Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lembar 10

Setelah selesai makan malam bersama Namjoon dan ibunya, Sejeong memutuskan untuk menghampiri Namjoon di kamar. Namun setelah memasuki kamar pria itu, tak ada siapapun di sana. Sejeong kembali keluar dan terlihat bingung hingga teguran sang ibu berhasil menarik perhatiannya.

"Kau mencari sesuatu?"

"Ibu tahu di Namjoon Oppa?"

"Ibu lihat dia pergi ke ruang kerjanya."

"Kalau begitu, aku akan ke sana."

Sejeong segera meninggalkan ibunya dan bergegas menuju ruang kerja Namjoon di lantai bawah yang bersebelahan dengan ruang kerja Soohyun. Setelah sampai di depan pintu, Sejeong mengetuk pintu di hadapannya sebelum membuka pintu secara perlahan.

Seulas senyum melebar ketika ia menemukan Namjoon yang berdiri di dekat jendela tengah memandang ke arahnya. Gadis itu lantas masuk dan menutup pintu sebelum menghampiri kakak tirinya itu.

"Ada perlu apa?"

Sejeong tampak ragu. "Ada ... yang ingin kutanyakan pada Oppa."

"Apa?"

Sejeong menggerak-geraknya kakinya dan membuat sebelah alis Namjoon terangkat.

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Apa Oppa sedang sibuk? Jika Oppa sedang sibuk, aku akan bicara lain kali saja."

Namjoon menggeleng. "Tidak, katakan saja."

"Sebenarnya ... aku sangat penasaran."

"Tentang?"

"Tato di punggung Oppa ... siapakah yang membuatnya?"

Sebelah alis Namjoon kembali terangkat. Merasa heran dengan pertanyaan Sejeong. "Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?"

"Tidak apa-apa ... aku hanya penasaran saja."

Netra Namjoon memicing. "Jangan bilang kau juga ingin membuatnya."

Sejeong menggeleng dengan panik. "Tidak ... bukan begitu ..."

"Lalu?" Namjoon berjalan ke meja kerjanya dan duduk di kursi yang biasa ia duduki.

Sejeong pun menyusul dan duduk berhadapan dengan Namjoon.

"Kenapa kau ingin tahu?"

"Karena aku penasaran. Kenapa ayah membuat tato di punggung kalian, sedangkan aku tidak?"

"Jawaban dari pertanyaanmu sangat sederhana. Karena kau anak perempuan."

"Tapi tetap saja aku penasaran dengan siapa yang membuat tato itu."

"Kau yakin hanya penasaran?"

Sejeong mengangguk.

"Awas saja jika kau berani membuatnya."

"Tidak ... aku berani bersumpah, aku tidak akan membuat hal-hal semacam itu ... aku hanya penasaran dengan orang yang membuat tato sebagus itu."

"Jika tidak salah namanya Lee Byunghun."

"Siapa dia?"

"Dia seorang seniman dari Ilsan."

"Seniman tato?"

"Tidak juga. Aku dengar dulu dia membuka galeri di Ilsan yang memajang semua lukisan hasil karyanya. Tapi aku dengar galeri itu sudah di tutup beberapa tahun yang lalu."

"Seniman lukis kenapa bisa membuat tato?"

"Berarti dia adalah orang yang genius. Mungkin saja dia hanya membuat tato untuk keluarga kita."

"Begitukah?"

Namjoon mengendikkan bahunya. "Siapa yang tahu ... sekarang, kau sudah tidak penasaran lagi, bukan?"

Sejeong tersenyum lebar. "Aku akan kembali ke kamarku sekarang, selamat malam ..."

Sejeong beranjak dari duduknya dan segera meninggalkan Namjoon. Menyisakan seulas senyum tak percaya di wajah laki-laki itu.

Dia bergumam, "anak itu, ada-ada saja."

Sejeong kembali ke kamarnya dan segera merebahkan diri di atas ranjang menghadap langit-langit. Baru berselang beberapa detik, ponselnya berbunyi. Gadis itu berguling, mencari-cari ponselnya di atas ranjang. Dan setelah menemukannya, dahi gadis itu mengernyit ketika mendapati sebuah panggilan masuk dari nomor asing. Dengan ragu Sejeong pun menerima panggilan itu dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.

"Halo, siapa ini?"

"Kau sudah mendapatkan jawabannya?"

Netra Sejeong membulat. Refleks ia menjatuhkan ponselnya ketika mendengar suara yang sangat mirip dengan suara Hansung. Tersadar dari rasa terkejutnya, Sejeong segera memutuskan sambungan.

"Apa tadi dia? Dari mana dia mendapatkan nomorku? Ah ... tidak ... pasti aku hanya salah dengar."

Ponsel Sejeong kembali berbunyi dan tampak panggilan masuk dari nomer yang sama. Bertambah keraguan Sejeong, tak yakin jika yang baru saja ia dengar adalah suara Hansung. Dengan ragu, dia pun kembali menerima panggilan itu.

"Kenapa kau mematikan teleponnya?" pertanyaan menuntut yang pada akhirnya membuat Sejeong percaya bahwa yang meneleponnya kali ini adalah Hansung.

"Senior?"

"Kau kira siapa lagi? Apa suaraku ini begitu pasaran?" terdengar ketus seperti biasa.

"Tidak ... aku hanya sedikit kaget. Dari mana Senior mendapatkan nomorku?"

"Itu bukanlah hal yang penting bagiku. Kau sudah mendapatkan jawabannya?"

Sejeong mencibir, "tidak tahu diri."

"Jangan mengumpatku, aku tidak suka wanita yang pandai mengumpat."

"Tidak, Senior hanya salah dengar."

"Jangan mencari-cari alasan untuk berlama-lama bicara denganku. Aku sangat sibuk jadi cepat katakan apa jawabanmu."

Sejeong mendengus sebal. Ingin rasanya kepalan tangannya itu merasakan rahang tegas Hansung sekali saja.

"Katakan sekarang atau aku akan mendatangi rumahmu untuk mencari tahu sendiri jawabannya."

"Jangan, jangan! Apa yang sedang Senior katakan?"

"Kalau begitu cepat katakan, jangan berbelit-belit."

"Yang membuatnya adalah Lee Byunghun, seorang Seniman dari Ilsan."

"Lalu?"

"Dia sempat membuka galeri lukisan dan sepertinya sudah di tutup beberapa tahun yang lalu."

"Di mana alamat lengkapnya?"

"Aku tidak tahu."

"Kenapa bisa tidak tahu?"

"Karena aku tidak menanyakannya!" suara Sejeong meninggi, begitupun sebaliknya.

"Harusnya kau menanyakan hal itu! Lain kali jika bertanya jangan setengah-setengah!"

"Kenapa Senior marah padaku? Harusnya aku yang marah!"

"Kenapa? Kenapa kau harus marah?"

Sejeong memukul bantal yang entah sejak kapan ia peluk. "Senior tiba-tiba datang dan memaksaku melakukan sesuatu. Sudah sewajarnya jika aku marah pada Senior."

"Begitukah?"

Sejeong menenggelamkan wajahnya pada bantal. Mencoba menahan kemarahan yang sudah berada di ubun-ubun. Dia heran, seperti apa isi dari otak seorang Choi Hansung.

"Sudahlah, lebih baik kau tanyakan lagi pada kakakmu itu."

Sejeong kembali mengangkat wajahnya yang sudah sangat kesal. "Kau tanyakan saja sendiri, dan jangan mengangguku!"

Sambungan terputus dari pihak Sejeong. Gadis itu kembali menenggelamkan wajahnya dan berteriak frustasi. Di sisi lain senyum lebar mengembang di wajah Hansung untuk beberapa saat sebelum memudar dalam hitungan detik.

Dia kemudian membuka mesin pencarian di ponselnya. Mencari tahu tentang galeri yang berada di Ilsan, dan tentunya tidak hanya ada satu galeri yang berada di kota itu.

"Lee Byunghun, Lee Byunghun ... di mana kau?"

Hansung terlonjak ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dari luar dan hal itu membuat ponsel di tangannya terjatuh mengenai dagunya. Dia segera menatap tajam pada Seungcheol yang berjalan mendekat tanpa rasa bersalah dan langsung berbaring di sampingnya.

"Kenapa? Kenapa melihatku sepertu itu?" tegur Seungcheol.

"Kau bisa mengetuk pintu sebelum masuk."

"Aku tidak sedang bertamu ke rumah Presiden."

"Tapi aku Presiden di kamar ini."

Seungcheol langsung menyentil kening Hansung dan membuat pemuda itu memekik tertahan. Seungcheol lantas bangkit. Duduk bersila dan menjatuhkan pandangannya pada si bungsu yang masih sibuk dengan keningnya.

"Tidak usah manja, sadarlah siapa dirimu."

"Kenapa kau datang kesini?"

"Tanganmu bagaimana?"

"Sakit."

"Itu karena kau tidak bisa berhenti bergerak."

"Aku hidup, bagaimana mungkin aku tidak bergerak."

Mendengar hal itu, Seungcheol tersenyum tak percaya.

"Ada apa?" tanya Hansung kemudian

"Besok aku dan ayah akan pergi ke luar kota."

"Oh!" Hansung segera bangkit. "Ada apa?"

"Tentu saja untuk misi. Pastikan kau tidak membolos."

"Berapa hari kalian pergi?"

"Tidak tahu. Jika misi selesai lebih cepat, tentu saja aku akan kembali lebih cepat."

"Kau tidak apa-apa pergi sendiri?"

Seungcheol kembali tersenyum tak percaya. Ia pun mendorong kepala Hansung dan berucap, "kau pikir aku ini masih bocah? Sudah, aku pergi."

Seungcheol turun dari ranjang dan meninggalkan kamar Hansung.

"Seungcheol-ssi."

Langkah Seungcheol terhenti di ambang pintu. Dia kembali menjatuhkan pandangannya pada Hansung.

"Jam berapa kau berangkat?"

"Pagi-pagi sekali. Jangan berpikir untuk kabur dari tanggung jawabmu."

Hansung tersenyum lebar. Namun di balik senyuman itu, terdapat niatan yang terselubung. Dengan sikap manisnya ia pun berujar, "tenang saja ... jangan cemaskan aku dan pergilah dengan perasaan yang damai."

"Awas kau!" Seungcheol lantas benar-benar menghilang dari pandangan Hansung. Membuat garis senyum di wajah si bungsu melebar.

Selesai di tulis : 20.05.2020
Di publikasikan : 24.05.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro