Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 18

2020.10.18 [20.52]

GOODBYE
by Inas Sya

"Pikirmu siapa yang sanggup melakukan semua ini?"

Now playing | Clue — SHINee

***

"Bagaimana?" Rendi baru saja datang menghampiri sebuah mobil yang ditumpangi rekan-rekannya. Ia masuk ke dalam. "Apa ada yang mencurigakan?"

Salah satu bawahan yang ia perintahkan untuk memantau situasi dan mengawasi rumah Karen—Bondan—menggeleng. "Sampai saat ini belum ada yang terjadi, Pak. Pemuda yang namanya Brian terus datang ke rumah saksi setiap hari sekitar pukul sembilan pagi sampai satu siang, selama itu tak ada yang mencurigakan."

Pandangan Rendi beralih pada rumah besar dengan gerbang tua di hadapannya itu. "Apa yang sebenarnya dia rencanakan?" gumamnya. "Bagaimana dengan CCTV yang dipasang?"

Bondan memperlihatkan laptop yang ia pangku dari tadi, menampilkan empat orang pelajar SMA tengah duduk di sofa bertemankan buku dan cemilan. "Ada yang memasang kamera pengawas sendiri juga, Pak."

Rendi menoleh dengan kening terlipat. "Kamera pengawas?"

Bondan mengangguk. "Bocah ini," ujarnya sembari menunjuk Genta yang sedang bermain ponsel. "Dia memasang kamera pengawas kecil di dalam rumah saksi. Katanya, untuk berjaga-jaga."

Sebuah senyum simpul nampak di wajah Rendi. "Dia melakukan hal yang benar." Rendi melipat tangannya di depan dada. "Ada yang lewat di sekitar sini?"

"Hanya beberapa motor dan mobil, Pak. Kemungkinan tetangga saksi dan hanya melintas, tak ada yang lain. Kami juga sempat bertanya jika saja ada yang melihat orang mencurigakan mengantar sebuah paket di depan rumah saksi, namun tak ada yang melihatnya. Lagipula ini perumahan yang sepi, kebanyakan hanya rumah kosong," ujar Bondan menjelaskan.

"Rumah kosong?" ulang Rendi. "Coba yang lainnya periksa mana saja rumah yang kosong, saya memiliki firasat pengirim paket itu mengenal baik daerah ini."

"Baik, Pak."

***

Karen melirik Brian yang duduk di sebelahnya. Ini terasa sangat canggung, Devan dan Genta baru saja pergi, katanya pamit ke dapur. Namun, ia tahu mereka sedang mengawasinya. Karen berencana untuk membuat Brian buka mulut tentang apa yang sebenarnya pria itu lakukan. Kehadiran Genta dan Devan pasti membuatnya terus bungkam, maka dari itu Karen berusaha mencari waktu.

"Lo ..." Brian menolehkan kepala begitu Karen membuka mulut. "Siapa yang nyuruh lo lakuin semua ini?" tanyanya langsung.

Brian terlihat bingung, mengerutkan kening lantas tersenyum. "Maksudnya?"

"Lo gak mungkin datang ke rumah adik kelas yang berstatus sebagai murid baru untuk minta diajarin materi kelas akhir dengan alasan nilai gak tuntas dan adik kelas itu adalah pindahan dari jalur beasiswa," ujar Karen. Ia menggelengkan kepala, tersenyum miring dan mengatakan, "Itu aneh."

"Aneh?" Brian melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya. Ia juga sebenarnya tak terbiasa dengan hal ini. Bukannya bermain bersama teman-teman di luar sana, akhir-akhir ini Brian justru ada di rumah junior barunya untuk mengasah otak. "Iya, memang aneh. Mau gimana lagi? Gue gak punya pilihan lain."

Karen mengerutkan kening, menatap Brian dengan dalam. "Siapa orangnya? Gue tahu kenapa lo melakukan semua ini. Jadi, jawab aja pertanyaan gue. Gue bisa bantu lo."

Brian menunduk, terkekeh. "Bantu gue?" Ia menatap Karen lagi. "Lo yang buat gue ada di sini, lo adalah masalahnya. Dan lo sendiri mau nawarin bantuan ke gue?"

Karen mengulum bibir, ia juga menyadari hal itu. Brian ada di sini untuknya, untuk permainan konyol itu. "Maaf," ujarnya lirih. Gadis itu juga tak tahu apa yang menjadi alasannya berada di antara semua ini. "Gue juga gak tahu kenapa semua ini terjadi. Gue mohon, katakan apapun yang lo tahu."

"Aldian meninggal. Dia dibunuh, sama persis dengan Nizar," ujar Brian tiba-tiba. "Dan gue lihat semua itu dengan mata kepala gue sendiri."

Mata Karen membulat terkejut. "Maksudnya?"

Brian menghela napas. Ia bingung harus mengatakannya atau tidak. Tangannya bergerak mengambil ponsel di atas meja. Tak lama kemudian ponsel Karen berdering. Gadis itu mengerutkan kening, lantas mengambilnya. Ia menatap Brian, rupanya Brian mengirimkan sebuah foto screenshot di mana ia mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal untuk segera datang ke sekolah.

Unknown

Tok! Tok! Tok!

Tepat pukul sebelas malam, kamu harus sudah ada di sana. SMA Andromeda, kelas XI MIPA 1. Ingat, tepat pukul sebelas malam. Terlambat atau tidak datang? Lakukanlah, maka aku akan mendatangimu sendiri dan membuatmu kehilangan semuanya, termasuk kehidupanmu.

Bukan hanya satu, namun dua pesan dari nomor yang berbeda.

Unknown

Hello!

Bagaimana kabarmu? Kali ini adalah giliranmu. Apa yang telah kau siapkan untuk menaklukkan hati sang Tuan Putri? Pikirkan baik-baik, agar kamu tak akan menyesal. Datanglah ke tempat di mana kali pertama kita bertemu, satu langkah untuk membuatmu memutuskan apa yang harus kamu lakukan. Di tempat yang sama, waktu yang serupa, suasana yang tak jauh berbeda. Bukankah ini menyenangkan?

"Ini ..." Karen beralih menatap Brian tak percaya
"Apa ini?"

"Lo bisa baca, kan?" Pria itu memajukan wajahnya, berbisik lirih, "Itu pesan dari pembunuhnya."

Tangan Karen gemetar memegang ponsel. "Ke—kenapa lo gak lapor ke polisi?"

Brian menghela napas. "Meski nilai gue di sekolah gak tuntas, bukan berarti gue bodoh. Dia ngancam gue langsung, pastinya dia juga udah tahu siapa gue sebenarnya. Lo kira, kenapa dia sanggup melakukan semua itu? Dia pasti sudah memikirkan semuanya secara matang, sehingga bisa dengan mudahnya membunuh Nizar yang bukan sembarang orang. Kalau gue lapor, bisa saja terjadi hal yang lebih buruk lagi."

"Siapa? Siapa pelakunya?" tanya Karen mendesak.

"Gue juga gak tahu," jawab Brian. "Dia mengincar orang-orang kayak gue, Nizar, dan Aldian. Pasti dia bukan orang biasa. Dia selalu pakai masker dan jaket hitam kebesaran, gue gak bisa lihat wajahnya."

"Lo yakin?"

Brian mengangguk. "Yang pasti, dia seorang wanita."

"Wanita?" ulang Karen tak percaya. "Ba—bagaimana seorang wanita bisa membunuh Kak Nizar sama Aldian? Itu gak mungkin."

Brian menggeleng. "Dia mengerikan. Ya, dia mungkin memang wanita. Tapi, tatapan dan semua yang dia ucapkan seakan bisa menyihir siapa saja. Mulutnya berbisa, gue bahkan gak bisa melakukan apapun di depannya. Seolah-olah dia mengendalikan raga gue sendiri." Pria itu terkekeh kaku sejenak lalu melanjutkan, "Ini mungkin terdengar konyol. Tapi, gue selalu dibuat diam di depannya."

Karen menurunkan tatapannya, melihat tangan Brian saling bertautan. Brian terlihat gelisah saat mengatakannya. Sempat beberapa kali Karen menangkap gelagat pria itu yang tak fokus, bola mata cokelat Brian bergerak tanpa arah. Seolah takut bila ia telah mengungkapkan sebuah kebenaran.

Tangan Karen terangkat, kini diletakkan di atas tangan Brian. Ia tersenyum. "Gak usah takut, Bang. Gue akan bantuin lo buat keluar dari permainan ini. Sebagai gantinya, lo juga harus bantu gue untuk mencari siapa pelaku yang sebenarnya."

"Gue mohon." Tiba-tiba Brian berujar lirih, tatapannya terlihat resah. "Jangan kasih tahu ke siapapun, terutama polisi. Ancamannya gak sekedar omongan doang, gue udah lihat dua kali dia membunuh orang."

Karen memutuskan untuk mengangguk. Ia tak akan memberi tahu siapapun, namun bukan salahnya bila nanti polisi mengetahui sendiri apa yang dikatakan Brian. Bola mata Karen bergerak ke samping, memandang bingkai foto bunga daisy besar yang terpajang di dinding rumahnya, tepatnya pada sebuah kamera pengawas kecil di atas bingkai tersebut. Karen tahu, Devan dan Genta sedang mengawasinya.

"Wah, hebat lo," puji Devan di balik punggung Genta. Keduanya berada di dapur, Genta memegang sebuah ponsel yang menampilkan Karen dan Brian, bahkan mereka mendengar obrolannya dengan jelas. "Gimana lo bisa punya pikiran untuk pasang kamera itu? Gue sangka cuman buat pengawasan di dalam rumah doang."

Genta menepuk-nepuk bahunya bangga. Ia lalu menjentikkan jari. "Itu juga salah satu alasan gue pasang kamera ini, sih. Pasti CCTV di depan rumah gak akan berpengaruh banyak. Bahkan, CCTV bisa diretas jika pengirim paketnya tahu polisi pasang begituan di depan rumah. Dan lagi, Bang Brian gak akan buka mulut kalau ada kita. Lalu kita gak akan tahu apa-apa bila gak memata-matai Bang Brian sama Karen."

Devan membuka mulut kagum, ia tersenyum puas. "Rekaman ini bisa dikasih ke Paman, kan?"

Genta mengangguk. "Bisa, dong. Bahkan semua percakapan mereka juga terekam jelas." Ia tersenyum miring.

Tanpa mereka sadari, seorang wanita yang hanya bisa meretas CCTV di depan rumah Karen juga dapat mendengar semua percakapan Karen dan Brian tanpa masalah. Bibirnya tak melengkung, mengunyah permen karet sambil mendengarkan obrolan Karen dan Brian menggunakan earphone.

Ia tiba-tiba tertawa. "Bodoh. Kalian kira aku tidak bisa mendengarnya?"

***

To be continued....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro