Part 5
2020.10.05 [00.01]
GOODBYE
by Inas Sya
"Terkadang, apa yang kita pikirkan bukanlah suatu kebenaran."
Now playing | Be Alright — Dean Lewis
***
Kicauan burung yang hinggap di dahan pohon mangga mengganggu Karen. Gadis itu membuka matanya, menyibak selimut, dan berjalan gontai menarik tali gorden hingga cahaya matahari bisa masuk ke dalam kamarnya. Ia menyipit, melihat tiga ekor burung kecil berkicauan saat induknya datang.
"Ganggu aja," gumamnya kesal.
Karen melihat jam tangan di pergelangannya, menunjukkan pukul 07.30 WIB. Waktu yang ia anggap terlalu pagi untuk bangun di hari libur ini. Meskipun Karen sendiri biasanya berangkat ke sekolah paling awal, ia bukan tipe gadis yang suka bangun pagi saat masa libur.
Diambilnya gelang karet yang tergeletak di atas nakas. Karen mencepol rambutnya asal. Tatapannya menangkap seorang pemuda tengah duduk di atas motor, menengok ke arah gerbang rumahnya. Beberapa kali memeriksa jam tangan, lalu bersidekap dada dengan mulut komat-kamit.
Dia ngapain di depan rumah gue?
Tanpa mengganti baju tidur kebesarannya, Karen turun ke bawah. Mang Ujang pasti belum datang ke rumahnya. Satpam yang sudah berumur itu hanya memiliki jam kerja mulai dari Karen berangkat sekolah sampai malam hari. Karena hari ini sekolah baru Karen diliburkan, dengan senang hati Mang Ujang akan berangkat kerja nanti malam.
"Ngapain lo?"
Hampir saja Genta latah melihat kedatangan Karen yang tiba-tiba. Apalagi gadis itu masih kucel dengan rambut cepol asal dan wajah kusam, kentara sekali belum mandi. Jangan lupakan saat Karen langsung menguap lebar tanpa malu di depan Genta. Cewek jaman sekarang, masih aja ada yang malas mandi pagi.
"Baru bangun lo?" Bukannya menjawab, Genta balik bertanya. Ia mengamati penampilan Karen yang mengenakan pakaian tidur, bahkan kakinya nyeker.
"Hm."
"Astaga, cantik-cantik kebo," gumam Genta. "Lo tahu hari ini kita ada jadwal penting untuk memulai penyelidikan yang pertama di rumah saudara Devano Gautama, kan?"
Karen mengangguk, menghiraukan pola kalimat aneh yang digunakan Genta. "Tapi gak ada yang kasih tahu gue jam berapa."
"Lo gak tanya."
"Gue gak penasaran," jawab Karen singkat.
"Gue ganteng, gue sabar." Genta menabahkan hatinya menghadapi sikap gadis itu. Ia menatap Karen tajam.
"Buruan mandi sana! Devan udah nungguin di rumahnya," suruh Genta sembari mengibaskan tangan. "Kirain lo udah dandan yang cantik. Tahunya masih muka kebo."
Karen hanya mengangguk malas. Ia berbalik memasuki rumahnya, membuat Genta mendelik. "Woi, gue gak disuruh masuk, nih?"
Ia menoleh ke kanan kiri, jalan sempit beraspal ini sangat sepi. Genta sempat melewati area pemakaman sebelum sampai di depan rumah Karen. Apalagi Genta belum melihat ada tetangga Karen yang lewat, bahkan lingkungan Karen tinggal seolah tidak berpenghuni. Mungkin mereka orang sibuk, itu yang ada di pikiran positifnya.
Karen menatap Genta dengan alis terangkat lalu mengatakan, "Harus gitu, ya?"
Genta membulatkan mulutnya, tak percaya dengan sikap Karen ketika menerima tamu. "Udah sana lo cepet siap-siap! Gak usah suruh gue masuk," ketus Genta.
Karen menganggukkan kepala. Tanpa pikir dua kali meninggalkan Genta seorang diri di depan gerbang rumahnya yang sepi.
Selepas kepergian Karen, bola mata Genta bergerak mengamati rumah besar milik gadis itu yang bisa dilihat lewat celah gerbang. Dua pohon mangga tumbuh di samping kanan kirinya, ada sebuah bangku putih dengan kolam ikan di depannya. Rumah Karen ada dua lantai, kemungkinan ruangan yang menghadap ke pohon mangga sebelah kanan dengan balkon tersebut adalah kamar. Suasananya terkesan sepi, seolah tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
"Dia tinggal sendirian?"
***
Keheningan menyelimuti mereka semenjak Genta menghidupkan motor kesayangannya yang ia beri nama Papa. Alasannya karena motor tersebut adalah pemberian dari mendiang kakek Genta, terlebih lagi Genta merindukan sosok ayahnya.
"Lo gak ngomong dari tadi, Ren. Raga lo masih duduk aman di belakang gue? Jiwa lo gak kebawa angin, kan?" tanya Genta mencoba memecah keheningan.
Namun tak ada respon, membuat Genta melirik ke kaca spion. Terlihat wajah bulat Karen terlindungi helm berwarna merah muda milik sepupunya. "Gue ngomong sama lo, Ren. Jangan kacangin orang ganteng, gak baik."
"Lo fokus nyetir aja," ujar Karen tanpa mengalihkan tatapannya pada deretan bangunan pencakar langit di samping jalan.
Ini terdengar konyol, Karen merasa dirinya memang ada dalam kehidupan ini. Bukan apa, setiap hari ia menghabiskan waktu berada di rumah hanya untuk membaca buku, menonton drama, atau bermain dengan Bong Bong—anjing peliharaannya. Tak pernah sekalipun Karen mengunjungi berbagai tempat atau sekedar shoping seperti remaja perempuan lainnya. Bila ada yang dibutuhkan, ia selalu memberi perintah pada Mang Ujang atau istrinya, Bik Siti.
"Gue nyetir sambil merem aja gak bakal nabrak, Ren." Genta nyengir. Karen melirik ke kaca spion, melihat pria itu memejamkan matanya. Refleks ia melotot, memukul bahu Genta dengan keras.
"Kalau mau mati, jangan di jalan raya."
"Kalimatnya familiar tapi berbeda," ujar Genta. "Mau mati di mana emang?"
"Di tempat yang gak akan merugikan orang lain," jawab Karen enteng.
Genta geleng-geleng takjub dengan gadis itu. Karen memang berbeda. Terlepas dari kulit pucatnya yang membuat Karen terlihat seperti mayat hidup dan wajah tanpa ekspresi tersebut, dia sebenarnya cukup menarik.
"Lo tinggal sama siapa di rumah?" tanya Genta.
"Sendiri," jawab Karen. Dia menatap sebuah toko bunga yang dilewatinya, lalu beralih pada awan-awan di langit yang terlihat seolah mengikuti posisi Karen.
"Orangtua lo?" Pertanyaan Genta membuat Karen menatap spion, kedua mata mereka bertemu tatap.
"Ngapain nanya itu?"
Genta mengangkat bahunya. "Iseng."
Karen memutar bola mata. Ia kembali menatap ke atas, melihat gedung-gedung pencakar langit di ibu kota ini seolah berlomba-lomba mencapai angkasa.
"Lo kayak gak pernah main ke luar aja." Genta terkekeh melihat bagaimana tingkah Karen memerhatikan sekeliling. Bahkan dia bisa melihat binar kagum di mata gadis itu.
"Gue gak punya bokap, Mama gak di rumah," ujar Karen menjawab pertanyaan tadi, membuat Genta sedikit terkejut. Ia mengalihkan matanya pada kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di samping kanan kiri. Beruntung mereka tidak terjebak macet.
"Emangnya nyokap lo di mana?"
Karen mengerutkan keningnya samar, merasa aneh dengan pertanyaan Genta. Pria itu seolah berusaha mengorek informasi tentangnya. Atau Karen salah? Apa Genta hanya sedang mencari tahu tentang Karen selayaknya seorang teman yang baru kenal? Karen tidak mengerti perbincangan dalam pertemanan, dia terbiasa menjalani hari tanpa teman.
"Gak tahu," jawabnya singkat.
Genta kembali menatap kaca spion, melihat Karen menundukkan kepala. Dia sedikit terkejut dengan jawabannya. Mungkin gadis itu memiliki masalah di keluarganya. Ia memutuskan untuk tak bertanya lagi. Perjalanan mereka menuju rumah Devan masih membutuhkan waktu sekitar lima menit.
"Lo gak ada kerjaan lain?" Mengingat dirinya menerima tawaran Genta karena curiga dengan pria itu, Karen memutuskan untuk bertanya.
"Kenapa emang?"
"Lo gak perlu bantuin gue sebenernya. Lagian kita gak saling kenal," ujar Karen apa adanya.
Genta terkekeh. "Gue udah bilang kemarin, tanpa alasan."
"Cuman orang bego yang percaya sama ucapan lo itu." Kali ini Genta benar-benar tak bisa menahan tawanya, membuat Karen berdecak dan kembali bertanya, "Kenapa lo pindah sekolah dan ditempatkan di kelas yang sama dengan gue?"
Karen tak suka basa basi, dia langsung bertanya pada intinya. Matanya melihat ke arah spion saat Genta tak kunjung menjawab pertanyaannya. Genta hanya diam, Karen juga tak bertanya lanjut. Ia tak mau dianggap terlalu kepo dengan jawaban Genta.
Yang membuat Karen mengerutkan keningnya saat ini, ia sempat melihat dari kaca spion bahwa bibir pria itu tersungging miring.
***
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro