Part 21
2020.10.21 [17.32]
GOODBYE
by Inas Sya
"Dia lebih pintar dari dugaan kita selama ini."
Now playing | Hate Me — Ellie Goulding ft. Juice WRLD
***
"Ternyata bener, Brian adalah salah satu anak dari donatur di Andromeda. Gue baru aja ke sekolah, Pak Robert yang kasih berkas ini." Argo menyerahkan sebuah map berisi kertas kepada Rendi. "Pak Arnold belum bisa ditemui, kemungkinan masih ngurusin para donatur. Katanya mereka gak terima dan kita harus cepat-cepat menemukan siapa pelakunya. Ngeri banget berurusan sama orang kaya." Ia bergidik.
Rendi menerima berkas yang diberikan Argo, lantas membukanya. Tampak kerutan dalam di dahinya, ada sepuluh daftar donatur terbesar di Andromeda. Nama Brian tercantum di posisi kedua. "Gimana sama catatan sekolahnya Brian?"
"Di lembar selanjutnya udah ada, sekaligus catatan sekolah milik dua korban sebelumnya." Argo menunduk, membalikkan kertas untuk memudahkan Rendi. "Dia sering keluar masuk ruang BK, tapi gak dapat banyak poin, cuman teguran biasa. Ada kemungkinan, banyak juga anak dari donatur yang catatan sekolahnya dihaluskan dikit."
Rendi mengangguk-angguk. "Kebanyakan sekolah emang begitu, gak heran lagi." Matanya terus menelusuri setiap nama yang ada di dalam daftar. "Gimana menurut lo? Apa pelakunya benar-benar mengincar anak donatur?"
"Menurut gue begitu, dua korban sebelumnya anak donatur. Dan sekarang Brian juga ada di dalam daftar dugaan target pelaku, dia punya status yang sama dengan Nizar dan Aldian." Argo menghentikan ucapannya, ia teringat sesuatu. "Bukannya keponakan lo yang sekolah di Andromeda juga anak donatur? Siapa namanya? Devan?"
Rendi baru menyadarinya sekarang. Memang benar kata Argo, kakaknya adalah salah satu donatur di Andromeda. "Gimana sama Pak Arnold? Masih belum bisa ditemui juga?"
"Belum. Kemungkinan Pak Arnold bisa ditemui itu besok."
Rendi mengingat percakapannya dengan Argo kemarin. Dia saat ini tengah menyetir, menuju SMA Andromeda untuk menemui Arnold. Dua jam yang lalu keduanya membuat janji untuk bertemu, ada hal penting yang harus Rendi bicarakan secara langsung. Terlebih lagi fakta bahwa kakaknya adalah salah satu donatur terbesar di Andromeda membuat pikiran Rendi terganggu. Ia khawatir dengan Devan.
Bila memang benar target pelaku yang sesungguhnya adalah anak dari para donatur, maka Devan bisa masuk dalam daftar itu. Kini pertanyaannya adalah, apakah pelaku menargetkan semua anak donatur? Atau hanya beberapa? Rendi sendiri tak menemukan jawabannya. Ia yakin pelaku telah merencanakan semua perbuatannya dengan matang hingga mampu untuk tak meninggalkan jejak sedikitpun. Meskipun begitu, Rendi juga yakin pasti ada celah di mana pelaku salah dalam melangkah. Ia sangat yakin.
Ponsel Rendi berdering. Ia menyalakan alat pendengar yang terpasang di telinganya, tersambung langsung ke perangkat ponsel miliknya.
"Halo?"
"Halo, Pak. Kami sedang memeriksa semua rumah kosong yang ada di sekitar tempat tinggal saksi." Di seberang sana, Bondan menjeda ucapannya. "Ada yang janggal di sini, Pak."
Rendi mengerutkan kening. "Ada yang mencurigakan?"
"Benar, Pak. Kami menemukan banyak sekali bunga yang sama persis dengan bunga yang ada di tangan setiap korban. Di sini juga ada papan tulis yang menunjukkan foto korban lengkap dengan nama dan hubungannya, bahkan saya menemukan foto Pak Arnold dan Brian. Bukan hanya itu ..."
Rendi menepikan mobilnya di depan gerbang SMA Andromeda. "Apa lagi?"
"Ada satu laptop yang menampilkan rekaman CCTV di rumah saksi. Sepertinya dia meretas CCTV kita. Kami menduga bahwa rumah kosong yang berada di ujung perumahan ini adalah markas pelaku."
Rendi mengepalkan tangannya, ia merasa satu langkah lebih dekat dengan dalang di balik semua ini. "Bagaimana dengan pelakunya sendiri? Kalian tidak menemukannya?"
"Tidak, Pak. Di sini tidak ada siapapun."
"Baiklah. Saya ingin langsung ke sana sebenarnya," ujar Rendi, dia melirik bangunan di hadapannya, "namun masih ada hal yang harus diselesaikan di sini. Jadi, laporkan juga pada Argo, dia yang akan datang. Kalian jangan pergi dulu dari tempat itu, pasti ada sesuatu yang bisa kita temukan di sana. Kalau perlu, panggil yang lainnya untuk segera menyusul dan membantu. Tolong foto dan kirimkan gambar rumah kosong itu ke saya sekarang juga."
"Baik, Pak."
Tak berlangsung lama, Rendi menerima sebuah kiriman gambar dari Bondan. Dia tersenyum puas melihatnya. Tak salah lagi, mereka berhasil menemukan di mana pelaku selama ini bersembunyi. "Oh, ya. Bagaimana dengan rumah saksi?"
"Dewa dan Anton masih mengawasi dari tempat biasa, Pak."
"Oke, kerja bagus. Pastikan untuk memeriksa rumah kosong itu tanpa ada yang terlewat."
"Baik, Pak."
Panggilan diputuskan. Rendi kembali menyalakan mobilnya, memarkirkan di parkiran Andromeda. Ia juga mengirim pesan pada Argo, menyuruhnya untuk lekas menuju ke rumah kosong yang dimaksud Bondan sementara dirinya sendiri akan bertemu dengan Arnold.
***
Arnold terlihat kacau, banyak berkas berserakan di meja kerjanya. Ia masih duduk di ruang kepala sekolah, sendirian. Sedangkan rekannya, Robert, baru saja pulang. Rendi yang telah masuk ke dalam ruangan itu langsung menyapa Arnold, membuatnya menengadah melihat siapa yang datang.
"Ah, maaf, ruangan saya berantakan."
Rendi mengangguk maklum. Ia melihat ke sekeliling, kebiasaannya saat berada di tempat baru. Seperti ruang kepala sekolah pada umumnya, bedanya Arnold berada di ruangan dengan dinding dibuat sedemikian rupa untuk menonjolkan nuansa Belanda.
"Tidak apa-apa. Maaf bila sebelumnya sudah mengganggu waktu Bapak."
Arnold menggeleng. "Akhir-akhir ini kondisi sedang tidak mendukung, saya sampai tidak bisa mengatur pertemuan dengan Pak Polisi."
"Panggil saja saya Rendi, Pak." Rendi menyerahkan kartu tanda pengenal miliknya.
"Kau baru berumur 32 tahun?" Arnold mengulurkan tangan, mempersilakan Rendi untuk duduk di hadapannya.
"Iya, Pak."
"Sudah menikah?" Rendi kini tahu Arnold ternyata tipe pria yang suka basa-basi. Memang terdengar tidak sopan bila langsung membahas kasus meski tujuan sebenarnya Rendi ke sini untuk itu.
Rendi menggelengkan kepala. "Masih membujang, Pak."
Sudah seperti dugaan, Arnold tertawa mendengarnya. "Tidak apa, saya juga belum menikah padahal sudah 41 tahun."
Rendi hanya tersenyum menanggapinya, ia memang sudah tahu klien yang melaporkan kasus pembunuhan murid SMA ini belum beristri.
"Katanya ada yang harus kamu tanyakan seputar kasus itu?"
Rendi mengangguk. Ia mengeluarkan berkas yang dibawanya, daftar anak donatur Andromeda. "Ini berkas yang diberikan Pak Robert saat kami meminta daftarnya. Kami sudah menduga bahwa pelaku menargetkan anak donatur dari sekolah ini."
Tangan Arnold terjulur mengambil berkas tersebut, ia menghela napas. "Saya tidak tahu bila ternyata selama ini apa yang mengganggu pikiran saya benar adanya. Apakah ada kemajuan di balik penyelidikan yang kalian lakukan?"
"Kami baru saja menemukan tempat pelaku bersembunyi selama ini."
Arnold terkejut. "Bagaimana dengan pelakunya? Apa dia tertangkap juga?"
Rendi menggeleng. "Tim kami masih menyelidikinya. Saya juga mau bertanya tentang seseorang, Pak."
"Siapa?"
"Apakah Bapak mengenal saksi?"
Arnold mengerutkan kening. "Saksi? Siswi baru yang menemukan korban pertama kali?"
"Benar, Pak. Namanya Karenina Daisy."
"Entahlah. Saya baru mendengar namanya dua kali, pertama waktu Bu Maya menyebutkan namanya sebagai siswi baru di sini." Arnold kembali memutar ingatannya, namun ia yakin bahwa dirinya memang tak mengenal Karen.
"Bagaimana dengan Gentala Aldrich?"
Arnold menatap Rendi, nampak tersentak mendengar namanya. "Genta? Ada apa dengan anak itu?"
"Bapak mengenalnya?" tanya Rendi penasaran.
Arnold memutuskan untuk mengangguk. "Dia murid pindahan dari SMA Unggulan yang diurus langsung oleh Pak Robert."
"Tidak," sahut Rendi tiba-tiba. "Sepertinya Bapak mengenalnya lebih dari itu."
Rendi melihat Arnold terdiam. Pembawaannya memang tenang dan berwibawa meski dia sedang dalam kondisi kacau setelah menghadapi para donatur sekolahnya yang marah besar dengan kasus ini. Namun, Rendi tak bisa dibohongi. Ia tahu Arnold mengenal Genta dengan baik. "Genta terlibat dalam kasus ini, Pak," lanjutnya melihat bagaimana ekspresi Arnold.
"D—dia terlibat?"
Rendi mengangguk membenarkan. "Bapak yakin tidak mengenalnya lebih dari seorang murid baru?"
Arnold terdiam lagi, sebelum akhirnya mengatakan, "Saya mengenalnya. Dia adalah anak dari mantan pacar saya dulu, Mentari."
"Maksud Bapak ... anak dari korban pembunuhan sepuluh tahun lalu yang sampai saat ini menjadi kasus dingin dan ternyata korban tersebut dulunya adalah mantan pacar Bapak?" tanya Rendi, mencoba memastikannya dengan jelas.
"Kau ... bagaimana bisa tahu?"
"Saya menjadi bagian dari tim penyelidikan kasus itu, Pak. Tentu saja saya masih mengingatnya dengan jelas."
"Lalu, apa hubungannya dengan kasus ini? Itu sudah menjadi kasus lama, tidak perlu dibahas lagi."
"Hubungannya, kedua kasus tersebut sama persis, Pak. Bukannya Bapak juga mengetahuinya? Ada bunga daisy yang ditemukan di tangan murid Bapak, begitu juga di tangan Bu Mentari. Bu Mentari juga ditemukan tewas karena kehilangan banyak darah akibat tusukan di dadanya." Arnold sepertinya berbicara jujur, dia memang tak menyadari kesamaan dari kasus di sekolahnya dan kasus Mentari. Rendi bisa melihat hal itu dari mimik wajah Arnold.
"Apa pelakunya adalah orang yang sama?" gumam Arnold. Rendi masih bisa mendengarnya, ia mengangguk.
"Kemungkinan bahwa pelaku adalah orang yang sama memang besar. Karena itu, saya tanya Bapak sekali lagi. Apa Bapak benar-benar tidak mengenal saksi?"
Arnold menggeleng tanpa ragu. "Saya yakin tidak mengenalnya. Memangnya ada apa sama dia?"
"Saksi mendapatkan surat anonim yang kami duga dikirim langsung oleh pelakunya. Dia juga sering mendapat paket bunga daisy," jelas Rendi.
"Jadi, saksi sebenarnya memang terlibat dalam kasus ini?"
"Kemungkinan besar, iya."
Arnold menghela napasnya dalam-dalam. "Saya tidak mengenalnya. Bahkan saya belum pernah melihat wajahnya meski dia siswi baru di sini."
Sepertinya Arnold memang berkata jujur. Rendi memutuskan untuk mengeluarkan ponsel, menunjukkan sebuah foto seorang gadis dengan seragam putih abu-abu. "Dia Karenina, Pak."
Arnold mengerutkan kening untuk melihat lebih jelas wajah Karen. Dia melebarkan matanya saat menyadari suatu hal yang menurutnya tak mungkin. "D—dia ..."
"Bapak kenal dia?"
Kepala sekolah itu menggeleng. "Saya memang tidak mengenalnya. Tapi ..." Ia menggantungkan ucapan untuk kembali melihat foto di ponsel Rendi sebelum akhirnya melanjutkan, "dia sangat mirip dengan mantan tunangan saya dulu."
"Mantan tunangan?" ulang Rendi terkejut. "Apakah namanya Emma?"
Arnold menatap Rendi tak percaya, ia lantas mengangguk. "Namanya Emma. Claretta Emma, saya membatalkan pernikahan kami waktu itu karena saya tidak mau dijodohkan. Terlebih lagi, saya tidak pernah mencintainya."
"Apa hubungan Bapak dengan Bu Mentari?" tanya Rendi, sepertinya ia mulai paham dengan semua ini.
Arnold terdiam, memutar ingatannya di masa lalu yang ia anggap kelam. "Saya sudah mengatakannya tadi, Mentari mantan pacar saya. Kami telah lama putus dan akhirnya bertemu lagi di hari pertunangan saya dengan Emma."
"Apa karena pertemuan itu Bapak memutuskan untuk membatalkan pernikahan?" tanya Rendi tepat sasaran.
Arnold mengangguk. "Saya kira saat itu Mentari masih belum menikah. Saya kira dia masih memiliki perasaan terhadap saya dengan datang ke acara pertunangan kami. Jadi, saya memutuskan untuk membatalkan pernikahan sebelum Emma menderita karena menikahi pria yang ternyata menyukai wanita lain."
"Lalu, bagaimana dengan hubungan Bapak bersama Bu Mentari setelah itu?"
"Mentari rupanya telah menikah, bahkan sedang mengandung. Tapi setelah Genta lahir dan berumur tujuh tahun, suaminya menceraikannya. Saat itu saya melamar dia untuk bisa menjadi istri saya. Dia meminta waktu untuk memikirkannya. Dan semuanya terjadi begitu saja." Arnold tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Bu Mentari meninggal sebelum beliau sempat menjawab lamaran Bapak?"
Arnold mengangguk. "Saya baru ingat, kondisinya waktu itu sama persis dengan Nizar dan Aldian."
Rendi terdiam, ia menghubungkan semua cerita Arnold dan kasus yang tengah ditanganinya ini. Sepertinya Rendi berhasil menemukan kuncinya. Dia mendapatkan jackpot setelah menemui Arnold.
"Sepertinya kita sudah menemukan pelakunya, Pak Arnold. Dugaan saya sangat kuat." Arnold menoleh mendengar perkataan Rendi. Ia terkejut.
Detik berikutnya Arnold menyadari semua itu, dia memiliki jawaban yang sama dengan Rendi. "Ini gak mungkin," gumamnya tak percaya.
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro