Part 6
2020.10.06 [00.05]
GOODBYE
by Inas Sya
"Dia putra dari korban pembunuhan serupa sepuluh tahun lalu."
Now playing | Psycho - Post Malone ft. Ty Dolla
***
Rendi duduk dengan bersidekap dada, menatap ketiga remaja di hadapannya tajam. Ia saat ini tidak mengenakan seragam polisi, tubuhnya hanya dibalut kaos hitam yang memperlihatkan lekuk otot.
Devan dan Genta menunduk, Rendi sempat melihat Genta menyenggol kaki Devan lalu keduanya berbisik. Sedangkan satu-satunya gadis di sana hanya diam anteng sambil tengok kanan kiri, memerhatikan rumah Devan.
"Jadi, kalian mau ikut dalam penyelidikan kasus pembunuhan Nizar?" tanya Rendi, matanya menyipit menatap Devan dan Genta bergantian.
Meskipun baru kenal, kedua remaja pria itu tak terlihat canggung. Genta bahkan tak segan memukul keras bahu Devan untuk segera menjelaskan semuanya kepada Rendi.
Devan tersenyum, menampilkan cengirannya. "Iya, Paman."
"Kenapa?" Tatapan Rendi beralih pada Karen. Keponakannya bahkan membawa seorang gadis dan membicarakan kasus pembunuhan.
Ia sempat bingung melihat Karen dan Genta datang ke rumah kakaknya. Terlebih lagi Devan tak mengatakan apapun pada dirinya, membuat Rendi terkejut saat mendengar bahwa mereka bertiga ingin membantunya dalam penyelidikan. Susah dipercaya, apalagi ia sangat mengenal Devan. Ketiganya masih dalam masa remaja, pikirannya belum matang untuk memikirkan hal seperti ini.
"Ada beberapa hal yang tidak bisa polisi dapatkan dari kasus ini. Justru orang lain menerima bukti yang tidak kalian temukan-"
"Ngomongnya yang singkat, jelas, dan mudah dipahami, Van. Otak gue gak nyampe," potong Genta sopan. Devan memutar bola matanya.
"Intinya kami dapat bukti lain, Paman. Kemungkinan pelaku itu punya alasan di balik perbuatannya. Dia memiliki motif yang berhubungan dengan seseorang." Devan melirik Karen. Melalui kode mata, ia menyuruh gadis itu untuk menyerahkan surat anonim yang diterimanya kemarin.
Karen menganggukkan kepala. Ia membuka tas selempangannya, mengeluarkan sebuah kertas lusuh lengkap dengan amplopnya. Rendi mengerutkan dahi melihat Karen menyodorkan kertas tersebut kepadanya.
"Apa ini?"
"Bukti lain," ujar Karen. "Kemarin saya menemukan ini di pintu ruang kelas XI MIPA 1. Saya tidak tahu siapa pengirimnya, tapi saya yakin itu bukan surat iseng."
Rendi menerimanya. Ia membaca surat tersebut, keningnya terlipat samar.
Sudah menerima hadiah dariku? Dengarlah, jangan bersedih terlalu lama. Kau tahu? Dirimu adalah daisy untukku, kecantikan yang wajib aku jaga. Aku akan memberikan banyak hadiah padamu ke depannya. Berbahagialah dengan itu, my dear.
Hadiah? Maksudnya kasus ini?
"Apa yang membuat kalian yakin bahwa surat ini merujuk pada kasus pembunuhan itu?" tanya Rendi serius.
Karen mengarahkan telunjuknya pada amplop. "Ada corak bunga daisy di atas amplop. Saya awalnya mau buang surat itu, tapi urung saat melihat corak ini. Terlebih lagi bunga daisy ditemukan di tangan korban."
"Namamu Karenina Daisy, kan?"
Karen terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Saya saksi yang menemukan korban. Paman adalah orang yang mewawancarai saya kemarin, kan?"
"Eh?" Rendi terkejut Karen bisa mengetahuinya. Ia mengangguk kikuk. "Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Dari suara Paman."
Ia mengangguk-angguk. Tatapannya kembali beralih pada surat di tangannya, membuat ia menyentuh dagu seolah tengah berpikir keras. "Jadi, kalian menerima surat ini dan ingin tahu siapa pengirimnya? Terlebih lagi isi surat seolah merujuk pada kasus pembunuhan itu?"
Devan dan Genta mengangguk kompak. "Karen yang menemukannya, Paman," ujar Genta kemudian.
Rendi menatapnya. Lambat laun keningnya terlipat dalam, seolah tengah mengintimidasi Genta. "Saya sepertinya pernah melihat kamu. Tapi di mana, ya?"
Genta tertawa renyah, lalu mengatakan, "Tapi saya baru pertama kali melihat Paman. Mungkin kita pernah berpapasan di jalan."
"Kamu bukan salah satu remaja yang suka keluar masuk kantor polisi, kan?"
Buru-buru Genta menggeleng, tangannya bahkan bergerak ke kanan kiri tanda menyanggah ucapan Rendi. "Bukan, Paman. Saya bukan tipe orang seperti itu. Meskipun keliatannya brandal, hati saya selembut kapas."
Rendi beralih menatap Devan. "Dapat teman kayak gini dari mana, Van?"
"Dari Uranus," jawab Devan asal. Keduanya tertawa, berbeda dengan Genta yang merengut. Sedangkan Karen diam saja, tak mengerti lelucon apa yang mereka bicarakan.
"Tapi saya yakin pernah lihat kamu. Mungkin ada salah satu anggota keluargamu yang terlibat dengan polisi?" Pertanyaan dari Rendi membuat Genta terdiam.
"Denger-denger ayahnya Genta ini seorang jaksa, Paman. Mungkin Paman pernah ketemu, makanya familiar dengan muka Genta," ujar Devan. Tangannya terangkat merangkul Genta. Sedangkan Genta menatapnya terkejut.
"Gimana lo bisa tahu?"
Devan hanya tersenyum lebar, menepuk-nepuk dadanya bangga. "Devan gitu, loh."
"Sudah-sudah. Karen, surat ini akan Paman simpan. Jika memang benar pengirimnya adalah dari pembunuh itu, maka artinya ada di antara kalian bertiga yang dikenal oleh pembunuh. Jika nanti kalian menemukan sesuatu hal yang mencurigakan lagi, segera hubungi Paman." Rendi berujar serius, ia menatap ketiganya bergantian. "Dan ingat, jangan sampai kalian bertindak sendirian. Ini sudah tugas Paman dan rekan Paman yang lainnya, kalian tidak boleh terlibat."
"Tapi Paman, bagaimana jika pembunuh itu memiliki maksud lain dengan mengirim surat anonim? Seperti, dia sebenarnya tidak menargetkan orang yang dibunuhnya. Tapi, dia mengancam target yang sebenarnya dengan membunuh salah satu murid SMA Andromeda." Kalimat itu tidak keluar dari bibir Genta maupun Devan. Justru Karen yang mengatakannya.
Dia tak bisa lagi memendam penasaran. Karen langsung menanyakan apa yang sedari tadi ia pikirkan. Rendi cukup terkejut mendengarnya.
"Kamu memang benar. Saya juga menyimpulkan hal yang sama. Tapi, kami masih belum yakin. Bukti yang ditemukan masih belum cukup untuk mengetahui siapa pelakunya," ujar Rendi. Itu memang benar.
Terlebih lagi semua informasi tentang Nizar-selaku korban-tidak mengatakan bahwa Nizar memiliki musuh. Mantan Ketua OSIS SMA Andromeda itu dicap sebagai murid teladan tahun lalu. Alih-alih memiliki seorang musuh, Nizar mempunyai banyak pengagum.
"Intinya, kalian tidak perlu repot-repot mencoba mencari siapa pelakunya. Bahkan jangan pernah melakukan hal itu, fokus saja untuk belajar. Remaja jaman sekarang bukannya belajar malah tertarik sama kasus," lanjut Rendi mencibir. Dia mengarahkan telunjuknya kepada Karen, Genta, dan Devan. "Langsung hubungi saya jika kalian menemukan hal yang mencurigakan seperti surat ini."
"Siap, Paman." Ketiganya mengangguk kompak.
"Di antara kalian bertiga, siapa yang paling bodoh?" Rendi mengajukan pertanyaan yang membuat Devan dan Karen bebarengan menatap Genta.
Genta yang merasa tak suka disebut bodoh langsung mengangkat dagunya. "Siapa? Gue?" Dia tertawa keras.
Karen mengalihkan tatapan pada Rendi. "Saya murid pindahan lewat jalur beasiswa."
Rendi menjentikkan jari. "Kepintaranmu sudah terlihat dari wajah."
"Paman tahu prestasi Devan di sekolah, kan?" tanya Devan pada pamannya sendiri. Dia tersenyum bangga, menyugar rambutnya.
Rendi hanya mengangguk malas. "Kamu selalu dapat nilai sempurna dan masuk peringkat satu paralel."
Dia lalu beralih menatap Genta yang diam dengan bahu lesu. "Iya, saya yang paling bodoh di sini," ujarnya, seolah jujur pada diri sendiri. Devan merangkul Genta, menenangkannya. Sedangkan Karen memutar bola mata. Meskipun baru kenal, Devan dan Genta langsung akrab. Drama apa lagi yang sedang mereka mainkan saat ini?
"Jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang surat ini, ya. Terutama kamu," ujar Rendi menujuk Genta lalu melanjutkan, "jangan sampai keceplosan."
Genta menggeleng. "Meskipun saya memiliki kapasitas otak yang tidak seberapa, mulut saya punya rem kuat, Paman."
Rendi hanya menyahutinya dengan anggukan. "Ah, ya. Siapa namamu tadi?"
"Dia Genta, Paman. Devan udah kasih tahu sepuluh kali, loh."
"Saya Genta, Paman. Singkatan dari Ganteng dan Tampan." Genta tersenyum lebar. Devan berlagak mau muntah. Sedangkan Karen tampak tak tertarik.
Rendi memutar bola mata. "Bukan. Maksud Paman, nama panjangmu siapa?"
"Gentala Aldrich."
"Aldrich?"
Genta mengangguk. "Kenapa emangnya?"
"Ah tidak, tidak apa-apa." Rendi memerhatikan wajah Genta dengan saksama. "Hanya saja saya merasa familiar dengan nama itu."
"Namanya pasaran kali, Paman." Devan bicara nyeplos.
"Ya sudah. Kalian berdua lebih baik pulang sekarang. Ingat ya, jangan sampai ada orang lain yang tahu." Rendi memberikan peringatan.
Karen dan Genta mengangguk kompak. Keduanya beranjak berdiri, berpamitan dengan Rendi lalu keluar rumah. Sementara Devan membuntuti di belakang, mengantar kedua teman barunya selayaknya tuan rumah yang ramah, tidak seperti Karen yang bahkan membiarkan tamunya menunggu di luar gerbang. Sepertinya Genta harus merekomendasikan sikap tuan rumah yang baik ala Devan kepada gadis itu.
Berbeda halnya dengan Rendi yang masih duduk terdiam dengan mata menatap kertas lusuh di hadapannya. Lalu beralih pada amplop dengan corak bunga daisy, ia tahu corak tersebut sangat jarang ditemukan. Pikirannya mulai berkelana, mulai dari bunga daisy yang ada di tangan korban, saksi bernama Karenina Daisy, surat anonim beramplop dengan corak daisy yang juga ditemukan orang Karen.
Mungkinkah pelakunya penjual bunga daisy?
Rendi menggeleng. Meski sudah berumur 32 tahun, terkadang pola pikir kekanakannya muncul. Pandangannya beralih pada pintu masuk rumah kakaknya yang masih terbuka. Ia melihat Devan tertawa bersama Genta lalu Genta dan Karen sama-sama naik motor sebelum akhirnya berlalu meninggalkan tempat itu.
"Tidak mungkin," gumam Rendi saat dia menyadari sesuatu.
Matanya kembali menatap surat lusuh di tangannya. Pikirannya kembali ke masa lalu, di mana dirinya menjadi polisi muda yang ditugaskan pada sebuah kasus pembunuhan dengan cara yang serupa.
Bunga daisy di tangan korban, luka tusuk yang korban dapatkan. Semua itu mirip. Dan sekarang, Rendi mengingat siapa Genta.
"Anak itu ... Dia putra dari korban pembunuhan serupa sepuluh tahun lalu." Rendi tak bisa menyangkalnya, dia merasa kasus saat ini ada sangkut pautnya dengan Genta. Apalagi kasus pembunuhan sepuluh tahun lalu mirip dengan kasus pembunuhan Nizar.
Mungkinkah kedua kasus itu saling berhubungan?
***
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro