Lembar 15
Choi Hansung keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan celana pendek selutut tanpa mengenakan atasan. Dia sekilas mengeringkan rambutnya menggunakan handuk putih yang menyampir di lehernya dan perhatiannya teralihkan oleh getar ponselnya yang berada di meja belajar. Ia pun bergegas mengambil ponselnya dan langsung menerima panggilan begitu ia melihat nama Seungcheol di sana.
"Hyeong," tegur Hansung, mengawali pembicaraan.
"Oh! Di mana kau sekarang?"
"Rumah." Hansung berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil kaos milik putih yang rencananya akan ia pakai malam itu.
"Ada apa? Aku bukan pacarmu, kenapa kau menanyakan hal semacam itu?"
"Kau tidak pergi ke Rising Moon, kan?"
Hansung tersenyum tak percaya. "Kau sedang menghina aku?"
"Aku sedang bertanya, dari sudut mana itu terdengar seperti penghinaan?"
"Tanganku masih sakit, kau ingin aku mematahkan tanganku yang satunya." Hansung tetap berbicara dengan santai sembari memilah baju yang ingin ia kenakan. Dan saat itu ia tak sadar jika pintu kamarnya terbuka secara perlahan.
"Jangan berulah saat aku tidak ada. Aku akan terus menghubungi ibu untuk memantau apa yang sedang kau lakukan."
"Kau memang kekanak-kanakan, Choi Seungcheol. Kenapa tidak sekalian tanamkan alat pelacak di tubuhku."
"Aku akan melakukannya saat aku kembali."
Hansung kembali tersenyum tak percaya. "Dasar sinting."
Sambungan telepon terputus dari pihak Seungcheol. Hansung melempar ponselnya ke atas ranjang yang tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri. Setelah itu ia mengambil kaos berwarna putih tanpa motif. Berbalik, ia berinisiatif untuk mengenakan kaos itu. Namun ekor matanya menangkap seseorang yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Arghh!" Hansung sontak berteriak dan refleks menutupi bagian dadanya. Tampak terkejut ketika melihat sang ibu berdiri di sana. Biasanya dia selalu mengunci pintu kamarnya, tapi karena Seungcheol tidak ada di rumah, kewaspadaannya menurun.
Setelah menyadari bahwa itu adalah ibunya, Hansung menghela napas sembari menurunkan tangannya lalu mengeluh.
"Ibu ... kenapa tiba-tiba berdiri di sana?"
Netra Shin Min Ah memicing tajam, baru saja ia menemukan sesuatu yang berbeda dari putra bungsunya. Dia kemudian mendekati putranya, sementara Hansung hendak mengenakan bajunya.
"Singkirkan itu," tegur Shin Min Ah.
Pergerakan Hansung terhenti. "Apa yang Ibu maksud?"
"Berbalik lah, Ibu ingin melihat punggungmu."
Netra Hansung mengerjap dan ketika Shin Min Ah telah berdiri di hadapannya, dia tersenyum lebar seperti tengah mengakui sebuah kesalahan.
"Ada apa? Punggungku baik-baik saja."
"Ibu tahu punggungmu baik-baik saja, jadi berbalik sekarang."
"Memangnya apa yang ingin Ibu lakukan?"
Shin Min Ah memukul perut Hansung menggunakan punggung tangannya. "Berbalik, Choi Hansung. Kau tidak mendengarkan ibumu?"
Hansung yang sedikit terlonjak langsung memegangi perutnya. Dia pun berbalik berkat paksaan dari ibunya. Dan kala itu Shin Min Ah memperhatikan tato pada punggung Hansung. Dia sudah merawat pemdua itu sejak bayi, tentu saja perubahan sekecil apapun itu tidak bisa ia lewatkan.
"Kau menambah tatomu?"
Tak seperti dugaan Hansung, respon yang diberikan Shin Min Ah terlalu santai dan tak menunjukkan penolakan.
"Aku hanya memperbaikinya?" gumam Hansung, masih berpikir bahwa apa yang ia lakukan salah.
"Di mana kau membuatnya?"
"Hannam-dong."
"Ini terlihat cantik."
Hansung tertegun, ia berbalik. Menatap tak percaya. "Ibu barusan bilang apa?"
"Cantik, itu baru terlihat cantik sekarang." Shin Min Ah tersenyum dan menghilangkan kekhawatiran si bungsu tentang kemarahannya.
"Ibu tidak marah?"
"Kenapa ibu harus marah?"
Hansung tampak kebingungan. "Tidak ... aku ketakutan setengah mati jika Ibu akan memarahiku. Tapi kenapa Ibu tidak marah?"
"Ibu baru akan marah jika kau membuatnya di tempat yang terlihat."
Hansung makin merasa aneh. "Ibu aneh sekali."
Shin Min Ah tertawa ringan. "Kenapa kau mengatakan bahwa ibu aneh?"
"Normalnya seorang ibu akan marah jika melihat putranya membuat tato."
"Mau ibu beritahukan satu rahasia."
"Apa itu? Tentang siapa?"
Shin Min Ah berbicara dengan suara berbisik, "ayahmu."
Dahi Hansung mengernyit. "Ayah?"
Shin Min Ah mengangguk.
"Ada apa dengan ayah?"
"Ayahmu juga memilikinya."
Dahi Hansung kembali mengernyit, menatap penuh selidik. "Apa yang ayah miliki?"
"Dia juga memiliki tato."
Hansung tertegun sementara Shin Min Ah tersenyum dan menepuk bahu putranya. "Turunlah, waktunya makan malam."
Wanita itu kemudian meninggalkan Hansung. Sedangkan Hansung mulai kembali pada kenyataan.
"Sungguh? Ayah?" seru Hansung.
Shin Min Ah berbalik ketika berada di ambang pintu. "Cepat turun, ibu akan marah jika makanannya sudah dingin." Wanita itu kemudian berlalu.
"Ibu ..." Hansung buru-buru menyusul Shin Min Ah sembari mengenakan bajunya. Dan sesampainya di meja makan, ia langsung menuntut sang ibu.
"Ibu, Ibu serius tentang hal itu?"
"Duduklah, Choi Hansung." Shin Min Ah mengambil piring kosong Hansung dan mengambilkan nasi serta beberapa lauk.
Hansung duduk, tapi tak menghentikan rasa penasarannya. "Ibu, Ibu jangan mencoba membohongi aku? Itu tidak benar, kan? Ayah tidak memilikinya, kan?"
Shin Min Ah menaruh piring Hansung yang sudah penuh di hadapan sang putra. "Makanlah."
"Ibu ..." Hansung tiba-tiba merengek.
Shin Min Ah menaruh semangkuk sup di samping piring Hansung dan duduk, lalu memandang sang putra yang tengah merajuk.
"Ayahmu memang memilikinya," ujar wanita itu kemudian setelah mengabaikan pertanyaan putranya.
"Sungguh? Di sebelah mana? Aku tidak pernah melihatnya."
"Di sini," Shin Min Ah menyentuh lengan kirinya dan membawa tangan kanannya menyusuri lengan kirinya hingga berhenti di dada. "Sampai di sini."
Hansung kembali tertegun, matanya mengerjap, berusaha mengingat kembali sosok ayahnya. Namun sejauh yang ia tahu, dia tidak pernah melihat sang ayah mengenakan pakaian berlengan pendek atau bahkan melihat sang ayah tidak mengenakan atasan.
"Eih ..." Hansung menatap tanpa minat dan menyandarkan punggungnya. "Tidak mungkin, Ibu pasti sedang mempermainkan aku."
Shin Min Ah tertawa ringan ketika melihat kekesalan di wajah si bungsu meski yang ia katakan adalah sepenuhnya benar. Choi Ji Sub memang memiliki tato pada lengannya hingga area dadanya. Namun pria itu tidak pernah menunjukkannya pada putra-putranya karena tato itu adalah saksi kehidupannya sebelum menjadi abdi negara.
"Ibu benar-benar membuatku kesal kali ini," ujar Hansung tanpa minat.
"Kau tidak percaya?"
"Hentikan, ayah tidak mungkin memilikinya."
"Kalau begitu kenapa kau tidak memeriksanya sendiri?"
Sebelah alis Hansung terangkat, kembali bimbang dengan ucapan sang ibu. "Ibu yakin jika ayah memang memilikinya?"
Shin Min Ah menyangga dagunya. "Ibu melihat semuanya, dari ujung rambut hingga kaki ayahmu, ibu sudah melihat semuanya."
Hansung tiba-tiba menutup mulutnya menggunakan salah satu punggung tangannya ketika ia berusaha untuk tidak tertawa.
"Kenapa? Ada apa? Kenapa kau tertawa?"
Hansung menutup kedua telinganya dengan wajah menghadap ke bawah. Sembari menahan diri agar tidak tertawa, ia menyahut sang ibu. "Ibu membuatku geli, kenapa harus mengatakan itu padaku? Itu memalukannya."
"Bagian mana yang memalukan, dasar bocah." Shin Min Ah tersenyum lebar dan menegakkan tubuhnya.
"Kita akhiri topik ini, sekarang habiskan malam malammu."
"Perutku sakit karena Ibu." Hansung memandang sang ibu dengan senyum lebar di wajahnya.
"Maka dari itu berhenti bicara dan habiskan makan malammu."
"Selamat makan ..."
Ditulis : 25 November 2022
Dipublis : 1 Desember 2022
Hai, para pembaca yang masih menunggu cerita ini. Setelah waktu yang cukup lama, pada akhirnya saya bisa kembali menyapa kalian di sini.
Sehubungan dengan kontrak saya dengan Stary yang sudah berakhir. Saya akan fokus kembali ke Wattpad. Jadi, jangan sungkan untuk meramaikan cerita favorit kalian agar mendapatkan kesempatan untuk diperbarui lebih cepat❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro