Part 8
2020.10.08 [15.30]
GOODBYE
by Inas Sya
"Pernah berpikir mengapa ada beberapa orang yang memilih balas dendam hanya karena masalah sepele? Mungkin bagimu itu sepele, tapi baginya tidak."
Now playing | Shadows On The Wall — Janett Suhh
***
Langkah kakinya terdengar jelas, memberikan suara berirama di jalan yang sepi. Ia menyentuh topi hitamnya, mencoba menutupi wajah. Bibir dengan lapisan lipstik berwarna merah menyala itu tersungging tipis.
Tangannya menggenggam setangkai bunga daisy, ia berjalan menuju sebuah rumah besar yang terlihat tak berpenghuni. Saat langkahnya terhenti tepat di pertigaan sebelum benar-benar sampai di depan rumah tersebut, ia mendongak.
Terlihat sebuah CCTV mengarah ke depan rumah besar dengan dua pohon mangga itu. Orang tadi tetap diam, menyaksikan kedatangan seorang pria dengan kemeja merah rapi bersama mobil mewah.
"Hari pertama, dimulai."
***
Seperti biasa, di hari libur Karen tak ingin memaksakan diri untuk bangun pagi. Meski jarum jam telah menunjukkan tepat pukul 8, ia masih bergelung dalam selimut dengan dengkuran kecil yang mengisi kesunyian di kamarnya. Jendela masih tertutup rapat, tak mengizinkan cahaya matahari masuk untuk menyingkirkan kegelapan di ruangan itu.
Kicauan burung kecil yang hinggap di dahan pohon mangga tak mengganggu Karen. Ia telah menyumpal telinganya dengan kapas. Bahkan menarik selimut sampai menutupi wajahnya.
Drrtt ... Drrttt ....
Tangan Karen keluar dari selimut, mencoba mencari getaran yang dirasakannya di area kepala. Ia menemukan ponsel di bawah bantal. Mata Karen menyipit melihat siapa gerangan yang telah mengganggu waktu berharganya.
"Mang Ujang?" gumam Karen sembari mengerutkan kening. Ia menekan tombol hijau.
"Halo?"
"Halo, Non Karen. Maaf saya ganggu waktunya. Anu, ini, ada temen Non Karen di bawah. Saya bingung mau dipersilakan masuk atau tidak," ujar Mang Ujang dari seberang sana.
Temen?
"Karen gak punya temen, Mang. Usir aja," pinta Karen. Ia masih mengantuk. Memang siapa yang datang ke rumahnya?
Mungkinkah Genta atau Devan?
Ia langsung membuka mata saat mengingat kedua pria itu. "Jangan diusir, Mang! Biar Karen yang turun."
"Oke, siap, Non."
Karen segera memutuskan sambungan. Ia beranjak dari tempat tidur, melangkah menuju jendela dan membuka gorden. Matanya menyipit menyesuaikan cahaya yang masuk. Ia mengambil karet dan menguncir asal rambut pendeknya, menyebabkan beberapa helai tak ikut terikat.
Tak perlu waktu lama, Karen hanya membasuh muka dan gosok gigi. Ia bahkan tidak mengganti baju tidurnya. Dalam waktu sepuluh menit Karen telah berada di bawah, menatap seorang pemuda berdiri di depan pintu rumahnya dengan baju rapi.
Karen mengerutkan kening. Pemuda itu bukanlah Genta ataupun Devan. Padahal Karen tak mengenal seorang teman selain keduanya.
"Siapa lo?"
Ia sedikit menutup pintu, waspada barangkali orang di depannya berniat buruk. Yang dilihatnya tersenyum lebar, terlihat agak canggung. Dia mengulurkan tangan.
"Gue Aldian, dari kelas XI IPS 1, temen sekolah lo." Aldian masih mempertahankan senyumnya.
Karen menatap uluran tangan itu tanpa minat. Ia jadi teringat saat Genta memperkenalkan diri padanya, lalu menarik paksa tangan Karen untuk membalas jabat tangan. Apa setiap mau berkenalan harus salaman dulu?
"Gue gak kenal," datar Karen. Ia hendak menarik pintunya, namun Aldian menjulurkan kaki masuk ke dalam.
Helaan napas terdengar, Karen menatap tajam Aldian. Ia menutup pintunya keras, membuat Aldian menjerit dan terpaksa menarik kembali kakinya.
"Gila, nih, cewek." Aldian meringis, merasakan dua sisi kaki miliknya berdenyut nyeri. Untung saja dia menariknya dengan cepat.
Tatapannya menatap pintu rumah Karen. Ia mengeluarkan ponsel di dalam saku, menghubungi seseorang.
"Gimana ini? Gue bahkan langsung diusir sama dia." Aldian terlihat gusar. Dia mengusap rambutnya frustasi.
"..."
"Baru kali ini ada cewek yang gitu ke gue. Gue ngeri sebenernya, mukanya udah kek mayat hidup." Ia bergidik, berulangkali mengamati pintu rumah Karen lalu beralih pada jendelanya yang masih tertutup gorden. Semoga gadis berkulit putih pucat itu tak mendengar ucapannya.
"..."
"Dia tertutup banget, rumahnya aja sepi. Cuman ada satu satpam yang udah tua di depan."
"..."
Aldian terdiam sejenak. Ia mengulum bibirnya, lalu menunduk. "Gue gak bisa kasih tahu lo sekarang. Yang jelas, ini bukan kemauan gue."
"..."
"Gue juga gak mau. Tapi—" Kalimat Aldian terhenti begitu saja.
Tangannya terasa lemas saat berbalik badan. Ponsel mahalnya bahkan terjatuh karena gemetar. Mata cokelat terang miliknya melihat seseorang berdiri di depan rumah Karen dengan pakaian serba hitam. Rambutnya tertutupi oleh topi dan tudung jaket. Bibir merah menyala itu tersenyum miring. Tatapan Aldian menurun, beralih pada bunga daisy yang dipegangnya.
Aldian tahu, dirinya sedang diawasi.
***
Tok! Tok! Tok!
Karen menarik napasnya panjang. Ia baru saja turun dari kamar untuk mengambil makan, tapi justru mendengar pintu rumahnya diketuk. Apa Aldian masih di luar? Pria itu tidak merasa dirinya mengganggu kesibukan Karen, kah?
"Mang Ujang kemana, sih?" gumam Karen. Dia tidak terbiasa menerima tamu, makanya Karen merasa aneh bila ada yang berkunjung ke rumahnya.
"Lo nga—" Ucapan Karen terhenti saat ia tak menemukan seorang pun berada di sana.
Angin berembus lembut, membuat wajah Karen tersapu hingga beberapa anak rambutnya terjatuh bebas. Ia menoleh ke kanan kiri, namun tak ada yang datang ke rumahnya.
Karen memutuskan untuk kembali menutup pintu, tapi urung saat matanya menangkap sebuah kotak tergeletak di terasnya. Tanpa sadar, ia mencengkeram pegangan pintunya erat. Ada setangkai bunga daisy di atas kotak itu.
Kakinya melangkah, mengambil kotak beserta bunga daisy tersebut. Baru saja ingin membuka, sosok Mang Ujang datang mengagetkannya.
"Non Karen ngapain di luar?"
"Eh?" Mata Karen membulat, ia menunjukkan kotak yang dipegangnya. "Mang Ujang dari mana? Siapa yang kirim paket ini?"
Tampaknya pria paruh baya itu tak tahu apa pun, terlihat dari raut wajahnya yang bingung. "Saya dari belakang rumah, Non. Tadi perasaan gak ada yang masuk ke dalam setelah teman Non Karen pergi."
"Apa dia yang naruh ini?"
Mang Ujang menggeleng. "Bukan, Non. Dia langsung pergi gitu aja naik mobil bagus, malah mukanya keliatan pucet gitu."
Karen mengangguk. "Ya sudah, Mang. Karen ke dalam dulu." Saat menyadari sesuatu, Karen berbalik dan menatap satpam rumahnya lagi. "Kenapa Mang Ujang udah berangkat kerja? Bukannya jam kerja Mang Ujang nanti malam?"
Mang Ujang nyengir lebar. "Di rumah sepi, Non. Enakkan di sini, suasananya seger."
Sudut bibir Karen tertarik ke atas. "Di sini juga sepi, Mang." Ia lalu berbalik masuk ke rumah membawa kotak yang ditemukannya tadi.
Karen berjalan cepat menuju kamarnya, lalu menutup pintu bahkan menguncinya rapat. Dia meletakkan kotak di atas meja, begitu juga dengan bunga daisy yang ada di tangannya.
Tangan Karen sebenarnya gemetar saat memegang bunga itu. Entah kenapa dia seakan memiliki kenangan tersendiri dengan bunga daisy. Lalu, apa ini? Tak ada keterangan apa pun di luarnya.
Ia membuka perekat yang membungkus kotak berwarna cokelat muda tersebut. Jemarinya cekatan melepasnya, lalu membuka dua sisi penutup. Tidak ada yang spesial, Karen hanya menemukan secarik kertas putih dengan tulisan yang rapi.
Selamat datang di permainan ini, Tuan Putri.
Siapa yang akan kamu pilih nantinya? Apakah pangeran tampan berkuda putih atau pangeran hitam dari negeri penyihir? Siapa pun yang menjadi pilihanmu nanti, kamu tak akan merasa dirugikan.
Bukankah kamu senang dengan hal itu?
"Apa ... maksudnya?"
***
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro