Part 30 (Ending)
2020.10.30 [07.27]
Akhirnya, bisa ending juga tanpa punya hutang🤧
GOODBYE
by Inas Sya
"Semuanya berlalu dan kemudian menjadi kenangan masa lalu."
Now playing | Always – Yoon Mirae
***
Semua hal yang telah terjadi pasti akan berlalu. Bila hari ini kamu menderita, penderitaan itu akan terus mengikutimu seperti bayangan agar selalu diingat. Rasa penyesalan dan kecewa juga tak pernah berhenti menghantui hingga rasanya sangat mengangguk, sesak sekali.
Apa yang akan terjadi ke depannya, tak akan ada yang tahu. Bahkan bila saja sampai membuat berbagai rencana masa depan dan menanamkan janji untuk diri sendiri yang menekadkan bahwa semua ini akan menghilang seiring berjalannya waktu, tidak akan membuatnya benar-benar lenyap tanpa sisa.
Dua bulan berlalu semenjak penangkapan Emma. Karen menjalani hari-hari seperti biasa, meski hatinya terasa kosong setelah semua hal yang terjadi padanya dulu. Dia kini menatap pantulan wajahnya di cermin, seragam putih abu-abu dengan bed sekolah kebanggaan SMA Andromeda yang dikenakannya membalut tubuh gadis itu.
Karen memutuskan untuk tidak pindah sekolah. Lagi pula, dia sudah tak lagi menghiraukan keberadaan Arnold meski sempat beberapa kali berpapasan di koridor. Bahkan Karen pernah memergoki Arnold menatapnya dari kejauhan dengan pandangan sayu. Biarlah, dia tak peduli lagi dengan apa yang akan dilakukan orang tua itu. Selagi Arnold tidak mencoba mendekati dan mengganggu kehidupan Karen, dia masih bisa menerima.
Di sekolah pun, kondisinya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Tak ada murid yang mau mengajak berteman, seolah-olah Karen adalah gadis yang harus mereka hindari. Apalagi setelah kabar siapa pelaku pembunuhan dua siswa di sekolah mereka menyebar luas, tak sedikit dari mereka yang terang-terangan menjauhi dan menatap takut padanya.
Tak apa, Karen sudah terbiasa. Dia juga tidak sendirian di sini. Mereka semua tak tahu kejadian yang sebenarnya dan hanya mampu memercayai berita yang tersebar saja, itu yang selalu dikatakan Genta. Kini Karen hanya punya Genta dan Devan. Kedua pria yang selalu ada untuk dirinya dua bulan lalu tak pernah meninggalkan Karen. Devan juga sudah tahu kebenaran yang ada setelah memaksa dua temannya untuk cerita secara runtut dari awal hingga akhir tanpa meninggalkan satu kejadian pun.
Karen memerhatikan penampilannya sekali lagi. Bukan, bukan karena ini adalah hari pertama ia memasuki sekolah setelah dua hari lalu libur. Setelah pulang nanti, dia sudah ada rencana untuk mengunjungi seseorang. Tampilan Karen harus terlihat rapi dan bagus, setidaknya untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa hidup dengan baik setelah apa yang menimpa.
Terdengar bunyi klakson motor dari arah bawah. Karen mempercepat menyisir rambut pendeknya, lalu menyambar tas gendong yang ada di atas kasur. Dia juga punya kebiasaan baru, yakni diantar–jemput oleh Genta. Katanya, pria itu tak keberatan menjadi sopir pribadi Karen, gratis pula. Daripada naik bus yang biayanya bisa lebih dari lima ribu, lebih baik hemat uang.
Disapanya Mang Ujang yang sedang duduk di pos satpam. Lalu Bik Siti baru saja datang setelah dari pasar. Dia juga tidak lagi sendirian di rumah, meminta pada dua pekerja itu untuk tinggal di rumahnya saja dengan alasan supaya tidak bolak-balik. Lagi pula, Mang Ujang dan Bik Siti tidak punya anak. Keduanya terlihat senang, mereka sudah menganggap majikannya seperti putri sendiri. Perubahan sikap Karen yang lebih hangat rasanya sangat melegakan.
Genta menopang dagu melihat bagaimana Karen terburu-buru mengenakan sepatu. Seperti biasa, ia akan membawa Papa—nama motor—bersamanya. Bisa saja Devan yang menawarkan diri untuk mengantar Karen, apalagi dia membawa mobil. Saat mengatakan hal itu, Genta hanya bisa mencibir. Pakai motor lebih cepat dan tak akan terjebak macet. Lagi pula, jarak rumah Devan sangat jauh dari sini. Yang ada justru harus bolak-balik untuk menjemput Karen dan mengantarnya ke sekolah.
Pria itu menyodorkan helm warna biru pada Karen. "Nanti jadi?" tanyanya.
Karen hanya mengangguk, lalu nangkring dengan anteng di motor Genta.
"Gue tunggu di luar aja, ya?"
Bola mata Karen bergerak menatap wajah Genta dari pantulan kaca spion. Dia bisa melihat Genta masih belum memaafkan Emma. Karen sebenarnya juga tak berharap semua perbuatan ibunya dimaafkan. Karena bagaimanapun juga, Genta kehilangan ibu kandung di usianya yang masih sangat muda sebab tindakan Emma.
Karen putuskan untuk mengangguk dan mengatakan, "Kalau lo gak bisa antar, gue bisa minta ke Devan, kok."
"Devan katanya ada rapat OSIS, bareng sama guru-guru di sekolah. Dia udah bilang kemarin, kan?"
Ah, ya. Karen melupakannya. "Gue bisa naik bis."
"Gue masih bisa antar lo, tapi gue gak ikut masuk," ujar Genta. Dinyalakannya mesin Papa, lalu melajukan motor kesayangannya itu.
"Lo gak apa-apa, kan?" tanya Karen khawatir. Genta pasti teringat lagi kematian ibunya bila ia ikut ke kantor polisi untuk menemui Emma.
Pria itu hanya menggeleng. "Dendam gue memang masih ada, Ren. Tapi, sedikit demi sedikit bakalan terkikis dan akhirnya gak ada lagi."
Karen jadi teringat dengan perkataan Genta dua bulan lalu.
Sepertinya kau salah. Dendam itu bisa menguap kapan saja. Karena aku sudah menemukan penawarnya.
Sebenarnya, apa makna dari penawar yang dimaksud Genta?
***
Dua menit berselang diselimuti keheningan. Tak ada yang mau membuka mulut lebih dulu, padahal kedua orang itu sama-sama menampung rindu yang dalam. Karen menatap wajah kurus di hadapannya, baju tahanan tersebut bahkan terlihat kedodoran dan lusuh. Kulit keriput nampak jelas, rambut hitam yang dulu selalu diberi warna cokelat kini ditumbuhi garis putih bernama uban. Sementara Emma hanya mampu menunduk, tangannya saling meremas kuat. Ia tak bisa membalas tatapan sang putri.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dingin.
Karen menarik sudut bibirnya. "Apa kabar, Ma?"
"Kamu gak perlu mengunjungi Mama, gak ada gunanya." Emma tetap bertahan pada posisi kepalanya yang menunduk. Dia tak melihat bagaimana tatapan sayu dan pedih dilemparkan Karen.
"Karen tadi di sekolah dapat teman baru, kali ini cewek, Ma." Dia mulai bercerita. Karen tak bohong, ada seorang murid baru di kelasnya. Gadis itu menjadi teman sebangku Karen. "Orangnya periang, katanya dia pengin berteman sama Karen."
"Pergilah. Kamu gak perlu berkunjung ke sini lagi," usir Emma. Rasanya dia tak sanggup melihat Karen terus datang setiap minggu untuk bercerita panjang lebar. Hatinya seolah sesak mendengarkan.
"Gak mau." Karen menggeleng. Ia menyilangkan tangan di depan dada. "Karen bakalan terus ke sini, bahkan kalau perlu setiap hari sampai Mama bosan ngelihat wajah Karen. Yang jelas, Karen gak akan berhenti."
Emma mendongak menatap putrinya. "Kenapa?" Dia tak habis pikir dengan sifat Karen. Anak itu bisa saja membenci Emma karena perbuatannya selama ini. Karen pasti merasa kecewa, tapi kenapa justru dia terlihat baik-baik saja?
"Karen mau nunjukkin ke Mama, kalau Karen bisa hidup baik meski tanpa adanya Mama. Bukannya Mama pernah bilang, bahwa kita gak akan bisa bertahan hidup tanpa seorang teman? Karen gak sendirian lagi, Ma. Banyak orang yang sayang sama Karen dan selalu ada untuk Karen." Senyum lebar terpasang di wajah berkulit putih pucat itu. "Karen bakal buktikan bahwa Karen bisa hidup lebih baik lagi setelah apa yang terjadi selama ini. Karen mau buktikan ke Mama, bahwa Karen adalah anak yang hebat."
Dua orang itu saling menatap, Karen tersenyum tulus. Ia sebenarnya ingin memeluk sang ibu, tapi tak bisa. Seorang polisi datang, mengatakan bahwa jam kunjungan telah habis. Karen mengangguk, ia pamit pada Emma dan berjanji akan terus datang dengan keadaan baik-baik saja.
Setelah kepergian putrinya, Emma dikembalikan ke penjara. Dia duduk di pojok, tak menghiraukan tahanan lain yang sedang bergosip ria. Di dalam penjara atau di luar penjara pun, semua orang sama, seperti tak lengkap rasanya bila tak ada bahan gosip.
Emma meringkuk di pojokan, menekuk lutut, menenggelamkan kepalanya di sana. Bahunya bergetar. Apa yang telah dilakukannya selama ini? Kenapa Emma begitu bodoh? Bagaimana bisa ia tidak menyadari bahwa Karen akan lebih terluka dibandingkan semua orang?
Pasti putrinya sangat kecewa dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang pembunuh. Terlebih lagi Karen tak tahu apa-apa. Emma memang ibu yang buruk, dia tak pantas dipanggil dengan sebutan 'Mama' oleh Karen.
"Maaf," gumamnya lirih. Ia terus menangis hingga terisak. Dadanya sungguh terasa sesak. "Maafin Mama, Karen."
***
"Genta!" Pria yang sedang mengeluh panasnya matahari itu menoleh. Ia melihat Karen baru saja keluar dari kantor polisi dengan wajah cerah.
Hal ini yang membuat Genta mau untuk mengantar dan menunggui Karen di depan kantor polisi. Dia selalu melihat Karen keluar dengan bibir mengembang sempurna setelah menemui Emma, seolah merasa bahagia karena bisa melepas rindu.
"Gimana sama nyokap lo?"
Karen masih mempertahankan senyum. "Gue mau datang ke sini dua kali seminggu aja. Mama gak akan larang-larang lagi pasti."
Genta mengerutkan kening. "Emang boleh? Coba tanya dulu sama Om Rendi." Ia memakaikan helm di kepala Karen.
"Ah, ya. Udah lama gue gak lihat Om Rendi. Dia kemana, ya?"
"Udah, cepet naik!" perintah Genta. Dia menyalakan mesin motornya. "Gue denger dari Devan, katanya Om Rendi lagi ditugaskan di luar kota."
Karen hanya mengangguk sambil membulatkan mulut. Sebenarnya, ada hal yang mengganjal di pikiran Karen. Sempat terlintas saat ia bertemu dengan Emma tadi, namun ragu untuk ditanyakan. Bagaimanapun juga, ini bisa menyinggung Genta.
"Ta," panggilnya.
"Kenapa?" Tak biasanya Karen memanggil namanya lebih dulu untuk berbicara.
"Gue penasaran sama hal ini, tapi takut nantinya bikin lo tersinggung," ujar Karen. Dia melihat kening Genta terlipat bingung.
"Kalau gitu, jangan tanyakan."
"Kenapa lo gak mau balas dendam lagi ke Mama? Atau lo bisa lanjut balas dendam ke gue." Genta menghela napas, sepertinya Karen memang bukan tipe gadis peka. Jangankan peka, jadi tuan rumah yang baik aja boro-boro. "Lo pernah bilang dendam itu bakalan lenyap karena lo udah nemu penawarnya. Apa maksud lo?"
"Ren, gue lagi nyetir, loh," tegur Genta. Dia tak mau tiba-tiba oleng karena pertanyaan sakral yang diajukan Karen. Jantungnya saja sudah berdegup kencang tak karuan seperti menunggu hasil ujian nasional. Meski sebenarnya Genta tak pernah peduli pada nilai ujian, sih.
Karen menahan senyumnya. "Penawar itu maksudnya gue, kan? Lo suka sama gue, Ta?"
Nah, kan. Genta terpaksa menghentikan motor, menetralkan detak jantung yang menggila. Untung saja lampu lalu lintas di depan sana memang berwarna merah.
"Kelihatan banget ya, Ren?" tanya pria itu malu. Dia merutuki tindakannya yang selalu terbaca jelas ketika menyukai seseorang.
Satu bulan yang lalu bahkan Devan sudah tahu sejak awal perihal perasaannya. Devan mengatakan dengan santai, katanya sekali lihat dari muka bisa langsung tahu. Karen pasti juga akan menyadarinya tak lama lagi. Wajahnya memerah sampai telinga, panas matahari seolah menambah kesialan Genta.
Karen terlihat melebarkan mata. "Eh, beneran ternyata. Padahal tadi gue asal tebak."
Tolong, tenggelamkan Genta sekarang!
—TAMAT—
***
Yeay, tamat!
Huhu, alhamdulillah bisa namatin cerita ketiga aku. Terharu banget ternyata bisa nulis satu hari satu part. Terimakasih buat pembaca cerita ini, sayang kalian banyak-banyak. Muach :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro