Part 26
2020.10.26 [22.10]
GOODBYE
by Inas Sya
"Selangkah lagi menuju kematian."
Now playing | In Silence - Janett Suhh
***
Rendi tiba di pertigaan sebelum memasuki kediaman milik kakaknya. Ia turun dari mobil, bersama lima rekan dari kepolisian yang dibawanya. Diliriknya rumah berjarak 20 meter itu, rupanya lampu masih menyala padahal hari sudah tengah malam.
Ia memberikan kode pada dua rekan, menyuruhnya maju sembari berjaga-jaga. Dikeluarkannya sebuah pistol, lalu mengikuti dengan mengendap-endap. Dua lainnya juga turut ikut di belakang.
Begitu sampai di depan rumah Devan, Rendi mendobrak pintu yang ternyata tak dikunci. Hera berdiri di sana, menatap terkejut dengan tangan masih memegang cangkir berisi teh.
"Ngapain kamu, Ren?" tanyanya begitu tersadar. Tatapan Hera menatap penuh selidik pada empat orang bawahan adik iparnya.
"Devan mana?"
Telunjuk Hera mengarah ke belakang. "Dia lagi sama kakak kamu. Kami adain pesta barbeque di belakang rumah karena kakak kamu pulang lebih awal hari ini."
Orang-orang yang Rendi bawa saling menatap, lalu menurunkan pistol mereka saat dirasa mereka telah salah target. Rendi terdiam, mencerna semua ini. "Devan baik-baik aja, kan, Kak?" tanyanya pada Hera.
Dijawabnya dengan anggukan. "Dia baik. Malah baik banget pas tahu ayahnya gak lembur lagi. Memang kenapa?" Ia tahu, Rendi datang ke sini dengan membawa bawahan bukan untuk main tembak-tembakkan. Pasti ada hal buruk yang akan terjadi. "Apa hubungannya sama Devan, Ren?"
Rendi mengusap wajahnya. Ia kali ini salah target. Bukan Devan yang diincar Emma, tapi orang lain. Lantas, siapa?
"Pak, Bondan sudah datang," bisik Erga yang berdiri di belakangnya. "Dia ada di pertigaan tadi."
Rendi mengerutkan kening. Bondan dan satu bawahannya lagi sudah datang ke sini. Ia tadinya berpesan pada mereka untuk langsung ke lokasi dan meninggalkan Karen di tempat Genta.
Ya, Genta.
Polisi itu melupakan satu hal. Ia berdecak keras. Untuk apa Emma mengincar keponakannya bila anak dari salah satu korbannya di masa lalu yang sangat ia benci ada di depan mata?
Baru saja akan memberi perintah baru untuk lekas menuju rumah Genta, Devan datang sambil memanggil sang ibu. "Ma, kenapa lama-Loh, Paman?"
Devan menghampiri Rendi, menatap heran empat orang di belakang pria itu. "Ngapain ke sini bawa mereka?"
"Paman menemukan siapa pelakunya, Van. Tapi, gak ada waktu untuk menjelaskan. Sekarang Paman akan langsung ke rumah Genta. Apalagi di sana sudah ada Karen, Paman takut terjadi hal yang tidak kita inginkan," jelas Rendi. Ia menoleh ke belakang, mengangguk pada keempat bawahannya.
"Tunggu-tunggu!" Devan menghentikan kepergian Rendi. Ia masih bingung. "Kenapa Genta sama Karen? Ada apa sama mereka? Tolong, jelasin ini dulu, Paman."
Rendi menghela napas. "Kamu menerima pesan dari nomor tak dikenal saat Nizar dibunuh, kan?" tanyanya, membuat Devan terdiam.
Hera yang masih turut berdiri di situ, terbelalak mendengar ucapan adik iparnya. "Pesan?" Ia menoleh pada sang putra. "Pesan apa, Van?"
Devan sudah menyembunyikan pesan itu dari siapapun, dia bahkan hampir melupakannya. Bagaimana Rendi bisa tahu bahwa Devan menerima pesan yang sama dengan Nizar?
Ah, pamannya itu bisa tahu banyak hanya dengan satu perintah.
"Nanti Devan ceritakan, Ma." Ia beralih menatap Rendi. "Lalu apa hubungannya dengan Genta dan Karen?"
"Ini sulit dijelaskan sekarang. Yang jelas, pelaku memiliki motif kuat untuk menjadikan Genta korban selanjutnya." Perkataan Rendi menakutkan Devan. Dia tak percaya semua ini, sebenarnya siapa yang menjadi pelaku di balik semua kasus yang ada?
"Pertanyaan terakhir, Paman," ujar Devan. Dia menatap pria berumur 32 di hadapannya. "Siapa pelaku itu?"
Rendi bisa melihat raut wajah Devan yang penasaran dengan jawaban dari pertanyaannya. Memang harus begitu, lagipula siapa yang tahan ketika dirinya tahu bahwa ia akan menjadi target pembunuhan? Ia salut, Devan bisa menyembunyikan pesan di ponselnya dengan baik seolah tak terjadi apapun. Padahal Devan pasti merasa tertekan dengan semua itu, seolah-olah dirinya diawasi oleh kematian yang siap menjemput kapan saja. Tapi, ada perasaan marah di dalam hatinya begitu tahu Devan menyembunyikan semua ini. Seharusnya pria itu bilang saja dari awal. Biarkan hal itu dulu, Rendi bisa memarahi keponakannya nanti.
"Claretta Emma."
Devan mengerutkan kening. "Dia seorang perempuan?" tanyanya tak percaya. "Tapi, Devan gak kenal sama sekali."
Rendi hanya mengangguk lantas mengatakan, "Dia ibu kandung Karen."
"Apa?" Kini Devan tak bisa lagi mengontrol keterkejutannya. Ia membuka mulut tak percaya. Bagaimana bisa ibu Karen melakukan semua ini? Apa salah Nizar dan Aldian kepadanya? Lalu apa hubungannya dengan dirinya sendiri? Apa hubungannya dengan Genta? Dan mengapa ia mengirim pesan anonim pada putrinya sendiri?
Semua pertanyaan itu hanya mampu tertampung menumpuk di pikiran Devan. Mereka tak punya banyak waktu. "Paman harus pergi sekarang, Van. Nyawa kedua temanmu dalam bahaya."
Devan kembali menahan lengan Rendi. "Devan ikut ke sana!" ujarnya tegas.
***
Karen berjalan di pelataran rumah Genta. Ia melihat sekeliling, ternyata Genta tinggal di lingkungan yang cukup hijau, berbeda dengan rumahnya yang sering dijuluki rumah angker atau sarang hantu. Padahal Karen sendiri tak pernah melihat makhluk halus sejak ia terlahir di dunia.
Langkah kaki gadis itu terhenti di depan rumah Genta. Matanya menatap pada bunga daisy yang dibiarkan tergeletak di teras, seolah menyatakan bahwa ia ingin sendirian. Pintu rumah di depannya terbuka lebar. Karen membulatkan mata, lalu bergegas masuk. Perasaannya tak enak.
"Genta!" Ia menjerit begitu melihat Genta tengah berdiri di sudut ruangan dengan napas terputus-putus. Di lehernya, ada genggaman tangan seorang wanita berambut panjang.
Karen berlari menghampiri mereka. Genta terlihat tak melawan meski lehernya tercekik keras. Tangannya hanya mampu mengepal di samping tubuh, seakan-akan tak sanggup untuk mengeluarkan kekerasan dan membebaskan diri. Genta seperti pasrah dengan apa yang dilakukan Emma, tak mampu melawan. Ada apa dengan dirinya sebenarnya?
"M-mama?" Karen termundur. Ia terbeliak melihat wajah sang ibu menoleh ke arahnya dengan senyum tipis. Padahal orang yang sedang Emma cekik sedang dalam keadaan tak berdaya, tapi wanita itu masih bisa melengkungkan bibir.
Karen menggelengkan kepala berulang kali, itu pasti bukan ibunya. Emma tak seperti ini. Dia bukan Emma yang Karen kenal. Dia bukan ibunya, Karen yakin.
"Ini Mama, Nak." Bola mata Karen berkaca-kaca. Ia terus menggeleng, menyangkal apa yang dikatakan pikiran dan hatinya. Diarahkannya telapak tangan untuk membekap mulutnya sendiri, menahan tangis terkejut. Ia tak menyangka hari ini akan terjadi. Karen berharap ia cepat terbangun dari mimpi dan bisa melihat Genta tidak ada kaitannya dengan semua ini, berharap ibunya datang tanpa luka dan mereka hidup bahagia bersama.
"M-mama? Bukan, Anda bukan ibu saya." Karen berujar lirih. Genta melihat tangan Karen gemetar, tatapannya bahkan terasa kosong. Ia prihatin dengan gadis itu. Ingin sekali Genta melawan Emma dan memeluknya, namun sekali lagi tubuh Genta seolah tak berdaya. Hatinya kini mengambil alih, menyuruh Genta untuk tidak ambil tangan dengan melawan Emma. Perkataan Mentari seakan terus bergema di telinga Genta, memberi peringatan untuk tak menyakiti siapapun.
"Ini Mama, Karen," tegas Emma. Tatapannya beralih pada Genta. "Ini langkah terakhir Mama untuk bisa membalaskan semuanya. Dia akan segera menyusul Mentari."
Genta seolah kehabisan napas, wajahnya pucat. "J-jangan sakiti putrimu sendiri," ujarnya terputus-putus.
Emma mengerutkan kening, lantas tertawa. "Kenapa?" Ia menoleh pada Karen. "Aku akan hidup bahagia dengannya setelah kamu mati."
Karen masih terdiam menatap ibunya. Pipinya basah akan air mata, meski tak ada isakan yang terdengar. Ia berlari menghampiri mereka, melepaskan tangan Emma dari leher Genta.
"Kenapa harus Mama?!" teriaknya frustasi. "Kenapa Mama lakuin semua ini? Kenapa?!" Karen tak lagi merasa takut dirinya dianggap durhaka membentak orang tua. Ia kini menangis. Rasanya sakit, sakit sekali melihat Genta hanya diam dengan perlakuan Emma. Namun, lebih sakit rasanya mengetahui bahwa Emma memang dalang di balik semua kasus ini.
Genta terjatuh duduk, terbatuk dengan tangan menepuk-nepuk dada. Dihirupnya oksigen sebanyak yang ia bisa, Genta memejamkan mata sejenak untuk bisa menetralkan pernapasannya. Di mana Rendi? Mengapa polisi itu tidak datang?
Ia tahu Karen ke sini pasti karena suruhan Rendi. Lalu, apa yang dilakukannya?Mengapa kali ini polisi yang merupakan paman dari temannya itu melakukan kesalahan dalam mengambil langkah?
Ia menoleh ke samping, menatap Emma dan Karen yang berhadapan. Bisa ia lihat, kebencian di mata Karen bercampur dengan rasa sedih dan kecewa. Apa ini? Hatinya bahkan seolah ikut tergerus sakit hingga Genta harus memalingkan wajah karena tak tahan melihatnya.
"Kenapa Mama melakukannya?" tanya Emma penuh ketenangan, padahal tak lama sebelumnya ia hampir membunuh orang. "Itu untuk kita, Karen. Untukmu, dan untuk Mama. Untuk kebahagiaan kita di masa depan."
Karen menggeleng. Ia menghilangkan rasa percayanya pada Emma. Tidak, rasa percaya itu menguap dengan sendirinya.
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro