Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lembar 05

    Choi bersaudara keluar dari ruang rapat NIS. Berjalan berdampingan dengan bahu yang tegap dan sesekali terlibat perbincangan ringan namun dengan wajah yang tampak serius.

    "Bagaimana? Kau ingin pergi?" pertanyaan itu terlontar dari yang lebih tua.

    "Jika aku absen, posisiku akan tergeser."

    "Kau merasa kurang enak badan?"

    "Tidak ... hanya saja, aku memiliki firasat buruk."

    Seungcheol tersenyum, sekilas memandang saudaranya. "Kalau begitu jangan lakukan."

    "Kenapa bukan dirimu saja? Kau tidak ingin mencobanya?"

    "Lupakan, itu bukan bidangku."

    "Katakan saja jika kau lemah ..." cibir Hansung yang hanya di balas oleh senyum lebar dari Seungcheol.

    "Anak-anak ..."

    Langkah keduanya terhenti dan serempak berbalik setelah mendengar suara ayah mereka memanggil. Dari arah mereka datang sebelumnya, Jisub datang menghampiri kedua putranya.

    "Kalian ada acara setelah ini?"

    Hansung dan Seungcheol sekilas saling bertukar pandang sebelum menjawab dengan serempak.

    "Tidak."

    "Ada."

    Jawaban berbeda yang membuat si kembar dengan cepat saling pandang dan menyisakan guratan heran di wajah sang ayah ketika keduanya saling menyalahkan satu sama lain.

    Jisub kemudian berdehem. "Jadi Hansung memiliki acara dan Seungcheol tidak punya?" Terdengar sedikit menyelidik.

    "Aku memiliki janji dengan teman," jawab Hansung sedikit gugup.

    "Aku akan mengantar Hansung," sahut Seungcheol dengan cepat.

    Jisub tersenyum lebar. Sebagai orangtua dia pasti mengerti bagaimana kehidupan anak muda. Meski ia tidak tahu apa saja yang di lakukan kedua putranya pada akhir pekan seperti ini. Jisub hanya menduga-duga bahwa kedua putranya itu akan menghabiskan waktu di Hongdae.

    "Pergilah, tapi jangan pulang malam-malam. Jangan lupa kabari ibu kalian sebelum pergi ... nikmati akhir pekan kalian."

    Jisub lantas meninggalkan kedua putranya. Menyisakan senyum lebar di wajah si kembar. Keduanya saling berjabat tangan untuk merayakan kemenangan mereka, merasa sangat beruntung memiliki ayah yang begitu pengertian.

    "Kita pergi?" tanya Hansung.

    "Tidak tanpa izin dari ibu."

    "Kau saja yang membantu ibu di dapur. Aku akan pergi sendiri." Dengan senyum lebarnya, Hansung meninggalkan sang kakak di belakangnya.

    "Ya! Kau berencana turun? Jika kau melakukannya, akan kuadukan pada ayah."

    Hansung melambaikan tangannya dengan acuh dan membuat Seungcheol mendengus. Seungcheol lantas menyusul Hansung dan segera merangkul bahu adiknya itu dengan sedikit kasar.

    Hansung tersentak ketika pergerakan Seungcheol kembali memicu rasa sakit di punggungnya. Namun dengan cepat ia menyembunyikan rasa sakit itu dari wajahnya, tak ingin jika Seungcheol tahu perihal punggungnya.

    Hal itu pulalah yang membuat Hansung ragu untuk turun ke arena gulat pekan ini. Rasa sakit karena Tatto barunya belum juga menghilang meski hampir seminggu lamanya. Tidak sesakit saat proses pembuatannya, hanya sedikit nyeri dalam beberapa waktu. Namun anehnya dia merasa tidak asing dengan rasa nyeri itu, seperti ia hanya mengulang sesuatu yang pernah ia alami sebelumnya. Dia berpikir bahwa mungkin alam bawah sadarnya mengingat rasa sakit yang sama ketika Tatto pertama pada punggungnya di buat.

    Sore itu keduanya meninggalkan gedung NIS dan kembali ke rumah. Sejenak menjadi anak rumahan hingga malam datang dan membimbing langkah mereka untuk kembali memasuki tempat yang sebenarnya terlarang untuk mereka masuki.

    Kembali menginjakkan kaki di ruang bawah tanah Rising Moon. Pedengaran keduanya langsung di sambut dengan alunan musik yang membuat mereka tak bisa hanya berdiam diri seperti kutu buku dalam pesta. Lagu milik Boy Group asal Britania, The Wanted dengan judul I Found You. Telah berhasil membangkitkan jiwa liar milik Hansung ketika ia berjalan di antara kerumunan orang-orang yang telah bersiap untuk menjadi saksi akan kemenangannya hari ini.

    "Yo ... Choi Hansung ..."

    Seorang pria berusia tiga puluh tahunan menghampiri keduanya. Berjabat tangan dan saling menabrakkan bahu satu sama lain sebelum pria itu yang kemudian merangkul bahu Hansung.

    "Aku pikir kau tidak akan datang."

    "Mana mungkin. Di mana ada pesta, di situlah Choi Hansung berada." Hansung menurunkan tangan pria itu dari bahunya dengan malas.

    "Siapa lawanku hari ini?"

    Pria itu menggerakkan dagunya, menunjuk ke arah seberang. Membimbing pandangan si kembar menemukan sosok pria bertubuh kekar berdiri di antara keramaian dan tengah melihat ke arah mereka dengan tatapan yang tak mengenakkan.

    "Orang baru?" tanya Seungcheol tanpa mengalihkan pandangannya dari pria yang akan menjadi lawan adiknya malam itu.

    "Dari Club sebelah, aku dengar dia sangat berbahaya." Pria itu kemudian menjatuhkan pandangannya pada Hansung. "Kau akan bermain berapa ronde?"

    Hansung sekilas memandang. Bahkan dia tak memiliki keyakinan untuk menang setelah melihat siapa yang akan menjadi lawannya, di tambah dengan kondisi punggungnya yang tidak menguntungkan. Jika tahu akan seperti ini, dia mungkin tidak akan terbujuk oleh rayuan kedua bersaudara dari Hannamdong itu.

    "Akan lebih bagus jika aku mengalahkannya dalam ronde pertama ... tapi sepertinya dia bukan orang yang suka bermain-main."

    "Jika tidak yakin, lebih baik mundur saja," celetuk Seungcheol dan membuat kedua orang di sampingnya segera menatapnya.

    "Kau ingin adikmu ini kehilangan harga dirinya?"

    "Kenapa bukan kau saja yang mencoba turun ke arena?" sambung pria itu.

    Seungcheol mengulum senyumnya. "Aku tidak ingin merebut fans wanitamu, itulah sebabnya kakakmu ini tidak pernah turun ke arena."

    "Alasan," sinis Hansung.

    "Duelmu akan di mulai sebentar lagi, bersiap-siaplah. Aku akan mengumpulkan banyak uang untukmu hari ini." Pria itu lantas meninggalkan Choi bersaudara.

    Hansung mengedarkan pandangannya dan sejenak tertegun ketika melihat sosok Sejeong berdiri di antara kerumunan. Seulas senyum miring lantas terlihat menghiasi wajahnya malam itu. Dia sekilas menepuk dada sang kakak tanpa mengalihkan pandangannya dari Sejeong.

    "Kau tunggu di sini sebentar, aku akan menyambut tamuku."

    Hansung berjalan melewati beberapa orang untuk bisa menjangkau tempat Sejeong, sedangkan Sejeong sendiri sepertinya tak menyadari kehadirannya. Mengabaikan Namjoon yang berdiri di samping Sejeong. Hansung menempatkan diri di belakang keduanya dan segera menempatkan kepalanya di samping kepala Sejeong.

    "Kau datang untukku, Nona?"

    Sejeong terlonjak dan segera menoleh ke samping, begitupun dengan Namjoon yang segera menjatuhkan pandangannya pada Hansung. Tampak keterjutkan di wajah Sejeong saat ia mendapati seulas senyum miring di wajah Hansung.

    "Aku harap kau tidak meninggalkan uangmu di rumah." Sebelah alis Hansung sekilas terangkat.

    Namjoon berdehem untuk menarik perhatian Hansung. Dan Hansung yang mendengarnya pun segera menoleh dan sedikit mendongak ketika tubuhnya yang sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi badan Sejeong.

    "Nona ini pergi bersamaku, Bung."

    Sebelah alis Taehyung kembali terangkat, menunjukkan rasa tak percayanya. Dia kembali memandang Sejeong dengan sebuah seringaian tipis di wajahnya.

    "Owh ... kau datang bersama pacarmu? Sayang sekali ..."

    Hansung menegakkan tubuhnya dan kembali bertemu padang dengan Namjoon. Dia kemudian berucap, "jangan salah paham, Bung. Aku tidak berniat bermain di belakangmu."

    Hansung berjalan di balik punggung Namjoon dan langkahnya sempat terhenti sebelum ia melewati punggung lebar Namjoon. Memandang lawan bicaranya menggunakan ekor matanya. Hansung menepuk bahu Namjoon beberapa kali dan berucap, "jangan merasa bosan ... selamat menikmati pertunjukan malam ini, Bung."

    Hansung lantas pergi meninggalkan keduanya dan kembali menghampiri Seungcheol. Meraih ransel yang di bawa oleh saudaranya itu sebelum memisahkan diri dari keramaian untuk bersiap-siap.

    "Itukah yang bernama Choi Hansung?" Namjoon menjatuhkan pandangannya pada Sejeong yang masih terlihat kaku.

    Sejeong mengangguk. Merasa masih terkejut dengan kemunculan Hansung yang tiba-tiba karena itu pertama kalinya mereka bertatap muka di sana, terlebih lagi ada Namjoon di sampingnya.

    "Sepertinya dia tidak di ajari sopan santun oleh kedua orangtuanya."

    Sejeong mengguncang singkat lengan pria berjas itu. "Jangan bicara sembarangan. Oppa tidak tahu seperti apa dia di luar sana."

    Sebelah alis Namjoon terangkat. "Kau tidak benar-benar menyukai anak itu, kan?"

    "Aish ... kenapa itu lagi yang di bahas? Sudah kukatakan bahwa aku hanya akan menyukai pria terhormat. Bukan seperti kalian!"

    Namjoon tertawa ringan dan berucap, "aku penasaran seperti apa kemampuannya."

    "Kau bisa melihatnya setelah ini."

    Hansung keluar dari ruang ganti dan tampak sudah siap untuk mengguncang ruang bawah tanah Rising Moon malam ini. Namun ketenangan yang selalu terlihat di wajahnya, kali ini sedikit tergeser oleh keresahan. Duduk di kursi panjang sembari melilit telapak tangannya dengan Handwrap. Raut wajahnya terlihat serius ketika ia memisahkan diri dari keramaian malam itu.

    Dentuman musik masih terdengar di telinganya meski hanya samar. Selesai dengan tangannya. Hansung memutar bahunya beberapa kali dan sedikit mengernyit ketika rasa nyeri di punggungnya tak kunjung menghilang. Jika dia kalah malam ini, ia akan pulang tanpa harga diri. Namun jika dia melarikan diri, dia tidak akan bisa memulihkan harga dirinya sampai kapanpun.

    Menumpukan kedua sikunya pada lutut. Punggungnya yang membungkuk mengantarkan pandangannya tertuju pada lantai di bawahnya hingga satu helaan napas berat menyusul kemudian. Mengambil waktu sejenak untuk mengusir kekhawatiran di dalam hatinya. Akankah ia kehilangan harga dirinya malam ini.

    "Ini bukan olimpiade matematika yang harus menggunakan otakmu."

    Hansung menolehkan kepalanya dan mendapati Changkyun yang sudah berada di sana dan kemudian duduk di sampingnya. Hansung lantas menegakkan tubuhnya.

    "Kau datang?"

    "Aku selalu di sini setiap akhir pekan."

    "Sungguh? Kenapa aku tidak pernah melihatmu?"

    Changkyun menatap tanpa minat. "Pernahkah kau memperhatikan sekitarmu di saat hanya ada uang dalam pikiranmu?"

    Perkataan bernada menyindir yang membuat sudut bibir Hansung tersungging.

    "Jooheon Hyeong ikut kemari?"

    "Dia masih ada di atas."

    Hansung terkekeh pelan. "Orang seperti dia ternyata bisa bersenang-senang juga."

    "Sesekali kau harus pergi ke atas ..." Changkyun merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan botol plastik seukuran genggaman tangan yang kemudian ia sodorkan di hadapan Hansung. "Ada banyak hal yang menarik di atas sana."

    "Apa ini?"

    "Ini akan membuat punggungmu lebih baik. Aku tidak mau membuang-buang uangku untuk pecundang."

    Hansung mengambil botol plastik itu dan sejenak memperhatikan beberapa butir obat yang berada di dalam botol tersebut.

    Dia kembali memandang Changkyun. "Bukan obat terlarang, kan?"

    Lagi, Changkyun memandang tanpa minat. "Kau pikir aku seorang pengedar?"

    Tanpa pikir panjang lagi, Hansung mengambil satu butir dan langsung memasukkannya ke dalam mulutnya. Changkyun lantas memberikan satu botol air mineral yang memang ia bawa saat datang tadi. Hansung menerimanya dan mengembalikan botol plastik itu ke tangan Changkyun.

    "Jika kau memberiku obat terlarang, akan kuhabisi kau dan kakakmu itu."

    Changkyun membenahi posisi kaca matanya dan berucap, "jikapun itu obat terlarang, kau tidak bisa mundur. Kau sudah menelannya, idiot ..."

    Changkyun beranjak dari duduknya dan meninggalkan Hansung yang tersenyum tak percaya menatap punggungnya yang semakin menjauh.

    "Anak itu benar-benar."

    "Choi Hansung ... kau sudah siap?" pekik seseorang dari pintu masuk.

    "Aku datang ..." sahut Hansung yang  kemudian berdiri dan bergegas menyusul Changkyun yang sudah menghilang dari pandangannya.

    Musik seketika di matikan dan berganti dengan teriakan yang saling bersahutan ketika Hansung memasuki ruangan besar yang terasa sangat sempit karena banyaknya orang yang berada di sana.

    "Choi Hansung ... Choi Hansung ...." nama itu kembali di teriakkan ketika Hansung berjalan menuju arena di mana lawannya telah menantinya di sana.

    Langkah Hansung sempat terhenti ketika ia bertemu dengan Seungcheol tepat di bawah tangga. Keduanya saling berjabat tangan.

    "Habisi di ronde pertama, kau kebanggaan Choi Seungcheol."

    Hansung menaiki anak tangga yang tak begitu tinggi dan gelombang suara semakin meninggi ketika ia memasuki arena. Berhadapan dengan sang lawan yang memberikannya tatapan meremehkan seperti orang-orang baru yang selalu bertemu dengannya.

    Di bawah arena sendiri, pria yang sebelumnya menyambut kedatangannya tampak mengumpulkan uang dari para penonton yang bertaruh untuk Hansung. Sebuah ritual yang selalu di lakukan sebelum pertarungan di mulai.

    Seorang wasit melangkah ke tengah arena dan memanggil kedua orang yang akan melakukan duel malam ini. Keduanya mendekat dan saling berhadapan dengan sang wasit yang menengahi keduanya.

    "Aku penasaran dengan apa yang kau sembunyikan di balik kain putih itu," ucap lawan Hansung, terdengar begitu mengintimidasi.

    "Aku memiliki penyakit kulit yang mengerikan. Aku takut kau akan muntah jika melihat punggungku," balas Hansung dengan santai.

    Pria itu menyunggingkan senyumnya. "Bagaimana jika aku merobeknya di sini?"

    "Lakukan jika kau mampu, Bung."

    Perkenalan singkat berakhir. Wasit terlihat memberi aba-aba dan gelombang suara yang kembali meninggi menjadi tanda bahwa pertandingan di mulai. Sejenak meninggalkan rasa nyeri di punggungnya yang entah menghilang sejak kapan, Hansung kembali terlibat pergulatan di dalam ring. Memberi, menghalau dan mencari kesempatan untuk melumpuhkan lawannya.

    Sepuluh menit waktu berjalan dan semua terperangah ketika Hansung membanting lawannya dan menahan leher pria itu menggunakan lengannya. Sempat sunyi untuk sepersekian detik hingga gelombang suara kembali meninggi memanggil nama Hansung.

    Sebuah seringaian terlihat di wajah Hansung, menandai kemenangannya bahkan saat ronde pertama baru saja di mulai.

    "Robek saja jika kau mampu ... atau kau ingin aku yang merobek mulutmu," perkataan santai yang memicu kemarahan dari sang lawan.

    Pria itu memberontak dan membuat Hansung semakin memberikan tekanan pada tubuhnya dan bahkan semakin mencekiknya.

    "Kuberi tahu padamu. Tidak ada aturan di sini, bahkan jika aku membunuhmu di sini ... jasadmu hanya akan di bawa ke penangkaran ikan."

    Di akhir perkataannya, Hansung mengangkat tangannya dan menghantamkan sikunya pada wajah pria itu.

    "Bunuh dia ... apa yang kau tunggu? Habisi dia sekarang, pecundang!"

    Sudut bibir Namjoon terangkat. Mengulas senyum tak percayanya ketika suara itu berasal dari balik punggungnya. Dia tidak menyangka bahwa kehidupan di ruang bawah tanah Rising Moon akan semengerikan ini.

    Hansung menepuk wajah pria itu beberapa kali dengan sedikit kasar sebelum beranjak berdiri. Membiarkan sang wasit menghitung mundur dan membawa kemenangan padanya. Mungkin dia telah berlebihan memandang lawannya di awal pertemuan hanya karena bentuk tubuh yang bagus.

    "7 ... 6 ... 5 ... 4 ..."

    Dalam detik-detik terakhir, semua penonton ikut menghitung dan pada nyatanya tak ada kekalahan yang berarti bagi Raja dari ruang bawah tanah Rising Moon. Sang wasit mengangkat tangan Hansung ke udara sebagai ritual akhir dari kemenangannya malam itu. Namun sedikit mengecewakan karena pertarungan itu tidak sesuai harapan mereka.

    "Kenapa mereka memberikan lawan yang lemah untuknya? Benar-benar membosankan," protes seseorang di belakang Namjoon yang bersahutan dengan yang lain.

    Sedangkan Hansung yang tampaknya merasa terpanggil pun lantas memanggil pria yang terlihat sibuk dengan Seungcheol.

    "Hyeong ..." Hansung menepi dan pria itu mendekat.

    "Kenapa? Kenapa?"

    "Apa tidak ada lawan lainnya?"

    "Tidak ada ... hanya itu untuk hari ini."

    Tampak kekecewaan di wajah Hansung. "Buka saja untuk umum," celetuk Hansung yang mengundang keterkejutan di wajah pria itu.

    "Ya! Kau serius ingin melakukannya?"

    Hansung mengangguk tanpa ada keraguan di saat ia telah melupakan rasa nyeri di punggungnya. Dan Seungcheol yang memperhatikan keduanya pun lantas datang mendekat.

    "Ada apa?"

    "Adikmu ingin membuka pertandingan untuk umum."

    "Kau kelihatan kurang sehat, sebaiknya lakukan minggu depan lagi."

    "Ini bahkan hanya sepuluh menit, di mana bagian menariknya?" protes Hansung. "Aku akan bertaruh untuk semua uangku malam ini."

    "Ya! Keras kepala!" ketus Seungcheol yang hanya di balas senyum simpul oleh Hansung. "Lihat saja nanti, aku akan menciummu sampai habis saat di rumah!"

    Hansung menaruh jari telunjuknya di depan mulut dengan senyum yang tertahan. "Hentikan ... kenapa kau selalu mengatakan hal memalukan seperti itu?"

    "Baiklah ... aku mengikut saja."

    Pria itu memasuki ke arena dengan membawa pengeras suara di tangannya dan lantas berbicara, "perhatian semua, mohon dengarkan sebentar ..."

    Keadaan perlahan menjadi tenang dan pria itu kembali berbicara. "Aku tahu ini sangat membosankan bagi kalian ... tapi kami hanya memiliki satu penantang malam ini ..."

    "Ya! Berhenti memberikan pecundang padanya, bodoh ..." umpat salah satu penonton.

    Pria itu mengangkat tangannya ke udara untuk meredam emosi dari para penonton. "Karena pertandingan ini sangat jauh dari harapan kalian. Choi Hansung membuka pertandingan untuk umum. Siapapun yang ingin melawannya malam ini, silahkan masuk ke arena ... dan sebagai taruhannya. Jika kalian berhasil mengalahkan Choi Hansung, maka kalian akan membawa semua uang milik Choi Hansung malam ini ... bagaimana? Siapa yang merasa lebih unggul dari Choi Hansung kita, datanglah kemari sekarang ..."

    Semua orang lantas membuat kebisingan dan pria itu menghampiri Hansung. Saling berjabat tangan dan terlibat pembicaraan ringan sembari menunggu orang bernyali besar yang berani memasuki arena.

    "Mana ada yang berani melawan orang itu, konyol sekali ..." ucap Sejeong dengan senyum tak percayanya.

    Namjoon sekilas memandang adiknya itu sebelum pergi meninggalkannya.

    "Oppa, kau ingin kemana ..." pekik Sejeong. Namun sepertinya suaranya masih kalah dengan suara bising yang ada di sana.

    Namjoon berjalan mengitari arena dan berhasil menarik perhatian Hansung ketika ia lewat di belakang pemuda itu. Sebelah alis Hansung terangkat ketika ia melihat Namjoon menaiki anak tangga yang berseberangan dengan tempatnya saat ini, dan semua hening sejenak ketika Namjoon memasuki arena.

    "Apa yang sedang dia lakukan di sana?" ucap Sejeong dengan mata yang membulat terkejut.

    Pria yang mengambil peran sebagai pembawa acara itupun mendekati Namjoon. Merasa tertarik dengan gaya berpakaian Namjoon yang terlihat sangat formal dan tampak kontras dengan keadaan di sana.

    Pria itu berbicara di depan pengeras suara. "Owh ... kita lihat siapakah tuan yang berdiri di sini. Pria terhormat yang memasuki lingkaran kematian Choi Hansung."

    Pria itu berdiri di samping Namjoon. "Bisakah kau katakan tujuanmu datang kemari, Tuan."

    "Aku yang akan menjadi lawanmu, Tuan Choi Hansung."

    Sudut bibir Hansung tersungging hingga pandangannya bertemu dengan Sejeong yang tampak resah di sana. Hansung lantas kembali memandang si pria pembawa acara dan memberikan anggukan ringan sebagai tanda bahwa dia menerimanya.

    "Baiklah, kalau begitu sebutkan dengan apa kami harus memanggilmu, Bung."

    "Kim Namjoon."

    Sebelah alis Hansung terangkat. "Kim Namjoon?"

Selesai di tulis : 25.04.2020
Di publikasikan : 25.04.2020

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro