Part 23
2020.10.23 [18.59]
GOODBYE
by Inas Sya
"Jangan terpaku, hentikan langkah itu, berbalik dan berlari sejauh yang kau bisa. Peranmu di sini telah usai."
Now playing | Love is Gone — Slander ft. Dylan Matthew
***
"Ini bunga apa, Ma?" Di dalam kenangan masa lalunya, Karen masih berumur enam tahun. Ia menatap bingkai dengan foto lukisan satu tangkai bunga berkelopak besar warna putih.
Emma, sang ibu, mendekat dan menunduk, menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan Karen. Keduanya dihiasi raut wajah riang, seolah penuh cahaya meski kehidupan enam tahun terakhir hanya ada di antara keduanya saja.
"Itu bunga kesukaan Mama, daisy." Emma tersenyum, menatap penuh binar putri semata wayangnya.
"Daisy?" ulang Karen, tatapan polos yang ia tampilkan selalu membuat siapa saja gemas. Pipi chubby nan gembul yang terlampau putih untuk ukuran warna kulit itu membuatnya terlihat manis. "Sama kayak nama Karen, dong."
Emma tertawa renyah. Ia memeluk tubuh kecil itu dari belakang, matanya seakan ikut melengkung mengikuti garis bibir yang tak pernah pudar dalam senyumannya itu. "Iya, mirip sama nama kamu. Karena itulah Mama menyukainya."
"Begitukah? Karen tidak suka sama bunga daisy, dia nyontek nama Karen. Padahal nyontek itu gak baik."
Ucapan penuh keluguan khas seorang anak kecil membuat Emma lagi-lagi tertawa. Ia menyentuh ujung hidung putrinya. "Padahal Mama yang nyontek nama bunga itu buat dipakai di belakang nama Karen, loh."
Kelopak mata Karen mengerjap. Ia menampilkan cengirannya, tertawa setelah menyadari perkataan konyolnya tadi. "Jadi, Mama yang nyontek?"
Emma mengangguk tanpa ragu. "Kenapa emang? Mama gak boleh nyontek, hm? Karen mau hukum Mama, hm?"
Karen melebarkan senyum, ia mengangguk dua kali. Terlihat seperti mainan gantungan yang sering mengangguk-angguk di dalam mobil tanpa kenal lelah, lucu. "Karen mau hukum Mama karena Mama udah nyontek."
Emma mengangkat dagunya, seakan menantang Karen. "Mana coba? Mana hukuman buat Mama?"
"Mama tutup mata dulu," ujar Karen. Dia mengarahkan telapak tangannya ke depan mata Emma. Namun, karena tak bisa menutupi pandangan Emma, akhirnya Karen mengerahkan kedua telapak tangannya.
Sebuah kecupan mampir di pipi wanita berumur 29 tahun itu. Emma tersenyum, mencubit kedua pipi Karen karena gemas.
Prang!
Karen menoleh terkejut. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipi. Ditutupnya jendela kamar yang sedari tadi ia pandang. Lantas menarik gorden tak membiarkan cahaya bulan memasuki ruangan pribadinya.
Gadis berambut pendek itu mengeratkan sweater yang ia kenakan. Cuaca terasa sangat dingin, sangat cocok untuk bergelung di bawah selimut dan tertidur nyenyak menanti mimpi datang. Sayangnya tidak bagi Karen, dia harus tetap melek karena belum mengantuk meski jam di dinding hampir menunjukkan waktu tengah malam tiba.
Karen melangkahkan kaki mengitari kasur besar dengan ranjang kecil di bawahnya, terisi seekor anjing meringkuk. Bong-Bong terlelap dengan nyaman di sana. Karen mengeluarkan tangannya dari saku sweater, membungkuk sembari mengulurkan tangan untuk mengambil sebuah bingkai foto yang telah terjatuh.
Jemarinya mengusap bingkai tersebut, melihat seorang wanita bersama bocah perempuan tengah tersenyum lebar sembari mengacungkan jari peace. Karen mendudukkan diri di atas kursi depan meja belajarnya. Ia memandangi foto lama itu, mengenang momen bersama Emma bertahun-tahun yang lalu.
Tak dapat dipungkiri memang, Karen merindukan sosok sang ibu. Di manapun Emma berada, ia selalu berharap ibunya masih bernapas. Meski harapan Karen sangat kecil untuk dikabulkan, terlebih lagi dua tahun bukanlah waktu yang singkat.
Andai saja hari itu Karen berani untuk mencegah apa yang akan dilakukan ibunya, pasti kecelakaan itu tak akan pernah terjadi. Andai saja Karen memilih untuk egois, pasti ibunya sedang tidur di bawah atap yang sama dengannya saat ini. Semua itu mungkin menjadikan penyesalan tersendiri di hati Karen. Meski terbiasa hidup seorang diri sejak lahir, rasanya berbeda bila tak ada Emma. Bukan hanya sebagai seorang ibu, Karen juga menganggap Emma seperti sahabatnya.
Memang beberapa tahun terakhir sikap Emma berubah, terkadang ibunya menjadi lebih emosional. Mungkin pengaruh usia, atau Karen yang kini tak lagi sepolos saat ia masih kecil.
Tepat di hari ketika Emma mengalami kecelakaan, Karen benar-benar merasa hidupnya seolah berhenti.
Karen celingukan ke kanan kiri, mencari sosok wanita yang tak kunjung datang ke acaranya. Padahal ini adalah acara yang penting, seharusnya Emma telah menampilkan batang hidung sejak dua jam lalu saat ia berjalan bersama teman-temannya sambil tersenyum lebar. Tapi karena urusan mendadak, Emma tak bisa hadir lebih awal. Karen tak bisa memaksa Emma, akhirnya memilih untuk menunggu di waktu-waktu terakhir kelulusannya.
Sesekali bibir itu berdecak, kakinya tak urung bergerak gelisah dengan mata yang berulangkali melirik jam tangan, memastikan ibunya tak terlambat.
"Mama di mana, sih?" Ia meletakkan buket bunga yang dipegangnya, mencoba menghubungi Emma lewat ponsel.
Dalam deringan pertama, tak ada yang mengangkat. Hingga Karen menanti lebih lama sembari menggigit bibir karena perasaan tak enak yang menyergapnya, akhirnya tersambung.
"Halo? Mama di mana?"
"..."
Karen terdiam. Ia menjatuhkan ponselnya. Tak menghiraukan acara kelulusan yang masih berlangsung, gadis berumur 15 tahun itu bergegas keluar dari sekolah menuju rumah sakit. Karen berharap ada yang salah dengan pendengarannya, namun ia jelas mendengar bahwa orang yang mengangkat panggilan tadi adalah seorang polisi. Polisi itu mengatakan bahwa Emma mengalami kecelakaan dan masih dalam tahap pencarian.
Karen menangis sepanjang perjalanan, bahkan sempat berteriak pada sopir taksi untuk ngebut hingga dirinya harus mendapat teguran. Begitu sampai di lokasi kejadian, Karen terjatuh duduk. Ia melihat di bawah sana asap mengepul hitam, seorang polisi wanita menghampiri Karen dan menenangkannya. Lalu pada akhirnya Karen mendapat kabar bahwa tak ada yang menemukan pemilik mobil itu. Ponsel Emma ditemukan terlempar di dekat lokasi, namun tidak dengan pemiliknya.
Dengan begitu, Emma dinyatakan sebagai orang hilang. Meski kemungkinan bahwa dia masih hidup sangatlah kecil karena mobilnya saja bisa rusak parah, ada harapan besar di hati Karen yang menginginkan Emma masih hidup di dunia ini.
Karen membalikkan foto di hadapannya, ia tak sanggup melihat wajah sang ibu. Air matanya bahkan tak berhenti menetes, tanpa rasa bersalah terus turun membasahi pipi hingga akhirnya Karen harus menutup wajahnya. Isakan gadis itu berubah menjadi tangisan yang tersedu-sedu, Karen tak bisa lagi menahannya.
Tok! Tok! Tok!
Ia terdiam, buru-buru mengambil tisu untuk menghapus air mata yang menghiasi seluruh wajahnya. Bahkan Karen harus mengusap ingus yang keluar tanpa izinnya.
Dia beranjak berdiri, memutar kenop pintu. Dahinya terlipat dalam, memang siapa yang datang malam-malam begini mengetuk pintu kamarnya?
Tidak mungkin hantu, kan?
Karen sama sekali tak percaya dengan makhluk seperti itu. Dia melangkah keluar kamar, tapi justru menendang sebuah kotak di depan kakinya. Karen membungkuk mengambil kotak tersebut, menolehkan kepala ke kanan kiri mencari siapa dalang yang menaruh kotak sembarangan di depan kamarnya.
Ada sebuah surat dengan tulisan tangan yang rapi. Tak ada hal yang mencurigakan. Namun, raut wajah Karen berubah pias begitu membaca isi surat tersebut.
Hi, princess!
Bagaimana kabarmu? Aku harap dunia tak lagi jahat padamu, memberikan sedikit kebahagiaan saja untuk bisa menyambutmu secara layak. Bila kebahagiaan itu tidak datang, kamu tak perlu khawatir. Aku yang akan memberikannya dengan senang hati untukmu. Apa maumu? Akan kuberikan semuanya.
Esok ialah hari yang teramat istimewa, bagiku dan bagimu sendiri. Maka malam ini akan kujadikan akhir dari penderitaan dan awal dari kebahagiaan kita. Sabarlah, sebentar lagi semesta akan berpihak.
"Apa maksudnya?" Karen mengerutkan kening. Ia membolak-balikan kotak di tangan, namun tak menemukan apapun. Tatapannya beralih ke bawah. Dugaan Karen sangat kuat bila ia kembali mendapat surat anonim dari pelaku yang sama, namun Karen tak menemukan bunga daisy.
Lantas, bagaimana bisa orang itu datang ke dalam rumahnya?
Karen membulatkan mata, ia bergegas keluar rumah, namun nihil. Hanya ada mobil hitam milik polisi yang setia berjaga di depan rumahnya, tak mungkin mereka lengah. Karen menatap CCTV di atasnya, pengirim surat ini pasti kembali menghindari CCTV itu.
Ia masuk lagi ke dalam, mengedarkan pandangan. Ada yang aneh di sini, hingga Karen merasa pelaku mengetahui apa saja yang dilakukannya selama ini. Ia yakin dirinya selalu diawasi. Tatapan Karen beralih pada tempat di mana dirinya selalu berkumpul bersama Genta dan Devan, juga saat ia berbincang dengan Brian.
Karen menghampiri meja itu, meraba bagian bawah meja. Tatapannya berubah, menatap sebuah alat kecil yang tertempel di sana. Karen tak tahu apa namanya, tapi ia sering melihat alat ini dipasang untuk menguping pembicaraan orang di sekitarnya tanpa ada yang tahu.
Jadi, selama ini dia mendengar semua hal yang kami bicarakan?
Perhatian Karen beralih pada kertas yang masih dipegangnya. Ia kembali membaca tulisan tangan itu dengan baik, merasa mengenalinya.
Karen menggeleng. Ia terduduk di sofa. "Gak mungkin."
Tulisan ini ... sangat mirip dengan tulisan tangan Mama.
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro