Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 29

2020.10.29 [17.30]

Besok tamat, yeay!

Ada yang mau disampaikan tentang cerita ini? Aku butuh kesan kalian setelah membaca Goodbye.

So, ceritanya gimana?

GOODBYE
by Inas Sya

"Bukan tentang menang dan kalah. Tapi tantangan untuk bisa merenungi semua salah."

Now playing | Lee Suhyun – In Your Time

***

Beberapa jam sebelum kecelakaan Emma.

"Ma, tidak bisakah Mama hadir di hari kelulusan Karen?" tanya gadis berumur lima belas tahun itu, diarahkannya sendok berisi nasi goreng ke mulut, lalu melahap habis.

Emma duduk di depannya, sibuk dengan ponsel. Bahkan baju rumahan yang biasa ia pakai kini telah berganti dengan gaun formal. Wajahnya juga dirias, membuat wanita berumur tiga puluh delapan tahun itu tampak lebih muda.

"Mama ada urusan, Sayang. Nanti Mama usahakan datang sebelum acaramu selesai. Oke?" Dia memasukkan ponsel ke dalam tas mahalnya. Dilihatnya sang putri dengan tatapan penuh cinta, senyumnya mengembang sempurna.

"Memang urusan apa, Ma?" Karen meletakkan sendok di piringnya yang telah tandas, tak menyisakan apapun.

Tak biasanya Emma sesibuk ini. Bukan apa, hari ini Karen lulus dari sekolah menengah pertama dan akan melanjutkan ke jenjang yang paling disukai para pelajar, yaitu bersekolah dengan mengenakan seragam putih abu-abu. Katanya, sekolah menengah atas adalah masa yang paling ditunggu semua orang. Entah benar atau tidak.

Emma menggeleng, senyumnya masih bertahan. "Kamu tidak perlu tahu. Mama pasti pulang secepatnya, kok."

"Beneran, ya?" ucap Karen tak percaya. "Karen gak mau jadi kayak orang hilang di acara sendiri. Semua keluarga teman sekolah Karen pasti datang dan mengucapkan selamat."

"Iya, nanti Mama pasti datang." Karen tersenyum mendengar itu. Setidaknya, bila ia tak pernah punya teman selama sekolah, dia bisa menunjukkan bahwa dirinya tak sendirian. Karen memiliki Emma selama ini.

"Sebenarnya, apa urusan Mama? Karen benar-benar gak boleh tahu urusan ibu sendiri?" tanyanya. Dia selalu penasaran dengan apa yang dilakukan sang ibu akhir-akhir ini.

Emma menunduk, dapat Karen lihat bibir itu tersungging ke atas. "Ada urusan masa lalu yang harus Mama selesaikan nanti. Berharap saja Mama tidak akan mengubah keputusan yang telah disusun bertahun-tahun ini. Demi kebahagiaan kita, dan masa depan kita nantinya."

Karen hanya mengangguk saja, tak terlalu tertarik. Yang penting, Emma bisa menghadiri acara kelulusannya.

Namun, harapan Karen langsung pupus sudah begitu mendengar kabar kecelakaan ibunya. Apalagi ditambah fakta bahwa tak ditemukan jejak Emma di lokasi kejadian. Tanpa Karen tahu, keputusan yang diambil Emma adalah untuk membalaskan dendam masa lalu. Menghancurkan karir ayah kandungnya, mengawasi setiap pergerakan Arnold agar tak ada wanita lain yang mendekati pria itu. Obsesi Emma bertambah besar hingga tak bisa dikontrol lagi, dia seakan mengerahkan semua alur kehidupannya untuk membalas Arnold.

"Mama!" Karen menjerit keras, matanya melotot sempurna. Ia langsung berlari ke arah Emma begitu Rendi melepas tembakan hingga mampu membuat wanita itu jatuh dengan luka di kakinya.

Emma meringis menahan nyeri setelah peluru menembus kaki kanannya. Arnold yang terkejut juga refleks jongkok, meraih pundak Emma. Genta tak tinggal diam, diambilnya pistol dari tangan Emma dan membuangnya ke sembarang arah. Dia bisa saja langsung menembak kepala orang yang telah membunuh ibu kandungnya dengan keji saat ini, namun Genta tak akan melakukannya. Sepertinya ia telah mengubah keputusan. Memang dendam yang dia simpan selama sepuluh tahun terakhir tak bisa menguap hanya dalam hitungan menit, tapi Genta yakin keputusan yang telah diubahnya pasti benar.

Rendi bergegas mendekati pelaku pembunuhan yang ia cari selama ini. Dia mengambil tangan Emma, memborgolnya. "Claretta Emma, Anda ditangkap karena kasus pembunuhan Mentari, Nizaro Maheswara, dan Aldian Gandara. Serta percobaan pembunuhan terhadap Brian Adhyasta dan Gentala Aldrich."

Emma tak melawan, dia menatap Arnold dengan mata memerah. Lalu beralihlah tatapannya pada sang putri yang terlihat kecewa. Pipi Karen lembab, basah akan air mata yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Emma hanya mampu menunduk, seolah tak bisa membalas tatapan Karen. Namun detik berikutnya, ia menengadah dengan pandangan menuju ke arah Genta, bibirnya tersungging tipis.

"Aku tahu kau pasti memiliki dendam setelah aku membunuh ibumu. Kau sudah menyimpannya selama sepuluh tahun, pasti itu terasa seperti siksaan bagimu. Benar, kan?" Mereka tak tahu lagi apa tujuan dari perkataan Emma. "Dendam tidak akan lenyap sebelum kau membalaskannya. Jika dibiarkan terus menerus, maka akan menumpuk hingga akhirnya bertambah besar sampai kau tidak mampu menahan lagi."

"Apa maksudmu?" tanya Genta tak mengerti.

"Balaslah sekarang, aku tidak akan melawanmu. Atau kau mau tetap membiarkan hingga suatu saat nanti dendam itu menguasai dirimu?" Emma melebarkan senyum. "Keputusan ada di tanganmu, Genta."

"Mama!" tegur Karen. Emma tak menghiraukan putrinya. Sekarang Karen seolah melihat Emma seperti psikopat. Dia menutup mulut tak percaya, mengalihkan pandangan ke arah Genta. Apa yang akan pria itu lakukan?

Genta tersenyum miring. "Sepertinya kau salah. Dendam itu bisa menguap kapan saja." Dia menoleh ke samping, membalas tatapan Karen, lalu melanjutkan, "Karena aku sudah menemukan penawarnya."

Ditatapnya kedua mata yang memerah itu, Karen membeku beberapa saat. Jantungnya berdegup kencang. Ia kira Genta telah memanfaatkannya selama ini untuk bertemu dengan Emma, dengan tujuan membalaskan dendam akibar kematian Mentari sepuluh tahun silam. Lalu ketika Genta berada pada situasi di mana ia mendapatkan kesempatan untuk membalas semua perbuatan buruk ibunya, mengapa pria itu justru menyia-nyiakan kesempatan tersebut?

Karen memang tak berharap Genta menyakiti Emma. Bagaimanapun, Emma adalah ibu kandungnya, orang yang sangat ia sayangi. Walaupun kecewa dengan apa yang dilakukan Emma, dia tak bisa menyaksikan wanita itu tersakiti. Meski tadi dirinya sempat tersulut amarah hingga hampir menusuk sang ibu begitu mengetahui bahwa Emma adalah pelaku di balik semua ini.

Rendi memberi kode pada polisi wanita yang ikut dengannya kemari untuk menggiring Emma keluar. Karen mengalihkan pandangannya pada sang ibu, tampak jelas guratan rasa kecewa dan sedih menghiasi binar matanya yang kian meredup layu. Melihat bagaimana Emma dibawa polisi dengan luka tembak yang mengenai kakinya itu bukan hal yang menyenangkan bagi Karen.

Devan bergegas menghampiri Genta, memegang bahunya hingga membuat tatapan Genta teralihkan. "Lo gila?" teriak Devan. "Abis ini, ceritakan semuanya ke gue."

Genta melepaskan tangan Devan. "Ceritanya panjang, Van. Bisa jadi novel."

"Mana kotak P3K? Tangan lo udah gemetaran gitu kayak mau kehabisan darah." Ia melirik ke bawah, menatap ngeri pada luka akibat goresan pisau di telapak tangan itu.

Genta tak menjawab, dilihatnya kembali kondisi kacau Karen. Ia juga melihat dari sudut matanya, Arnold berjalan mendekati gadis itu dengan kepala menunduk. Genta tampak tak tertarik, namun tak menyangka bila Arnold akan berlutut di hadapan Karen.

Karen tak menghiraukan apa yang dilakukan Arnold. Harus ia panggil apa? Ayah? Atau Pak Kepala Sekolah? Ah, atau mungkin mantan tunangan ibunya? Entahlah, Karen sedang tak berniat untuk memikirkan hal itu.

"Maaf," lirih Arnold. Bahunya bergetar, rasanya memang memalukan bila harus menangis di hadapan tiga anak remaja yang merupakan pelajar di sekolahnya. Namun, Arnold tak mempermasalahkan. Dia pantas menerimanya. Bila saja malam setelah pertunangannya dengan Emma tidak ada acara mabuk-mabukkan, semua ini tak akan pernah terjadi.

"Maaf." Arnold makin menundukkan kepala. Devan melirik ke arah Karen, dia juga tak menyangka orang yang selalu dihormatinya sebagai kepala sekolah ternyata memiliki hubungan masa lalu dengan pelaku. Bahkan, beliau adalah ayah kandung Karen yang tak pernah diketahui siapapun kecuali Emma sendiri.

"Aku benar-benar tidak tahu," ujar Arnold, intonasinya makin rendah. "Aku tidak tahu telah memiliki anak selama ini." Ia tidak sedang membuat alasan, memang dirinya tak pernah mengetahui bahwa Emma akan mengandung anaknya setelah malam itu.

"Berdirilah." Karen membuka mulut. Namun, tatapannya masih tak lepas dari pintu rumah Genta yang terbuka lebar. Mobil yang membawa Emma telah pergi beberapa saat lalu. Dia lalu mengalihkan pandangan pada Arnold. "Tidak ada yang perlu dimaafkan di sini. Saya harap, tidak akan ada hal lain lagi yang melibatkan saya dengan Anda. Anggap saja kelahiran saya tidak pernah terjadi."

***

To be continued....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro