Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lembar 06

Seungcheol meninggalkan keramaian dan menyusul Hansung yang telah meninggalkan arena terlebih dulu setelah berhasil mengalahkan penantang barunya, meski dengan usaha yang keras.

Seungcheol membuka ruang ganti yang biasa di gunakan oleh Hansung dan menemukan saudaranya itu terduduk di kursi panjang dengan tangan kiri yang memegangi tangan kanan. Kain yang melilit tubuh pemuda itu pun tampak berantakan, tak jauh berbeda dengan keadaan wajahnya.

Setelah berduel sengit dengan Kim Namjoon. Choi Hansung hampir saja kehilangan harga dirinya hingga ia berhasil membalik keadaan di detik-detik terakhir dan membawa kemenangan kembali padanya. Meski tangan kanannya yang harus menjadi korban dari kebrutalan lawannya malam itu.

"Hansung ..." Seungcheol duduk di samping Hansung dan memegang kedua bahu pemuda itu. "Kau baik-baik saja?"

Hanya sekilas memandang tanpa minat. Hansung kembali menjatuhkan pandangannya. Seungcheol lantas menarik dagu Hansung. Berinisiatif untuk melihat seberapa parah luka yang di dapat adiknya malam itu. Dan sudah bisa di pastikan bahwa luka yang di alami oleh wajah Hansung saat ini bukanlah luka yang kecil.

"Ini karena sikap keras kepalamu. Lihatlah apa yang sudah kau perbuat pada tubuhmu."

Hansung menepis tangan Seungcheol. "Bukan apa-apa, aku bisa menanganinya."

"Lepas saja ini." Seungcheol menarik ujung kain yang melilit tubuh Hansung, namun dengan cepat Hansung kembali menepis tangannya. "Tidak akan ada orang yang melihatnya ..."

"Aku tidak apa-apa ..."

"Tidak apa-apa dari mana? Lihat wajahmu! Bahkan orang itu mematahkan tanganmu."

"Tanganku tidak patah, hanya cedera sedikit."

"Ganti bajumu dan kita pergi ke Rumah Sakit."

"Tidak perlu."

"Jangan membantah. Aku tidak mau mengambil resiko terkena amukan ayah dan ibu."

"Aku baik-baik saja ... sungguh!"

"Ya! Choi Hansung ... berhenti membantah kakakmu."

"Keluarlah," ucap Hansung tanpa minat. Berniat mengakhiri perdebatan mereka.

"Apa yang ingin kau lakukan?"

"Aku akan mengganti bajuku, sekarang tunggulah di luar."

"Aku akan menunggu di sini. Lagi pula apa salahnya jika aku melihatmu mengganti baju, kenapa kau tidak pernah membuka baju di hadapanku?"

"Aku malu!" Suara Hansung tiba-tiba meninggi ketika alasan konyol itu refleks keluar dari mulutnya.

"Kenapa kau harus malu? Aku kakakmu, dan kita sama-sama laki-laki."

"Jika aku malu, mau bagaimana lagi? Sudahlah, kau tunggu saja di depan. Aku akan segera menyusulmu."

Netra Seungcheol memicing penuh kecurigaan. "Ada sesuatu di punggungmu."

Netra Hansung menunjukkan reaksi keterkejutan. Dengan cepat ia menyentuh bahunya menggunakan tangan kiri dan bergerak menyembunyikan punggungnya. Menambah kecurigaan Seungcheol terhadapnya.

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa."

"Kau menyembunyikan sesuatu di punggungmu?"

"Tidak ... aku bilang tidak apa-apa."

"Jika tidak apa-apa, kenapa kau menyembunyikannya?"

"Ibu melarangku untuk memberitahumu!" jawaban akhir dengan suara yang sedikit meninggi.

"Memangnya ada apa dengan punggungmu? Kenapa aku tidak boleh melihatnya?"

"Jika penasaran, tanyakan saja pada ibu."

"Buka sekarang. Aku ingin melihatnya."

"Keluarlah ..."

"Buka sekarang ..."

"Akan kuadukan pada ibu."

Hansung segera meraih ransel di samping tempat duduknya. Bermaksud untuk mengambil ponselnya. Namun Seungcheol tiba-tiba berdiri dengan sebuah dengusan yang menandakan bahwa saudara tertuanya itu tengah kesal.

"Jangan lama-lama, aku tunggu di depan," ucap Seungcheol sembari berlalu dari hadapan Hansung.

Tepat setelah pintu tertutup, Hansung menghela napasnya dan segera memeriksa punggungnya. Kain di bagian perutnya memang sedikit berantakan, tapi tidak sampai memperlihatkan punggungnya. Dan itu berarti, Seungcheol hanya asal bicara.

Hansung mengusap wajahnya sebelum pandangannya kembali terjatuh pada lantai. Ingatannya kembali memutar pergulatannya dengan pria asing bernama Kim Namjoon itu, dan satu yang tak mungkin bisa di lupakan oleh Hansung. Tato di punggung Kim Namjoon.

Jika hanya di pandang sekilas, tak ada yang aneh pada tato di punggung Namjoon. Namun setelah melihat dari dekat, Hansung merasa ada yang aneh dengan tato tersebut. Meski desain tato milik Namjoon berbeda dengan miliknya, namun Taehyung melihat persamaan dari kedua tato tersebut.

Di mana terdapat dua tulisan. Satu aksara China dan satu lagi merupakan sebuah nama yang di tulis dalam huruf Hangul. Meski tulisan beraksara China milik Namjoon membuat garis horisontal di dada bagian atas. Namun letak tulisan Hangul itu berada tepat di bagian bawah tato. Sama persis dengan yang ia punya.

Hansung tidak tahu berapa banyak orang yang memiliki tato seperti itu. Namun sepertinya dia harus menanyakannya langsung pada Sejeong yang membawa orang itu kemari dan hampir menjatuhkan harga dirinya di arena gulat.

Di sisi lain, Namjoon dan Sejeong harus di hadapkan dengan ayah mereka setelah keributan di ruang bawah tanah sampai ke telinga Dong Il. Keduanya duduk berdampingan, berhadapan langsung dengan sang ayah.

Dong Il mendecak, "ck, ck, ck ... apa yang di lakukan oleh pria terhormat di tempat para tikus bersenang-senang?"

"Tidak ada yang istimewa, hanya sebuah kunjungan biasa," jawab Namjoon yang terkesan begitu santai, berbeda dengan wajah Sejeong yang sudah menegang.

"Bisa-bisanya kau membawa adikmu datang kemari."

Sejeong dengan cepat menyahut, "Ayah ... ini bukan salah Namjoon Oppa --"

"Anak muda butuh bersenang-senang, jika Ayah lupa," sahut Namjoon, memotong perkataan Sejeong.

Dong Il tertawa pelan untuk beberapa detik. "Begitu, ya? Lalu sekarang, apakah kau sudah cukup senang setelah membuat keributan di bawah sana?"

"Aku cukup mendapatkan penghiburan di sini."

Dong Il memandang tanpa minat. Ia kemudian sekilas memandang pria paruh baya yang berdiri di samping kursinya. "Bagaimana keadaan anak itu?"

"Aku dengar dia mengalami cedera pada bagian lengan kanannya," jawab pria di sebelahnya.

"Berikan uang kompensasi padanya, dan pastikan tidak terjadi sesuatu pada lengannya."

"Baik, Tuan."

Mendengar hal itu, sudut bibir Namjoon terangkat membentuk seulas senyum tipis. Ia kemudian berucap, "sepertinya anak itu sangat di istimewakan di sini."

"Kau tidak tahu? Anak itu adalah bintang di ruang bawah tanah. Dia adalah aset penting yang bisa mendatangkan para tikus-tikus itu ... jangan pernah berpikir untuk bermain-main dengannya apa lagi sampai melukainya. Kau mengerti?"

"Aku penasaran."

"Apa?"

"Apakah anak itu lebih penting dari pada putra Ayah sendiri?"

Sudut bibir Dong Il tersungging. "Pulanglah. Di sini bukanlah tempat yang cocok bagi pria terhormat sepertimu."

Namjoon kembali tersenyum. "Aku jadi penasaran dengan apa yang di miliki oleh anak itu. Aku pikir aku melihat sesuatu di punggungnya."

Netra Dong Il memicing. Ia sendiri pun juga penasaran, kenapa Hansung selalu menutupi tubuhnya. "Apa yang kau lihat?"

Namjoon mengendikkan bahunya acuh. "Apapun itu, sepertinya itu sangat menarik untuk di lihat."

Dong Il kembali menatap tanpa minat. "Jangan berbuat macam-macam. Jangan pernah menyentuhnya lagi, atau ayahmu sendiri yang akan membuatmu menyesali perbuatanmu."

Bukannya takut, Namjoon justru tertawa untuk beberapa detik. "Aku akan berkunjung lagi untuk melihat anak itu lain kali. Itupun jika cedera di lengannya tidak permanen ... baiklah, sudah waktunya untuk pergi."

Namjoon berdiri dan sejenak membenahi jasnya. "Selamat malam, Ayah."

Namjoon meraih pergelangan tangan Sejeong dan membawa adiknya itu pergi. Sedangkan Sejeong, gadis itu sempat menundukkan kepalanya ke arah sang ayah tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Benar-benar," gumam Dong Il sebelum ekor matanya kembali menemukan pria di sampingnya. Ia kemudian berucap, "Pastikan tidak terjadi sesuatu yang buruk pada lengannya."

"Baik, Tuan."

Hansung keluar dari ruang ganti. Berjalan menyusuri lorong sepi untuk bisa keluar dari ruang bawah tanah Rising Moon dengan ransel yang menyampir di bahu kirinya. Sesekali ia memegangi lengan kanannya yang masih sangat sakit jika sedikit saja bergerak.

"Choi Hansung."

Langkah Hansung terhenti. Ia berbalik dan mendapati pria yang sebelumnya menyambut kedatangannya kini berjalan menghampirinya.

"Kau ingin pulang?" ujar pria itu sembari menyerahkan segepok uang kepada Hansung yang langsung di terima oleh pemuda itu.

"Bagaimana keadaan di dalam?"

"Kau hampir membuat semua orang jantungan. Bagaimana dengan tanganmu?"

"Aku akan berhenti untuk beberapa minggu."

"Sungguh?" Pria itu menatap tak percaya. "Apakah separah itu?"

"Tidak apa-apa, hanya luka kecil. Aku hanya harus fokus pada Skripsi-ku," sebuah kebohongan terucap untuk melindungi harga dirinya, di saat ia bahkan tak yakin kapan bisa kembali ke arena dengan cedera di tangannya itu.

"Aish ... orang itu benar-benar. Kenapa dia bisa tiba-tiba ada di sini?" gumam pria itu. Menarik rasa penasaran Hansung.

"Siapa yang kau maksud?"

"Kim Namjoon, penantangmu hari ini."

"Hyeong mengenalnya?"

"Aku baru tahu setelah kau meninggalkan arena. Dia benar-benar mengejutkan ..."

"Siapa dia?"

"Kim Namjoon. Putra keempat Kim Dong Il, pemilik Rising Moon ini."

Sebelah alis Hansung terangkat. Sebelumnya ia berpikir bahwa Namjoon adalah pacar Sejeong dan bukannya kakak gadis itu.

"Dia adalah lawan yang cukup tangguh. Tapi kau tenang saja ... Bos Besar tidak akan membiarkan hal ini terulang lagi ... ya sudah, pulanglah. Jangan lupa obati tanganmu."

Hansung mengangkat segepok uang di tangannya dan berucap, "terima kasih," kemudian berjalan pergi.

Keluar dari bangunan Rising Moon. Hansung segera menghampiri sang kakak yang sudah menunggunya. Namun bersamaan dengan itu, Namjoon dan Sejeong juga baru keluar dari gedung. Langkah Hansung sempat terhenti ketika pandangan mereka di pertemukan, dan saat itu Hansung sempat melihat seulas senyum miring di wajah Namjoon sebelum pria itu menggandeng tangan Sejeong berjalan menuju area parkir.

"Di kesempatan kedua ... kupastikan akan menghabisimu," gumam Hansung dengan sedikit memberikan penekanan sebelum kembali melanjutkan langkahnya.

"Kenapa lama sekali?"

"Aku ketiduran."

"Aish ... sudahlah, kita pergi ke Rumah Sakit dulu."

"Tidak perlu, langsung pulang saja."

"Jangan membantah kakakmu."

Seungcheol langsung memasangkan helm di kepala Hansung sebelum memakai miliknya sendiri. "Kemarikan ranselmu."

"Aku bisa membawanya sendiri."

"Jangan membantah," sedikit mengertak. Pada akhirnya Hansung menyerahkan ranselnya pada Seungcheol.

"Cepat naik."

"Aku bukan peliharaanmu, berhenti memerintahku ..." sebuah protes yang justru terdengar seperti seorang bocah yang melakukannya.

Seungcheol memukul pelan helm yang di kenakan oleh Hansung. "Jangan membangkang ... cepat naik."

Hansung memukul bahu Seungcheol dengan kesal dan menggerutu ketika ia naik ke bagian belakang. Seungcheol pun segera melakukan motornya meninggalkan area Rising Moon.

Sekitar pukul dua dini hari, Choi bersaudara sampai di kediaman mereka. Namun alih-alih segera masuk ke dalam rumah. Keduanya justru berdiri di dalam garasi cukup lama.

Si sulung bertanya, "apa yang akan kau katakan pada ayah dan ibu setelah ini?"

Di jawab oleh si bungsu, "sebentar, aku masih berpikir."

"Jangan terlalu lama berpikir, bagaimana jika ayah sudah menunggu di dalam?"

Hansung memandang sang kakak. "Itu salahmu! Aku sudah mengatakan tidak perlu ke Rumah Sakit supaya bisa sampai di rumah lebih awal."

"Kalau begitu, kau masuklah sendiri, aku akan memanjat jendela."

"Kamar kita di lantai atas, bodoh!"

"Aku akan naik menggunakan tangga."

"Kenapa? Kau bisa lewat pintu, kenapa harus repot-repot memanjat jendela?"

"Agar kau tidak bisa menyalahkanku. Aku akan berpura-pura tidur dan kau pergi sendiri."

"Di mana tanggung jawabmu sebagai seorang kakak?"

"Aku sudah menanggungnya ..." Suara Seungcheol sedikit meninggi namun masih terdengar berbisik. "Aku mengantarmu, membawamu ke Rumah Sakit dan membawamu pulang. Aku mengkhawatirkanmu ..."

Hansung menggaruk sudut bibirnya tanpa minat. "Jadi sekarang bagaimana?"

"Tidak tahu. Katakan saja jika kau menyeberang jalan dan tidak sengaja tertabrak mobil."

Hansung sejenak mempertimbangkan sesuatu sebelum mengangguk-anggukkan kepalanya. "Boleh juga," cetusnya yang segera meninggalkan sang kakak.

"Anak ini ... awas saja jika kau mengatakan yang macam-macam di hadapkan ayah," ancam Seungcheol yang kemudian menyusul si bungsu.

Untuk malam itu mereka berhasil selamat karena ayah mereka tidak pulang dan ibu mereka sudah tidur. Meski mereka harus berjalan seperti seorang pencuri guna melakukan antisipasi.

Selesai di tulis : 04.05.2020
Di publikasikan : 04.05.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro