Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3

2020.10.03 [00.01]

GOODBYE
by Inas Sya

"Gue bakal bantuin lo membersihkan nama dari tuduhan itu."

Now playing | So Am I — Ava Max

***

Karen menarik tangannya. Ia menerobos masuk kelas begitu saja, menghiraukan keberadaan Genta. Tak ada siapa pun di dalam, murid lain pasti telah pulang. Karen menghampiri tas gendongnya yang terduduk anteng di kursi belakang paling pojok.

"Lo pindahan lewat jalur beasiswa, kan?" Genta masih berdiri di ambang pintu. Bahkan ia menyandarkan punggung, bersidekap dada. Kepalanya menunduk, memerhatikan gerak-gerik gadis yang berstatus sama sepertinya, murid baru.

Karen tak mengerti mengapa pria itu bersikap sok kenal dengannya. Selama empat tahun terakhir ini, Karen nyaris tak memiliki seorang teman. Berinteraksi dengan sesama pun jarang dilakukannya. Banyak orang tak suka dengan Karen, entah itu karena ekspresi tidak bersahabatnya atau kulit putih pucat yang membuat Karen terlihat seperti mayat hidup.

Mengerti bahwa sedari tadi dirinya diacuhkan, Genta melangkah masuk. Karen tahu Genta menghampirinya lalu berdiri tepat di depannya. Ia mendongak, menatap pria itu dengan bola mata hitamnya. "Gue juga sekelas sama lo."

Terus?

Genta menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Mungkin dia canggung berada di posisi bersama seorang gadis dingin seperti Karen. Jika ia merasa canggung, mengapa harus repot-repot menanyai Karen?

"Ini hari pertama kita berdua sebagai murid baru, tapi justru ada kasus pembunuhan di sekolah ini." Dia tertawa meski tak ada yang lucu. Tawanya bahkan terdengar keras, mengisi kesunyian di dalam ruang kelas itu.

Bibir Genta yang terbuka lebar langsung mengatup saat ia sadar kalimat yang dianggapnya lelucon ternyata tak lebih dari kalimat biasa. Genta berdehem, lalu mengalihkan tatapannya ke arah lain. Karen menggendong tas miliknya, lantas bergegas pergi melalui Genta.

"Lo saksi pertama yang menemukan korban itu, kan?" tanya Genta serius. Matanya bergerak memeriksa bagaimana reaksi Karen.

Langkah kaki Karen terhenti mendengar pertanyaan Genta. Ia menguatkan genggaman tangannya pada pegangan tas. Meski matahari belum berada tepat di atas kepala, Karen merasa ia telah mengalami banyak hal hari ini.

"Gue denger dari obrolan dua cewek di depan kelas tadi," lanjut Genta berujar.

Karen membalikkan badan, menatap murid baru yang sekelas dengannya itu. "Iya, gue saksinya."

"Lo juga dituduh sama anak-anak yang lain, kan? Gue udah masuk grup angkatan, banyak yang bilang anak-anak curiga sama murid baru. Terlebih lagi murid baru itu adalah orang pertama yang menemukan korban," tukas Genta. Karen sempat melihat senyum miring terbit di bibir pria berkulit putih itu. Hal tersebut membuat Karen mengerutkan keningnya.

"Kenapa? Lo mau curiga sama gue juga?" sahut Karen datar.

Genta menggeleng. "Gak. Gue sama sekali gak curiga sama lo." Ia tertawa lalu mengibaskan tangannya. "Mereka semua yang nuduh lo itu aneh. Lagian gak mungkin seorang cewek bisa membunuh cowok kayak gitu."

Pria itu menghentikan ucapannya sebelum kembali melanjutkan, "kecuali kalau lo emang psikopat."

Karen menatap Genta curiga. "Sebenernya lo mau apa?" Matanya menyipit samar. Rasanya aneh bila Genta tiba-tiba mengajaknya berbicara seperti ini, padahal mereka tak pernah saling kenal. Bahkan keduanya baru pertama kali bertemu.

"Gue?" Genta terkekeh. Ia lalu menundukkan kepala. "Entahlah," ujarnya lirih.

Genta mendongak, menatap tepat ke mata Karen dan mengatakan, "Gue bakal bantuin lo membersihkan nama dari tuduhan itu."

Karen terdiam mendengarkan ucapan Genta. Ia terkejut, tentu saja. Bahkan Devan yang masih setia berdiri di luar kelas XI MIPA 1 juga terkejut mendengarnya. Ketua OSIS itu mengamati keduanya sejak tadi. Tubuh setinggi 183 cm miliknya membuat Devan bisa melihat interaksi Karen dan Genta. Ia juga mendengar percakapan mereka, terlebih lagi suasana di deretan kelas dua itu telah sepi senyap.

Dia murid baru juga, kan?

Devan tahu pasti, hari ini sekolahnya kedatangan dua murid baru. Yang pertama adalah Karen, pindahan dari jalur beasiswa. Sedangkan yang kedua seorang laki-laki, pindahan dari salah satu sekolah terkenal di Jakarta. Devan tak tahu alasannya pindah. Ia juga tak tahu siapa namanya.

Kenapa dia mau bantu cewek itu?

"Gak perlu," ujar Karen. Ia tak mau terlibat lebih jauh lagi. Cukup dirinya menjadi orang pertama yang menemukan korban dan bunga daisy yang membuatnya penasaran dalam sekali lihat. Lalu, tuduhan dari anak-anak pasti akan segera menguap seiring berjalannya waktu. Karen yakin itu, ia tak perlu memusingkannya.

"Eh, lo—" Karen tak menanggapi Genta. Ia berbalik, berniat untuk pulang. Meski tak ada hal menarik yang bisa Karen lakukan di rumah, setidaknya ia tak menghabiskan banyak waktu hanya untuk mendengarkan ocehan dari pria yang baru saja dilihatnya itu.

Genta menatap kepergian Karen. Ia mengusap rambut kecokelatan miliknya. Ini rambut asli, bukan hasil semiran. Terkutuklah bagi siapa saja yang berburuk sangka pada Genta. Rambut cokelat adalah pesona utama seorang Genta. Ia sangat protektif terhadap hal itu.

Gerakan tangan Genta terhenti saat melihat Karen berdiri diam di ambang pintu. Ia melihat gadis itu menunduk, lalu mengambil sesuatu.

Kening Karen terlipat samar, langkahnya berhenti sebelum berhasil keluar kelas. Tatapannya terarah pada sebuah amplop kecil berwarna putih yang berada di bawah pintu. Gadis itu hendak membuang benda yang dianggapnya sampah, namun niat Karen urung saat melihat corak bunga di bagian atas amplop.

Tangannya langsung bergerak cekatan membukanya, ia menemukan secarik kertas lusuh berisi tulisan cetak. Karen membacanya, bahkan dia tak sadar Genta sudah berpindah posisi berdiri di belakang dengan bibir komat-kamit membaca isi surat tersebut.

Sudah menerima hadiah dariku? Dengarlah, jangan bersedih terlalu lama. Kau tahu? Dirimu adalah daisy untukku, kecantikan yang wajib aku jaga. Aku akan memberikan banyak hadiah padamu ke depannya. Berbahagialah dengan itu, my dear.

"Apa ini?" gumam Karen tak mengerti. Ia tak bisa mengontrol keterkejutan yang merasuk masuk ke dalam dirinya. Bahkan tangan Karen gemetar, dia menjatuhkan surat anonim tersebut.

Genta melihat bagaimana reaksi Karen, kentara sekali gadis itu sedang kebingungan dengan surat yang ditemukannya. Genta membungkuk, mengambil surat yang dijatuhkan Karen.

"Masih gak mau nerima tawaran gue?" Dia mengulurkan tangannya, memberikan surat tersebut pada Karen.

"Siapa lo sebenernya?" tanya Karen, tak tahan dengan sikap aneh Genta.

"Gue murid baru di sini." Pria itu menjawabnya dengan santai.

"Kenapa lo bilang mau bantu gue?"

Genta mengangkat kedua bahunya. "Tanpa alasan." Ia tersenyum. "Jadi, gimana? Lo mau nerima tawaran gue, kan? Nama lo Karenina Daisy, surat ini seakan menyiratkan nama lo itu. Artinya, ini memang diperuntukkan buat lo. Beneran gak butuh bantuan gue?"

Karen melengos. Ia benar-benar tak mau terlibat dengan kasus ini. Sebagian dari dirinya menyangkal bahwa surat anonim tersebut bukan ditujukan padanya. Tapi, Karen tak bisa menyanggah namanya tersirat di kertas itu.

Daisy.

Daisy yang dimaksud itu ... maknanya ditujukan buat gue, kan?

Tapi, kenapa?

Melihat Karen yang hanya diam membisu membuat Genta berdecak. Ia mengangguk-anggukkan kepala. "Oke. Lo mungkin masih perlu waktu buat—"

"Lo bisa bantu gue," potong Karen. Dia beralih menatap Genta. "Bantu gue cari tahu siapa yang ngirim surat itu."

Karen terpaksa harus menerima tawaran Genta. Ia memang tak mudah percaya pada orang. Namun, sikap aneh Genta sejak pertama mereka bertemu membuatnya curiga. Maka dari itu, Karen perlu untuk memastikannya sendiri.

Genta tersenyum mendengarnya. Ia menarik tangan Karen, meletakkan surat anonim di sana. "Pilihan yang bagus."

"Gue ikut kalian."

Kedua murid baru itu menolehkan kepala, menatap seorang pria berseragam OSIS rapi dengan tubuh tinggi semampai. Devan berjalan menghampiri keduanya. Ia menatap Genta, lalu melirik name-tag yang terpasang di bajunya. Tatapannya beralih pada Karen, terutama surat anonim yang baru saja gadis itu terima.

"Gue ikut kalian cari tahu siapa pelakunya."

"Siapa lo?" tanya Genta tak kenal.

"Gue Ketua OSIS di sini, Devan. Gue gak bisa tinggal diam lihat salah satu temen sekolah gue dibunuh dan pelakunya entah siapa. Polisi yang ditugaskan menangani kasus ini adalah paman gue sendiri." Cara Devan berbicara terdengar penuh wibawa, pantas saja terpilih menjadi Ketua OSIS.

Genta tersenyum lebar, lantas merangkul erat pria itu—sampai Devan mengaduh, layaknya seorang sahabat yang telah lama tak bertemu. "Lo diterima gabung di sini." Ia mengalihkan tatapan pada Karen yang hanya menatap mereka datar. "Bener, kan, Ren?"

Ren?

Rasanya ini seperti kali pertama Karen mendengar ada orang yang memanggil namanya. Ia sudah lama tak mendengar panggilan itu.

Untuk menanggapi pertanyaan Genta, Karen hanya menganggukkan kepala. Tanda bahwa ia setuju Devan bergabung bersama mereka.

***

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro