa melihat secara detail di tempat seperti itu? Senior terlalu mengada-ngada."
"Kalau begitu sekarang coba kau lihat."
"Apa?" Dahi Sejeong kembali mengernyit. "Apa? Apa yang harus aku lihat?"
"Tato di punggung Kim Namjoon, jika perlu tato di punggung semua kakakmu. Cobalah untuk melihatnya dan setelah itu katakan padaku bagaimana polanya."
Sejeong terperangah sebelum kesabarannya habis. "Senior sudah tidak waras!"
"Kenapa?"
Suara Sejeong meninggi. "Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya?! Haruskah aku pergi ke kamar mereka ketika mereka mandi lalu menguntit mereka? Berhenti mengatakan omong kosong!"
"Ya! Kim Sejeong. Kau adalah adik mereka, kau hanya perlu mengatakannya dan mereka akan menunjukkannya padamu." Hansung sudah tak lagi menahan diri dan ucapannya itu semakin membuat Sejeong merasa kesal.
"Senior benar-benar sudah sinting!"
"Ya! Kau mengutuk pada seniormu sendiri."
"Lupakan! Aku tidak akan melakukan apapun untuk Senior!"
Netra Hansung memicing ketika ia menyadari sesuatu. "Mungkinkah ... kau juga memiliki tato di punggungmu?"
Netra Sejeong kembali membulat. "Berhenti mengatakan omong kosong dan jangan menggangguku!"
Sejeong memutuskan sambungan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Namun tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Ia tertegun ketika mendapati bahwa Kim Namjoon lah yang membuka kamarnya. Seketika perasaan canggung terlihat di wajah gadis itu.
"Oppa? Oppa sudah datang?" Sejeong tersenyum canggung.
Namjoon memasuki kamar Sejeong tanpa menyahuti teguran Sejeong. Ia berjalan mendekati ranjang dan membuat Sejeong bersikap semakin kaku.
"Ada apa? Oppa ingin mengatakan sesuatu?"
Namjoon tetap berdiam diri. Dia mengambil ponsel Sejeong dan membuat Sejeong terkejut.
"Jangan!" pekik Sejeong tak sadar. Namun setelah melihat tatapan Namjoon, gadis itu beringsut.
Namjoon memeriksa dengan siapa Sejeong berbicara sebelumnya. Karena ketika Sejeong marah pada Hansung, dia baru saja sampai dan tak sengaja mendengar suara adiknya.
"Choi Hansung?" Sebelah alis Namjoon terangkat. "Choi Hansung dari Rising Moon?"
Sejeong segera meraih ponselnya dan menyahut dengan gugup. "Dia hanya berbicara omong kosong."
"Kenapa? Dia menyukaimu?"
Sejeong langsung menolak dengan keras. "Tidak! Itu tidak benar. Kami hanya ..."
"Kami?"
Sejeong merutuki dirinya sendiri karena salah memilih kata. "Tidak ... bukan begitu maksudku?"
"Kenapa dia terus mengganggumu? Apa karena yang waktu itu?"
Sejeong tak lagi bisa berkata-kata, ia sudah tertangkap basah tapi juga tak bisa berkata jujur.
"Beristirahatlah," ujar Namjoon kemudian dan meninggalkan Sejeong.
Tepat setelah Namjoon menutup pintu kamar dari luar, Sejeong langsung berbaring dan merutuki dirinya sendiri. Sementara itu Namjoon yang meninggalkan kamar Sejeong, dalam perjalanan seulas senyum sempat mengukir wajahnya.
"Choi Hansung? Apa yang sedang dia cari?"
Kim Namjoon menunjukkan ketertarikan pada si penguasa ruang bawah tahan Rising Moon, Choi Hansung. Lalu, apakah yang akan terjadi selanjutnya. Akankah Kim Namjoon juga menjadi orang pertama yang menemukan si pembawa kematian Kim Tae Hwa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro