Part 13
2020.10.13 [19.25]
GOODBYE
by Inas Sya
"Tik tok tik tok. Bayangkan bunyi detik itu menguasai jiwamu, membuatnya takut berkelut dalam dendam bak api tersulut."
Now playing | Hello - Adele
***
"Tetaplah di sini, sayang. Oke?" Seorang anak kecil menatap raut wajah gelisah wanita di hadapannya. Ia menahan lengan itu.
"Bunda kenapa?" tanyanya lugu. Tangan yang satunya memeluk lutut, bersembunyi di bawah meja. Sedangkan sang ibu menatapnya lembut, membelai pucuk rambut.
"Tunggu Bunda di sini, ya?" Bibirnya melengkung ke atas. Namun, siapa saja yang melihatnya pasti tahu bahwa ia tengah menahan tangis.
"Anta gak mau sendirian, Bun." Bocah itu menahan tangisnya, ia tak tahu situasi yang terjadi saat ini. "Tante di sana bawa pisau. Anta takut sama tante itu, Bunda."
Usapan lembut kembali ia rasakan, pun senyum menenangkan yang ditampilkan ibunya. "Anta gak boleh takut, kan Anta cowok. Jangan keluar sebelum Bunda ke sini, ya? Anggap aja kita lagi main petak umpet, Bunda mau sembunyi di tempat lain supaya tante itu gak nemuin kita. Oke?"
Tak kunjung mendapatkan jawaban dari putra kecilnya, ia menghela napas. Tangannya beralih membelai pipi tembem bocah itu, lalu berkata lirih, "Gentala Aldrich bukan anak yang cengeng. Dia anak yang pemberani dan baik. Ingat pesan Bunda, kamu tidak sendirian di sini. Ada Bunda di manapun Anta berada."
Wanita muda tersebut memeluk anaknya erat sebelum akhirnya memundurkan langkah lalu menutup meja dengan sebuah papan. Tanpa mereka tahu, pelukan tadi adalah pelukan terakhir keduanya.
"Genta?" Karen melihat Genta mengerjapkan matanya lalu menatap ia dengan ekspresi bingung. "Lo ngelamun?"
"Eh?" Genta menggeleng. "Lo ... tadi ngomong apa?"
"Kenapa lo pindah ke Andromeda?" ulang Karen bertanya. Dia sempat melihat bibir Genta tersenyum sebelum akhirnya pria itu seolah tengah melamunkan sesuatu.
"Gak ada alasan yang penting," jawab Genta seadanya. Dia beralih menatap ke luar. "Gue pamit dulu, ya."
Tanpa menunggu lebih lama, kakinya melangkah menjauhi Karen. Sedangkan pemilik rumah masih duduk terdiam, sebelum akhirnya menyusul langkah Genta saat dirinya mengingat suatu hal.
"Ta, gue pikir kita harus lapo-" Hampir saja dahi Karen menabrak punggung tegap di hadapannya jika saja ia tak cepat menghentikan langkah. Karen mengerutkan kening, melihat Genta berdiri menghalanginya tepat di ambang pintu. "Kenapa?"
Genta berbalik, lalu meminggirkan badan, seakan mempersilakan Karen untuk melihat apa yang membuatnya terhenti. "Ada paket buat lo."
Karen menatap paket di sana, terlebih pada setangkai bunga daisy yang tergeletak di atasnya. Ia mengalihkan tatapan pada Genta. "Lagi?"
Genta bergegas keluar, mengambil paket tersebut sedangkan Karen memungut bunga daisy. Keduanya masuk lagi, mengambil sebuah gunting dan merobek kasar paket itu. Tepat seperti yang diduga, ada secarik kertas dengan tulisan cetak.
"Apa ini surat anonim lagi? Dari pelaku itu?" gumam Karen, namun Genta masih bisa mendengarnya.
Pria itu mengangguk. "Kemungkinan besar, iya. Siapa lagi yang kirim paket dilengkapi bunga daisy kalau bukan pelakunya?"
"Apa isinya?" tanya Karen penasaran. Genta memberikan kertas tersebut, membiarkan Karen membacanya.
Hi, dear!
Pangeranmu akan segera datang. Tunggulah sebentar lagi, lalu aku akan mengirimkan hadiah kedua untukmu. Dia yang berasal dari negeri hitam. Tidak perlu berhati-hati dengannya, dia tak akan pernah melukaimu.
Tik tok tik tok. Dalam hitungan itu aku akan mengirimkan hadiahmu. Bersabarlah, waktunya tak lama lagi. Pangeran pertama telah kalah dari permainan ini. Game over. Kita berada dalam tahap kedua. Bisakah kamu menerima pangeran yang satu ini?
Semuanya ada di tanganmu, dear.
Tanpa sadar tangan Karen gemetar. Ia menjatuhkan dirinya di atas sofa, menatap kosong surat anonim di tangan. Genta tahu Karen dalam kondisi bingung dengan isi surat itu, dia tak bisa membantu banyak. Bergegas Genta pergi ke luar rumah, mencoba mencari siapa yang mengirimkan paket tersebut.
Pasti pengirimnya masih ada di sana, memerhatikan mereka untuk bisa memastikan bahwa keduanya membaca surat yang ia kirimkan. Karen mengusap wajah, menundukkan kepala yang terasa berputar. Seolah ingin meledak, mengeluarkan banyak unek-unek yang mengganjal di otaknya. Semua ini benar-benar membingungkan untuk Karen sendiri.
"Tidak ada siapapun di luar," ujar Genta. Napasnya terlihat ngos-ngosan, saling memburu.
"Siapapun dia ..." Karen menjeda ucapannya. Ia menatap Genta, tanpa sadar jemarinya saling mengerat meremas kertas di tangannya. "Dia pasti tahu betul daerah ini."
"Tapi, bukannya di sini jarang ada orang lewat? Bahkan lo seakan gak punya tetangga," heran Genta. Ia yakin belum pernah sekalipun melihat ada orang melewati gang di depan rumah Karen. Memang beberapa rumah dibangun di depan dan saling berjajar layaknya perumahan. Namun, seakan tak ada penghuninya.
"Gak ada yang lewat bukan berarti gak punya tetangga," ucap Karen. Dia menatap ke luar. "Kebanyakan dari mereka adalah orang sibuk, bahkan rumahnya sering kosong. Tapi, sekarang yang terpenting bukan hal itu. Gue rasa kita harus lapor semuanya ke Pak Rendi."
"Pamannya Devan sekaligus polisi yang menangani kasus Kak Nizar?" tanya Genta memastikan.
Karen mengangguk. "Gak seharusnya kita diam aja menerima semua surat anonim ini. Kita gak boleh menyembunyikannya, polisi harus tahu."
"Tapi Pak Rendi pasti bakal marah kalau tahu kita selama ini diam-diam masih mencari siapa pelaku yang sebenarnya." Genta ingat betul, Rendi tak mau mereka bertiga terlibat lebih dalam dengan kasus ini.
"Lebih baik terlambat jujur daripada keterusan menyembunyikan kebenaran. Coba hubungi Devan dulu, kasih tahu tentang surat anonim ini." Genta mengangguk, mengambil ponsel untuk menghubungi Genta sesuai dengan apa yang dikatakan Karen.
"Ke rumah Karen sekarang." Genta tak memilih untuk berbasa-basi. Ia langsung mengatakannya begitu Devan mengangkat panggilan.
"Kenapa?"
Ia menghela napas. Menatap Karen yang masih memandangi kertas di tangannya. "Ada surat anonim lagi."
"Lagi?" Devan terdengar terkejut dengan ucapan Genta. "Gue ke sana sekarang. Sekalian ada hal yang mau gue omongin."
Keduanya memutuskan sambungan. Genta menghampiri Karen. "Devan mau ke sini."
Karen mengangguk, ibu jarinya mengusap kertas anonim. "Kenapa harus gue yang dapat semua ini, Ta?" Ia menunduk, suaranya terdengar lirih.
Genta melihat wajah murung gadis itu. Ia tahu Karen pasti tertekan dengan keadaan ini. Terus menerima surat tanpa tahu siapa pengirimnya, mengatakan sebuah permainan yang sama sekali tidak bisa mereka mengerti apa maksudnya.
Ia hanya mampu diam, karena pada nyatanya Genta juga tak tahu harus menjawab apa.
Sementara di luar sana, Devan mengendarai mobil menuju rumah Karen. Satu tangannya memegang kemudi, sedangkan yang satu sibuk menari di atas layar ponsel menghubungi seseorang.
"Halo, Paman."
"..."
"Bisa tolong cari tahu orang dari plat mobil?"
"..."
"Gak ada alasan khusus, sih. Bantuin Devan sekali ini doang, deh. Please, ya?"
"..."
"Iya, nanti Devan kasih tahu kalau udah di rumah. Nomor platnya Devan kirim lewat e-mail."
"..."
"Paman yang terganteng pokoknya! See you, Paman."
"..."
Devan tertawa kecil, lalu mematikan sambungan ponselnya. Ia beralih menatap kaca spion mobil, memperlihatkan kendaraan lain berada di belakangnya.
"Ada yang ngikutin gue?" gumam pemuda itu ragu. Devan merasa pernah melihat mobil berwarna merah di belakangnya saat ia keluar dari rumah, lalu melihat mobil yang sama juga saat berhenti di sebuah supermarket.
Begitu melihat persimpangan di depan, Devan membelokkan setir ke kiri, memasuki gang di mana rumah Karen berada. Ia melirik kaca spion, melihat mobil merah tadi melaju lurus tak mengikutinya.
Ia menghela napas, merasa telah berpikiran buruk. "Perasaan gue aja kali."
***
To be continued....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro