Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14

2020.10.14 [22.11]

GOODBYE
by Inas Sya

"Derap langkah itu kian mendekap indra pendengaran, sambil menuntun kematian yang kini tepat di hadapanmu."

Now playing | Die For Me — Post Malone ft. Halsey & Future

***

Devan membaca kertas di tangannya sekali lagi. Ia mengusap wajah, sama sekali tidak menemukan petunjuk untuk mengerti maksud dari tulisan itu. Di sampingnya ada Genta, bersama Karen mengumpulkan surat anonim yang mereka terima sejak awal.

Karen meletakkan bunga daisy yang telah layu di samping masing-masing surat. Ia mengerutkan kening merasa ada yang kurang. "Kenapa bunganya kurang satu?"

Genta melirik sekilas. "Gue buang bunganya, udah rusak," sahut ia tanpa dosa.

Karen menatap Genta datar, lalu beralih mengambil bunga di atas meja itu lantas memasukkannya ke dalam kotak. "Van, apa yang mau lo omongin?"

Devan mengalihkan tatapan dari kertas. "Hah?"

"Katanya ada hal yang mau lo omongin juga waktu lo ke sini tadi," ujar Genta memperjelas pertanyaan Karen.

"Oh itu." Devan mengambil ponselnya, menunjukkan sebuah rekaman kepada mereka. "Gue dapet rekaman ini dari dashcam di mobil gue."

Genta menepuk bahu Devan sambil tersenyum lebar, terlihat senang dan berharap mereka menemukan sesuatu yang penting dari rekaman itu. "Lo lihat siapa pelakunya?"

"Lo bisa lihat sendiri." Devan menunjuk layar ponsel lalu mengatakan, "Pelakunya memang tertangkap kamera, tapi mukanya ketutupan sama masker. Gak kelihatan sama sekali."

Karen mengerutkan kening. Ia merasa mengenali postur tubuh itu. Genta menyadari perubahan mimik wajah Karen, membuatnya bertanya, "Lo kenal siapa dia?"

Karen menggeleng. "Gue gak tahu pasti."

"Coba lihat lagi. Ada yang lo curigai? Masalahnya, gue yakin banget lo pasti kenal sama orang ini." Genta berujar yakin. Ia bahkan merebut gawai Devan, mendekatkannya ke hadapan Karen.

Devan memerhatikan keduanya. Dia meletakkan tangannya di bahu Genta. "Udah, gak usah dipaksain. Mungkin aja Karen memang gak kenal. Lagipula, banyak orang di luar sana yang punya postur tubuh sama."

Genta menghela napas. Ia meletakkan ponsel Devan di atas meja, mengusap wajah. Sedangkan Karen terdiam, mengamati rekaman yang masih terputar. Ia mengambil ponsel Devan, mengulangi rekamannya lagi dari awal. Karen yakin dia mengenali postur tubuh ini, tapi di mana?

"Gue tahu," ujarnya tiba-tiba. Dia menatap Genta dan Devan bergantian.

"Lo tahu siapa dia?" tanya Genta mendesak.

Karen menggelengkan kepala. "Gue gak tahu siapa tepatnya. Tapi, gue yakin sama hal ini."

"Apa?" Kini giliran Devan yang bertanya.

"Dia seorang perempuan."

Tampaknya Devan tak percaya dengan ucapan Karen, terlihat dari perubahan ekspresi di wajahnya. "Lo yakin?"

Karen mengangguk. "Gue yakin. Dilihat dari tinggi tubuhnya, cara berjalan, dan gerak-gerik yang dia lakukan, dia pasti perempuan."

Genta menjentikkan jari. "Gue setuju sama lo. Tadi gue juga mikir gitu," ujarnya.

Devan masih belum percaya, ia memerhatikan rekaman di ponselnya lagi. "Kalau dia memang benar seorang perempuan, bagaimana caranya membunuh Kak Nizar? Jika dipikir lagi, itu gak mungkin."

"Mungkin aja. Bahkan psikopat wanita lebih menyeramkan waktu menyiksa korbannya," sahut Genta. Ia mendapat tatapan yang berbeda dari Devan dan Karen. "Kenapa? Itu kesimpulan gue sendiri. Kalau wanita ini memang psikopat, gak perlu dipertanyakan kenapa dia bisa dengan mudahnya membunuh."

Devan menghela napasnya. Ia beralih pada kertas yang tersusun di atas meja. "Ada berapa surat anonim yang lo terima?" tanyanya pada Karen.

"Ada empat. Yang pertama ada di tangan Pak Rendi, paman lo."

"Pasti surat ini saling berhubungan," gumam Devan. Genta mendengarnya, ia mendekat melihat dengan teliti tulisan dalam surat itu.

"Memang berhubungan." Ia mengangguk-angguk, lalu menunjuk kertas paling kiri. "Ini yang kedua itu, kan? Di sini tertulis kata 'pangeran', yang menurut gue adalah target pelaku."

"Gue juga ngerasa gitu," sahut Devan. Kini gilirannya, menunjuk surat paling kanan. "Di sini dikatakan bahwa pangeran pertama telah kalah dari permainan. Game over, yang artinya dia gugur."

"Lalu apa hubungannya?" tanya Karen tiba-tiba. "Apa hubungan semua ini dengan bunga daisy, gue, dan kasus pembunuhan Kak Nizar?"

Devan dan Genta terdiam. Keduanya juga tak tahu kesimpulan apa yang bisa mereka buat. Bila ditinjau ulang, semuanya memang terasa janggal. "Ada bunga daisy di tangan Kak Nizar dan paket yang lo terima. Jadi, kemungkinan besar dua hal ini berhubungan. Lagian lo juga dapat surat anonim waktu di kelas itu, meski gak ada bunga daisy di sana," ujar Genta.

"Yang jadi masalahnya, apa hubungan yang ada dari semua itu?" Karen mengusap wajahnya. "Dan kenapa gue yang menerima paket?"

Ketiganya terdiam, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Semua surat anonim yang diterima Karen telah dikumpulkan, namun tak ada yang bisa mereka pahami. Bahkan sampai matahari hampir tenggelam, tak ada satu pun membuka suara karena menemukan titik temu.

Drrttt ... Drrttt ....

Tiga ponsel di atas meja bergetar bersamaan. Mereka mengambil ponsel masing-masing, saling menatap curiga sebelum akhirnya membuka gawai itu.

Karen mengerutkan kening membaca pesan yang dikirim di grup angkatan kelas dua SMA Andromeda. Suasana di grup sangat ramai, berlomba-lomba mengirim pesan setelah ada murid yang membocorkan pengumuman bahwa sekolah kembali meliburkan anak murid selama satu minggu ke depan.

"Libur diperpanjang?" gumam Genta tak mengerti.

Devan menggeleng. "Itu berita gak sepenuhnya benar. Lebih tepatnya, pembelajaran dilakukan di rumah," ralatnya. Baru saja Devan mendapat informasi yang akurat dari guru kesiswaan langsung.

"Tapi, kenapa?" tanya Karen. "Kenapa kita gak boleh belajar di sekolah?"

Devan mengangkat bahu. "Itu juga yang masih gue bingungkan. Kemungkinan besar karena kasus Kak Nizar belum selesai."

"Apa polisi gak menemukan bukti lain?" tanya Genta. Dilihatnya Devan menggeleng.

"Paman bilang gak ada bukti selain bunga daisy itu. Bahkan di TKP gak ditemukan sidik jadi selain punya Kak Nizar. Benar-benar bersih," ujarnya.

"Artinya, pelaku itu bukan orang biasa." Genta menatap Devan dan Karen bergantian lalu mengatakan, "Mungkin aja dia pernah melakukan pembunuhan lain, makanya dia lebih hati-hati saat membunuh Kak Nizar."

Karen menarik napas panjang, menyandarkan punggungnya. "Gak ada cara lain lagi. Kita harus jujur sama Pak Rendi."

"Gimana kalo kita nanti gak boleh selidikin ini lagi?"

Karen beralih menatap Genta. "Dari awal emang gak dibolehin, kan? Lagipula, Pak Rendi gak bisa mencegah kita untuk berhenti kalau pengirim surat anonim itu masih menjalankan aksinya ke gue."

Devan mengangguk setuju. "Lo bener." Ia menunjukkan ponselnya. "Gue hubungin Paman sekarang aja kali, ya? Kita kasih tahu tentang semua surat ini."

Karen mengangguk, Genta menurut saja. Devan mencoba menghubungi Rendi. Di panggilan pertama tidak bisa terhubung, ia tahu pamannya orang sibuk. Baru ketika Devan menghubunginya dua kali, Rendi mengangkat panggilan itu.

"Kenapa?"

"Paman ada waktu? Ada hal yang harus Devan omongin."

Devan mengaktifkan loudspeaker, terdengar bunyi berisik di seberang sana. "Hal penting?"

"Iya, penting banget. Karen dapat surat anonim lagi," ujar Devan.

"Lagi?" Rendi terdengar terkejut. "Paman lagi sibuk sekarang, mungkin nanti kita bahas lagi setelah Paman pulang dari sekolah kamu."

Ketiga remaja itu saling mengerutkan kening mendengar kalimat Rendi. "Sekolah? Paman ngapain di sekolah?"

Terdengar helaan napas yang cukup panjang. "Ada korban pembunuhan lagi di sekolah kamu."

Karen menutup mulutnya dengan telapak tangan, lalu mengalihkan pandang pada Genta yang juga tengah menatapnya. "Siapa?" tanyanya.

"Eh, Karen sama Genta ada di sana juga, ya?"

"Iya, Paman."

"Bukan siapa-siapa. Nanti kalian pasti tahu sendiri dari para guru. Aish, sekolah kalian lama-lama bisa jadi sarang kasus pembunuhan. Kasus lama saja belum selesai," ujar Rendi terdengar frustasi.

"Siapa korbannya?" Karen kembali bertanya, mendesak Rendi untuk segera memberi tahu. "Jawab, siapa orangnya?!"

Genta meletakkan tangannya di bahu Karen, menenangkan gadis itu. Ia melihat raut wajah Karen memucat, membuat sel kulit Karen semakin putih.

"Aldian Gandara. Kalian kenal?"

Aldian?

"Dia ..." Berat tubuh Karen seakan berkurang banyak, terasa lemas seperti jeli hingga Karen tak sanggup menegakkannya. "Gak mungkin."

Genta juga sebenarnya terkejut. Ia teringat perkataannya sendiri pada Karen tentang Aldian.

"Ini aneh," ujar Rendi tiba-tiba. "Kondisi Aldian sama persis dengan Nizar."

Devan membulatkan mata. "Sama persis. Artinya pelaku adalah orang yang sama."

"Iya, pelaku yang membunuh keduanya adalah orang yang sama. Tidak hanya kondisinya yang sama persis, bahkan Paman juga melihat ada bunga daisy di tangan Aldian."

"Wah, gila," celetuk Genta. "Gue paham sekarang." Ia menatap Karen dan Devan bergantian.

"Apa maksud lo?" tanya Devan tak mengerti.

"Ternyata ini maksudnya." Genta tertawa kaku, tak menyangka bila surat anonim yang diterima Karen memiliki petunjuk. "Pangeran pertama yang kalah dalam permainan ini, adalah Aldian."

***

To be continued....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro