Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 27

2020.10.27 [21.20]

GOODBYE
by Inas Sya

"Kemarahan dan dendam tak akan membuatmu lega, justru menjadikan dirimu mirip dengannya. Itukah yang kau mau?"

Now playing | Done For Me – Punch

***

"Itu untuk kita, Karen. Untukmu, dan untuk Mama. Untuk kebahagiaan kita di masa depan." Emma berjalan mendekat ke arah putrinya. Ia memeluk Karen, memejamkan mata melepas rindu setelah 2 tahun lamanya menghilang dan tak pernah bertemu. Meski sebenarnya Emma selalu mengawasi Karen di manapun gadis itu berada.

Tangan Karen menggantung di samping tubuh, air mata tak bisa ia cegah untuk menumpuk di pelupuk hingga akhirnya mencapai pipi dan terjatuh. Ia mengepalkan tangan, kepalanya dipenuhi banyak pikiran.

"Kamu tidak mau membalas pelukan Mama?" tanya Emma berbisik. Ia mengeratkan dekapan, bahkan sampai membuat Karen sesak. "Jadilah seorang putri yang baik, Nak. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, kamu akan mirip seperti Mama, bukan orang lain. Selalu ingat hal itu."

Karen melepas pelukan itu, rasanya pelik. Ia menatap sang ibu tak percaya. Bisa-bisanya Emma mengatakan hal yang membuatnya tak habis pikir. Bagaimana bisa Emma berubah drastis seperti ini? Bahkan Karen nyaris tak percaya bahwa ibu yang selama ini ia kenal tengah berdiri di hadapannya.

"Kenapa Mama lakuin semua ini?" tanyanya lirih. Ia menunjuk Genta lalu mengatakan, "Apa hubungannya sama Genta?"

Emma mengikuti arah pandang Karen, menatap Genta dengan tersenyum miring. Sementara pria itu hanya mampu mengepalkan tangan. Bukannya tak berdaya, ia bisa saja langsung menghajarnya sampai mati meski tahu bahwa Emma seorang wanita. Namun, Genta tak akan melakukannya. Dia benar-benar tak bisa, ada yang menahan amarah Genta dari tadi, mencoba untuk tak melampiaskan semua dendam di hatinya pada Emma.

"Genta?" Emma terkekeh kecil. Ia beralih menatap Karen. "Kamu tahu nama panjangnya, kan? Gentala Aldrich. Kamu tidak tahu siapa dia sebenarnya? Mama beri tahu, Genta bukan orang baik-baik. Bahkan selama ini dia tahu Mama pelakunya tapi tak pernah mengatakan apapun. Kamu tertipu dengan semua yang dia lakukan, Karen. Dia selicik itu. Seperti yang tadi aku katakan, buah jatuh tak jauh dari pohonnya."

"Maksud Mama?" tanya Karen tak mengerti. Pandangannya mengarah pada Genta yang balas menatap sayu.

"Dia sangat mirip dengan Mentari," ujar Emma tenang. Ia kembali melangkah mendekati Karen dan berbisik, "Ibunya yang meninggal karena dibunuh."

Karen menatap Emma dengan mata melebar. Degup jantungnya bertambah cepat, menghadirkan sensasi tegang di dalam dirinya. "B—bagaimana Mama bisa tahu ibunya meninggal karena dibunuh?"

Seulas senyum tipis terbit di bibir merah menyala itu. Dia hanya mengangkat bahunya seolah membiarkan Karen untuk menjawab sendiri pertanyaan yang diajukan.

"Apa mungkin—" Karen menggeleng-gelengkan kepala. Ia menepis pikiran buruk yang terus bersarang di kepalanya. "Gak, itu gak mungkin."

Genta mengalihkan tatapan ke arah pintu, berharap Rendi cepat sadar bahwa dirinya melakukan kesalahan dalam melangkah dan bergegas ke rumahnya. Ia tak tahu pasti kapan kesabaran ini akan terbakar hingga akhirnya tak mampu lagi menahan amarah, apalagi saat ini Emma membahas perihal kematian ibunya. Memang dendam di dalam hatinya masih belum terbalaskan, namun rasanya lebih sakit bila harus membayangkan bagaimana perasaan Karen apabila ia melukai ibunya. Melihat gadis itu menangis saja seolah membuat jantungnya tercabik hingga dadanya terasa nyeri.

"Yang kamu pikirkan benar, Karen. Mama yang membunuh Mentari." Emma berdecak. "Mama tidak tahan dengan niatnya merebut ayah kamu."

"Apa?"

Genta ikut menatap penasaran. Ia tak tahu apa motif yang dimiliki Emma hingga harus menghilangkan nyawa Mentari. Yang ia tahu, Emma dan Mentari dulunya adalah teman sekelas saat duduk di bangku SMA.

"Kamu masih ingat dengan apa yang Mama katakan dulu? Mama dan ayah kamu dekat dari kecil, dia satu-satunya teman Mama."

"Hei! Kenapa kalian jahat dengannya?" Seorang bocah laki-laki menghampiri gerombolan anak TK itu. Ia membantu gadis cilik yang menunduk ketakutan setelah dirisak. "Jangan nakal sama teman, apalagi dia perempuan. Kata Ibu, harus dilindungi."

"Teman? Dia bukan teman kami!" ujar seorang anak berbadan gembul. Pipinya seperti bakpao. "Kamu tidak lihat? Dia yang jahat! Lihat, tuh. Kami lihat dia bunuh kupu-kupu di sana. Bahkan dia senyum pas itu."

"Kemarin aku juga lihat dia siksa anak kucing," sahut yang lain.

Emma kecil hanya diam, dirisak seperti ini sudah menjadi kebiasaan baginya. Dia memang berasal dari keluarga berada, namun tak berarti apa-apa bagi semua anak kecil itu. Apalagi Emma tak pernah mengadukan mereka. Dia hanya mampu diam, tak merasa perduli meski perasaan yang sebenarnya ia rasakan sakit.

"Sudahlah, jangan beralasan. Kalau dia siksa mereka, kalian harus siksa balik, begitu? Kalian juga salah namanya. Gak boleh nakal sama orang lain, itu gak baik," ujar bocah yang tadi menolongnya. Emma melirik name-tag kecil di seragam TK itu, namanya Arnold Andromeda. Nama yang bagus.

Sejak saat itu, Emma selalu merasa dilindungi. Tak ada lagi yang berani merisaknya. Arnold selalu ada di sisi Emma, menjadi teman pertama bagi Emma sendiri. Ia senang bisa berteman dengan Arnold.

Tahun hingga tahun berlalu, Emma selalu mengikuti kemana pria itu melangkah. Ia satu SMP dengannya, bahkan meminta untuk satu kelas. Saat SMA, Emma juga melakukan hal yang sama. Ia sadar betul, perasaan sayang sebagai seorang teman yang dimilikinya telah pudar tak bersisa, berganti dengan rasa suka sebagai seorang gadis. Arnold teman pertama Emma, Arnold juga cinta pertamanya. Meski begitu, Emma tak pernah mengungkapkan apa yang dia rasakan selama ini. Ia tahu, Arnold pasti menyadari warna merah jambu yang selalu dipancarkan matanya.

Lalu akhirnya mereka satu kampus, meski berbeda jurusan. Di situ, Arnold mengatakan dirinya baru saja menembak seorang gadis, yaitu teman sekelas Emma waktu SMA, Mentari. Emma bisa melihat dengan jelas, Arnold begitu menyukai Mentari. Bahkan binar di matanya berbeda dengan binar yang selalu ia tampilkan saat bersama Emma. Meski rasanya telah patah berkeping-keping hingga tak mampu untuk menata lagi, Emma memutuskan untuk mencoba mengubur semua rasa yang memang sedari dulu selalu ia pendam.

Satu tahun berlalu, Emma sadar dirinya tak akan pernah bisa lepas dari Arnold. Seolah bayangan yang selalu mengikuti Emma adalah perasaannya sendiri, tak bisa dia tinggalkan dan akan selalu mengikuti. Emma tak kuat dengan apa yang dialaminya waktu itu. Pernah dirinya berniat melakukan aksi bunuh diri, namun diurungkannya begitu mendengar kabar bahwa Mentari dan Arnold putus.

Ya, Emma sebucin itu. Dibandingkan suka terhadap seorang pria, perasaannya hanya ilusi yang sebenarnya adalah obsesi. Emma tahu, ia tahu persis namun memilih untuk acuh. Mungkin hari di mana ia berniat untuk bunuh diri berubah menjadi hari paling mendebarkan bagi Emma begitu dirinya mendengar kandasnya hubungan mereka. Langsung saja Emma menuju rumah Arnold, berpikir untuk menenangkan pria itu namun justru pikiran jahatnya muncul.

"Ayo menikah saja!" Arnold terkejut mendengar ajakan Emma. "Bila nanti Mentari datang ke pertunangan kita, artinya dia gak berniat buat putusin kamu. Kamu bisa mengejarnya lagi."

"Bagaimana jika dia tidak datang?"

Emma tersenyum tipis. "Apa lagi memangnya? Kau akan tetap menikahiku."

Arnold tak punya pilihan lain, pikirannya buntu. Dia bukan lagi menyukai Mentari, tapi mencintainya. Hingga akhirnya Arnold memutuskan untuk menyetujui Emma. Mereka mempersiapkan semuanya, hingga undangan pertunangan disampaikan ke Mentari.

Saat hari itu tiba, Emma merasa seperti wanita paling bahagia di dunia. Dia seolah melihat impian yang selalu diidam-idamkan olehnya benar-benar terwujud nyata. Dikaitkannya tangan Emma pada lengan Arnold, merangkul mesra. Namun, senyuman Emma luntur begitu melihat kedatangan Mentari. Arnold langsung melepas tangannya, menatap dirinya dengan raut bahagia yang kentara. Tentu saja hati Emma terasa mencelos hingga seolah jatuh tepat ke dasar bumi. Apalagi saat dilihatnya Mentari hadir seorang diri tanpa gandengan, yang menandakan wanita itu belum punya pasangan.

Di malam setelah pertunangan mereka, Arnold mabuk berat bersama teman sesama pria. Katanya untuk merayakan pertunangan dengannya, namun ia tahu bagi Arnold hanya untuk merayakan kedatangan Mentari di acara mereka. Tangannya terkepal kuat, menahan kepingan yang terasa remuk di dada.

Emma terdiam, kini matanya menatap Genta dengan air mata yang siap menetes. Dia tertawa, menengadah untuk mengusap bulir air yang turun tanpa izin.

"Apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Genta penasaran. Dia memandang Emma dengan pandangan mendesak untuk melanjutkan kisah di antara wanita itu dan ibunya.

"Kau pikir apa yang dia perbuat setelah mabuk berat seperti itu?" tanya Emma, tersenyum miring setelahnya. Dia beralih menatap Karen lalu mengatakan, "Malam itu adalah anugerah sekaligus kutukan yang dikirim langsung oleh Tuhan. Dia membuatku mengandung Karen."

Karen menatap ibunya tak percaya. "A—pa? Gak, itu gak mungkin."

"Mama tidak pernah berbohong padamu, Karen," ujar Emma. Dia menggenggam jemari sang putri. "Kamu adalah anugerah yang Mama dapat malam itu. Sementara perbuatan ayah kamu adalah kutukan bagi Mama."

Karen memundurkan langkah. Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Lalu, bagaimana selanjutnya?"

Emma memandang dua garis samar pada testpack yang ia pegang. Senyum tipis terulas di bibirnya. Baru saja berniat untuk membagi kabar tentang kehamilannya pada Arnold, ia terdiam di balik pintu begitu mendengar apa yang dibicarakan Arnold dan keluarganya.

"Saya akan membatalkan pernikahan dengan Emma," ujar pria itu.

"Apa alasannya? Kenapa begitu mendadak?" tanya ayah Emma, di sampingnya ada sang ibu yang menutup mulut tak percaya.

"Saya menyukai wanita lain, Om, Tante. Rasanya tidak baik bila menikah dengan orang yang tidak kita cintai. Saya tidak mau Emma terluka. Lagi pula, Emma sudah setuju dengan saya sebelumnya," jelas Arnold. Emma mengepalkan tangan. Tatapannya meredup, berkaca-kaca hingga akhirnya menghadirkan bulir air mata.

Kapan ia setuju dengan keputusan Arnold? Apa hanya karena kesepakatan yang mereka buat sebelum bertunangan? Mengapa Arnold melakukan semua ini padanya? Dia tak tahu saja bahwa Emma merasa sangat terpukul.

Dia mengarahkan tangan memegang perutnya yang rata, ada nyawa lain di dalam tubuhnya. Emma tidak akan pernah mau menggugurkan kandungan itu, namun ia tak bisa menolak apa yang menjadi keputusan Arnold. Emma juga tak bisa mengatakan kebenarannya. Dia kalut, hingga tak bisa berpikir dengan baik.

Emma memutuskan untuk mengandung tanpa seorang suami. Bahkan ketika keluarga besar tahu tentang hal itu, ia pasrah diusir dan hidup sederhana. Kakak perempuannya datang, mengulurkan bantuan dan memberikan sebuah rumah mewah tua jauh dari tempat keluarganya berada. Emma hidup sendirian di sana, lalu lahirlah Karen ke dunia. Dia memberi nama Karenina Daisy, yang akan terus mengingatkannya pada Arnold.

Hari berganti hari, hingga akhirnya tujuh tahun berlalu bersamaan dengan dendam di hati Emma yang kian membesar. Dia tak akan pernah melupakan Arnold dan Mentari, wanita yang pernah merebut Arnold darinya dua kali. Emma selalu mengawasi Arnold, tak akan membiarkan pria itu menikah dengan wanita lain. Persetan dengan obsesinya yang bertambah parah. Tak ada kabar bahwa Arnold akan menikah, hingga Emma tahu kenyataan Mentari baru saja cerai dengan suaminya.

Dia teringat hari pertunangan dirinya dan Arnold. Saat itu, Mentari rupanya datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Dia telah menikah, bahkan mengandung beberapa bulan. Emma tahu Arnold hancur, dan dia kini tak lagi mau berada di sampingnya. Begitu tujuh tahun, Mentari dikabarkan cerai dengan sang suami dan hak asuh putranya ada di tangan Mentari sendiri. Emma juga tahu Arnold kembali mengejar Mentari begitu mendapat peluang di depan mata. Ia tersenyum miring, sepertinya bukan hanya dirinya yang terobsesi.

Emma gelap mata, dia tak akan pernah membiarkan Arnold hidup dengan wanita lain sementara dirinya sendirian bersama putri yang merupakan darah daging Arnold. Dia menyusun rencana sampai akhirnya datang ke rumah Mentari dan membunuh wanita itu. Ketika kejadian, Emma sama sekali tak mengingat anak yang dulu dikandung Mentari. Harusnya, anak itu seusia dengan putrinya.

Tanpa Emma tahu bahwa Genta adalah anak kandung Mentari selama ini.

"Lalu kenapa semua ini terjadi setelah semua hal yang menimpa Bunda?" tanya Genta datar. Ia berteriak, "Kenapa kau melakukan semua itu, hah?!"

Emma terdiam, tampak sudut bibirnya naik. "Aku belum lega setelah membunuh ibumu. Karir pria itu harus hancur hingga akhirnya dia tak memiliki apapun."

Karen mengusap air matanya kasar, menatap Emma dengan mata memerah. "Karen gak nyangka Mama setega ini," lirihnya tersendat.

"Kenapa? Mama melakukan semuanya demi kamu, demi dendam dan kehidupanmu yang tidak sempurna," ujar Emma. Ia mengingat bagaimana dirinya dulu begitu kesakitan melihat putrinya terlahir tanpa seorang ayah. "Mama memutuskan untuk pergi setelah kecelakaan itu dan menjadi orang hilang. Mama membunuh orang terpenting bagi karir ayah kamu untuk membalaskan semuanya. Mama salah?"

Karen menggeleng, tak percaya ibunya bisa berkata seperti itu. Ia tak tahan lagi. Diambilnya pisau lipat yang tersimpan di tas selempangannya. Tangannya gemetar, namun Emma seolah tak takut melihat apa yang akan dilakukan Karen. Dia justru tersenyum.

Karen menjerit, mengarahkan pisau itu. Namun, Genta menahannya. Tak memedulikan rasa perih beserta darah yang perlahan merembes keluar dari telapak tangan, ia tersenyum menatap Karen. Kepalanya menggeleng, seolah mengatakan bahwa apa yang Karen lakukan salah.

"Jangan jadi orang jahat, Ren."

***

To be continued....

Part terbanyak 😭

Gimana-gimana? Aku pusing nulis ini :(

Next? Tunggu besok^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro