Part 20
2020.10.20 [20.05]
GOODBYE
by Inas Sya
"Di balik semua kejahatan yang pernah dilakukan setiap orang, pasti ada satu kebaikan yang akan membekas di hati seseorang."
Now playing | O. When — Stay
***
Suasana hening setelah Karen mengetahui bahwa kasus pembunuhan ibu Genta masih belum terungkap sampai saat ini. Ia tak tahu persis bagaimana perasaan pria itu. Kehilangan seorang wanita yang paling kita sayang tidaklah mudah, terlebih lagi kenyataan bahwa pelaku yang telah membunuh ibu Genta belum diketahui siapa orangnya. Yang pasti, Karen mengerti bagaimana rasanya tidak memiliki orang tua sempurna seperti Genta. Karena ia sendiri juga merasakannya.
Mungkin orang lain tak akan pernah bisa melihat hanya dari sisi luar, tak tahu bahwa sesungguhnya di dalam jiwa itu banyak sekali kepingan masalah yang menghadirkan kesedihan mendalam. Bukan hanya Karen yang terlihat dingin dan cuek memiliki jalan hidup yang tak mudah tanpa dampingan orang tua, Genta pun sama seperti dirinya. Ditinggal mati oleh sang ibu di saat masih belia dan ayahnya justru tak perduli dengan memilih untuk tetap bekerja di luar negeri, tak mudah bagi Genta menjalani hidup semacam itu. Mereka masih dalam status remaja SMA bau kencur yang sangat membutuhkan asupan kasih sayang dari orang-orang terdekat.
Karen menghela napasnya dalam-dalam. Ia menarik sudut bibirnya, hal yang sangat jarang dilakukannya di masa lalu. Namun sekarang, rasanya Karen ingin terus menarik sudut bibir, beban yang ia tanggung di pundak terasa menguap sedikit demi sedikit.
Kepalanya menoleh ke samping, menatap Genta yang menengadah dengan mata terpejam. "Ta, kenapa lo cerita ke gue?"
"Hem?" Genta bergumam tak jelas, masih dengan posisinya itu.
"Karena gue tanya terus ke lo, ya? Lo terganggu sama gue yang suka tanya ini itu?" Rasa bersalah perlahan terbesit di dalam benaknya.
Genta terkekeh. "Gue cerita karena pengin. Lagian muka lo melas banget waktu penasaran, kasihan gue lihatnya."
"Maaf," cicit Karen sembari menundukkan kepala. Genta menatap ke samping, keningnya terlipat.
"Kenapa minta maaf? Lo gak salah." Tangannya terjulur ke depan, menyentuh dagu Karen untuk membuat gadis itu melihat ke arahnya. "Gue yang minta maaf."
Karen menatap Genta tak mengerti. "Maaf ... buat?"
"Buat semuanya, sejak gue ketemu sama lo, sekarang ... dan nanti. Maafin gue," ujar Genta lirih, bahkan suaranya seolah terbawa angin hingga indra pendengaran Karen nyaris tak bisa menangkapnya.
Genta menarik bibir tipisnya, ia lantas mengalihkan tatapan ke depan. "Mungkin aja nanti gue bikin kesalahan, gak ada yang tahu. Ngomong-ngomong, tumben banget lo mau ngobrol sama gue. Dulu aja boro-boro mau buka mulut, mukanya aja udah sedatar talenan."
Karen menunduk, terkekeh saat mengingat awal mulai mereka bertemu. Terlebih lagi saat ia sering mengacuhkan Genta yang mulutnya seperti terompet, tak bisa berhenti mengoceh.
Melihat itu, Genta ikut tersenyum. "Lo gak kesambet, kan? Kalo kesambet, semoga setannya gak keluar. Gue jadi berasa ngomong sama orang beneran sekarang, gak kayak dulu. Mending senyum terus kayak orang gila, daripada pasang muka zombie. Gak cocok, deh."
Karen menatap Genta terkejut. "Zombie?"
"Iya. Kenapa emang?" tanya pria itu polos.
"Gak, gak apa-apa, sih. Cuman ini ... zombie? Orang lain ngatain gue mirip mayat hidup, loh."
Genta mengangkat kedua bahu. "Sama aja."
Baiklah, Karen mengerti. Genta memang berbeda dari kebanyakan orang yang ia temui selama ini. Mereka terdiam, memilih menatap ke depan. Angin bertiup, melambaikan dedaunan dari pohon mangga yang tumbuh lebat di samping rumah.
"Sebenarnya setiap orang pasti punya rahasia yang selalu ingin mereka jaga. Tapi, ada saat di mana mereka juga ingin berbagi rahasia dengan orang lain. Mereka ingin berbagi kepercayaan dengannya untuk bisa menjaga rahasia itu bersama. Karena pada dasarnya, menjaga rahasia seorang diri juga bukan hal yang mudah," ujar Genta tiba-tiba.
Karen menoleh ke arahnya. "Jadi, lo tadi bagi rahasia ke gue karena lo percaya sama gue?"
Genta tersenyum, lantas menggeleng. "Bukan karena itu." Ia membalas tatapan Karen. "Di saat seseorang berbagi rahasianya dengan orang lain, maka orang lain itu juga harus membagi rahasia yang ia miliki."
"Maksud lo ..." Karen mengulum bibirnya, ia menunduk. "Gue juga harus kasih tahu rahasia yang gue simpan selama ini?"
Genta mengangguk tanpa ragu. "Mustahil kalau lo gak punya satu rahasia pun."
Apa Karen harus mengungkapkan rahasianya? Rahasia yang selama ini ia jaga dan tak pernah dibeberkannya kepada siapapun, rasanya sulit untuk memberi tahu. Namun, persis seperti yang dikatakan Genta tadi, pada dasarnya menjaga rahasia seorang diri tidaklah mudah. Karen menyadari hal itu, terkadang ia ingin mengungkapkan apa yang tak bisa ia ungkapkan selama ini. Seringkali Karen berpikir, mungkin ada baiknya berbagi rahasia dengan orang lain.
"Gue harus lakuin itu?" tanya Karen.
Genta menggelengkan kepalanya. "Gak harus, kalau lo pengin aja," jawabnya santai.
Karen membuang napas pendek. Ia menautkan kedua telapak tangannya, hal itu tak luput dari pandangan Genta. Keraguan yang Karen rasakan saat ini, Genta menyadarinya. "Lo gak perlu bagi rahasia, gue tadi cuman bercanda." Ia tertawa.
Kepala Karen menggeleng pelan, baru saja dirinya memantapkan niat untuk buka mulut tentang rahasia yang ia simpan selama ini.
"Gue mau cerita." Ia menatap Genta, lalu mengatakan, "tapi lo jangan kasih tahu siapapun, bahkan Devan."
"Lo bisa percaya sama gue."
"Gue gak punya bokap." Melihat ekspresi yang ditampilkan Genta setelah ia mengatakan hal tersebut, sepertinya Karen memang pernah memberi tahunya bahwa ia tak memiliki ayah. "Gue lahir tanpa ayah."
"Tanpa ... ayah?" ulang Genta terkejut. Awalnya ia hanya mengira ayah Karen telah meninggal dunia atau pergi jauh setelah bercerai dengan ibunya. Genta tak tahu bila ternyata kenyataannya bukan seperti itu.
Karen menunduk, ia menganggukkan kepala. "Mama hamil di luar nikah," lirihnya. Ingatan masa lalu yang tak pernah terlupakan seketika menguasai pikiran Karen.
"Karen gak punya teman lagi di sekolah?" Seorang wanita dengan baju panjang berwarna merah itu menyisir rambut pendek putrinya.
Karen menggeleng, menjadi siswa baru di sebuah sekolah dasar tak membuatnya dihampiri banyak teman untuk berkenalan. Justru mereka menjauh, katanya takut dekat-dekat dengan Karen. Wajah datar yang selalu ia tampilkan di sekolah membuatnya dijauhi.
"Kenapa? Apa mereka semua jahat sama Karen?" lanjut ibunya bertanya.
Karen kembali menggeleng. "Karen yang jahat sama mereka, Ma."
"Benarkah? Memangnya apa yang Karen lakukan di sana?"
"Setiap Karen mendekat, mereka langsung lari, Ma. Bahkan ada yang nangis. Mereka semua cengeng, Karen gak suka." Ia mengerucutkan bibir, membuat ibunya terkekeh.
"Karen gak boleh gitu, setiap orang harus punya teman untuk bisa bertahan hidup."
"Teman? Karen pengin punya teman, Ma. Tapi mereka yang gak mau berteman sama Karen," ujar bocah itu lugu. "Mama gimana? Bukannya Mama juga butuh teman supaya bisa bertahan hidup?"
Ibunya mengangguk. "Tentu, Mama juga butuh teman."
Sudut bibir Karen naik ke atas, ia menatap wajah ibunya dari cermin yang ada di hadapannya. "Siapa, Ma? Kata ibu guru, teman Karen adalah semua orang yang ada di dekat Karen, termasuk Mama. Lalu, siapa teman Mama selain Karen?"
Gerakan tangan ibu Karen terhenti, ia menunduk ikut menatap wajah putrinya. "Ayah kamu," bisiknya.
Senyum di bibir Karen lenyap. "Ayah? Karen gak punya Ayah, Ma."
"Kamu punya," ujarnya. Ia mengambil tangan Karen, menggenggamnya. "Dia ada di sini, darahnya mengalir di dalam tubuh Karen. Mama gak akan pernah lupa itu."
"Mama udah kayak dunia gue sendiri. Cuman beliau yang mengerti setiap hal yang gue rasakan. Gue sayang banget sama Mama, yang udah memilih keputusan untuk tetap melahirkan gue meski akhirnya harus terasingkan karena gue gak punya ayah. Mama besarin gue tanpa pernah mengeluh, bahkan beliau gak pernah marahin gue sedikit pun." Karen menghentikan ucapannya. Ia menunduk lagi, mengingat bagaimana kisahnya dulu saat Emma—ibunya—masih berada di sisinya.
"Sampai akhirnya hari itu datang. Dua tahun yang lalu, Mama kecelakaan. Mobil yang dia bawa nabrak trotoar dan jatuh ke jurang. Mobilnya terbakar, tapi gak ada orang yang bisa menemukan keberadaan Mama."
"Maksudnya ... nyokap lo menghilang setelah mengalami kecelakaan itu?"
Karen mengangguk membenarkan. "Gue udah cari sampai sekarang, gak ada hasilnya. Bahkan polisi gak bisa menemukan di manapun."
"Itu gak mungkin," gumam Genta.
Karen mendengarnya, ia mengangguk. "Gue juga tahu, itu gak mungkin."
"Lo gak apa-apa?" tanya Genta ragu. Mendengar kenyataan bahwa Karen hanya hidup berdua bersama sang ibu bahkan tak punya teman membuatnya berpikir bagaimana perasaan gadis itu pasca Emma menghilang tanpa jejak setelah mengalami kecelakaan.
Karen tersenyum samar, lalu terkekeh. "Lo penasaran apa yang gue lakuin waktu itu?" Dia menerawang ke atas, memorinya masih menyimpan kenangannya dengan baik. "Gue pergi ke kuburan, mau gali lubang buat diri sendiri. Konyol, kan?"
"Lo punya niat untuk bunuh diri?"
Gadis itu mengangguk. "Gue kebingungan, Ta. Mama pergi secara tiba-tiba tanpa gue tahu ada di mana. Dia menghilang setelah kecelakaan yang bikin jantung gue nyaris berhenti saat itu juga. Gue takut. Gue merasa gak akan bisa bertahan hidup tanpa Mama. Lo tahu apa yang pernah Mama bilang waktu gue masih kelas lima SD?"
"Apa?"
"Dia bilang, 'Setiap orang harus punya teman untuk bertahan hidup,' dan gue hanya menganggap Mama sebagai satu-satunya teman yang ada di kehidupan gue. Kalau Mama pergi, gue gak akan bisa bertahan di dunia ini," ujar Karen. Ia masih mengingat dengan jelas setiap perkataan Emma, menyimpannya di dalam hati.
"Nyokap lo ngomong gitu?" tanya Genta tak percaya. Karen mengangguk apa adanya, dia tersenyum.
"Bagi gue, semua omongan Mama adalah hal yang harus gue lakukan untuk bisa terus bertahan sampai sekarang."
"Terus, kenapa lo gak jadi bunuh diri?"
Karen terdiam, seulas senyum tipis terbit di wajahnya. Bahkan sempat membuat Genta tertegun, Karen terlihat serasi dengan senyum itu. Alih-alih seperti mayat hidup yang dikatakan banyak orang, dia akan lebih cocok diibaratkan sebagai seorang putri cantik yang hidup seorang diri di sebuah kastil.
Oke, sepertinya Genta terlalu berlebihan.
"Gue teringat sama semua hal yang udah Mama lakukan untuk bisa membuat gue tetap hidup di dunia ini. Kalau gue mati, rasanya semua perjuangan Mama akan sia-sia. Setidaknya, gue harus tetap hidup untuk membalasnya." Lagi-lagi Karen tersenyum, kali ini sembari menengadahkan kepala menatap ribuan bintang yang menggantung di atas sana.
Untuk kesekian kalinya, Genta merasakan sengatan aneh yang menelisik masuk tanpa ia sadari kapan semua ini bermula.
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro