Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12

2020.10.12 [17.44]

GOODBYE
by Inas Sya

"Seolah-olah hidup mereka hanya tentang dendam dan cinta."

Now playing | Love To Hate Me — Blackpink

***

Di dalam ruangan yang hanya memiliki satu celah jendela kecil itu, seorang wanita duduk di depan komputer dengan tatapan terarah pada layar. Ruangan tersebut penuh dengan barang bekas, di sudutnya terdapat papan tulis bening yang tertempel berbagai foto dan tulisan rapi. Sedangkan di atas meja samping papan tulis ada vas yang diisi lima tangkai bunga daisy.

Lampu menyala redup, menghiasi seisi ruangan dalam temaram dan remang. Tak ada suara yang mengisi hening, hanya ketikan keyboard komputer yang terdengar cepat.

Jari telunjuknya menekan mouse, hingga tampilan pada layar berubah menjadi putih polos sebelum akhirnya muncul gambar dua pemuda lengkap dengan biodatanya.

"Devano Gautama, lahir 23 September tujuh belas tahun yang lalu. Anak dari—Ah, aku sudah tahu semuanya ternyata." Ia mengangguk-angguk. "Dia anak bodoh itu," lanjutnya. Bola mata itu bergerak membaca biodata yang lain.

Ia mengerutkan kening, tak menemukan informasi detail tentang salah satu pemuda di sana, seolah tak membiarkan siapapun mengetahui banyak informasi tentang pemuda itu. Detik berikutnya senyum miring tersungging dan mengatakan, "Anak ini mau main-main rupanya. Baiklah, kita lihat saja. Aku akan segera menemukanmu, Gentala Aldrich."

***

Karen membuka pintu rumahnya, mendapati Genta berdiri di sana dengan senyum lebar. Bahkan tangannya melambai, yang hanya ditanggapi Karen dengan diam. Tahu bahwa Karen tidak akan seramah itu dalam menerima tamu, Genta langsung melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Ia segera duduk lesehan di bawah sofa.

"Devan gak ikut?" tanya Karen, terlihat bingung karena biasanya Genta selalu bersama Devan. Selama satu minggu ini, kemungkinan besar dua pria itu sudah menjadi sepasang sahabat yang selalu nempel satu sama lain.

Genta menggeleng. "Dia lagi ada urusan, katanya nemuin sesuatu yang penting waktu lo terima paket terakhir kali."

Mendengarnya, rasa antusiasme Karen meningkat. Ia mendekati Genta, duduk di sisi pria itu. "Apa?"

Genta hanya mengedikkan bahu. "Dia gak bilang." Teringat dengan tujuan kedatangannya kemari, ia beralih menatap Karen. "Katanya kemarin lo ditembak sama Aldian? Rame banget di grup angkatan."

Karen mengangguk singkat. "Gue tolak dia."

"Udah gue duga," gumam Genta. "Sikapnya emang aneh banget, main embat anak orang padahal baru kenal. Dia ngegas atau emang gak waras?"

"Kemarin Aldian bilang hal yang gak gue ngerti," ujar Karen tiba-tiba. Ia teringat bagaimana tatapan memelas Aldian saat itu. Daripada merasa patah hati gara-gara ditolak pernyataan cintanya, justru Aldian terlihat takut.

"Apa? Dia bilang kalau lo harus terima lo gitu?"

Karen menatap Genta terkejut. "Gimana lo bisa tahu? Dia emang terus bilang kalau gue gak boleh nolak."

Genta mengangguk-angguk. "Gue udah pikirin ini semua sejak lo dapat paket aneh waktu itu. Dia bilang apa lagi?"

Please, gue gak mau mati, Ren.

Ingatan Karen memutar kejadian kemarin, di mana Aldian terus memaksa dirinya untuk menjadi pacarnya. "Dia gak mau mati."

Genta mengerutkan kening. "Maksudnya?"

Karen menggeleng. "Gue juga gak tahu. Dia bilang gue harus terima dia. Dia gak mau mati." Ia menghela napas. "Bahkan gue lihat di matanya tersirat rasa takut seolah-olah Aldian gak punya pilihan lain lagi."

"Ada yang gak beres sama cowok ini," gumam Genta. "Gue rasa Aldian ada hubungannya dengan paket yang lo terima."

"Tapi gue yakin Aldian bukan pengirim paket itu."

"Gue juga yakin, sama kayak lo. Cuman menurut gue, pengirim paket seolah memberikan petunjuk yang melibatkan Aldian," ujar Genta. Ia mengetuk-etuk telunjuknya di dagu. "Kita coba lihat nanti, semoga aja dugaan gue salah."

Karen menoleh penasaran. "Lihat apa?"

"Kalau apa yang gue duga selama ini adalah benar ..." Genta menatap Karen sebelum melanjutkan, "maka Aldian akan jadi korban yang selanjutnya."

Karen terdiam mendengarnya. Ia mengalihkan tatapan. "Gak mungkin. Itu konyol," ujarnya lirih.  "Hanya karena gue tolak, dia gak mungkin jadi korban selanjutnya."

Genta mengangkat bahu. "Itu cuman dugaan gue. Kalau dari apa yang selama ini kita lihat, pembunuh bahkan pengirim paket selalu melibatkan lo. Mungkin saja keduanya adalah orang yang sama."

Karen mengusap wajahnya. "Gue gak paham kenapa mereka selalu melibatkan gue di sini."

"Gue rasa, lo kenal sama mereka," ujar Genta tiba-tiba. Dia menatap Karen lalu mengatakan, "Mereka gak mungkin kasih lo paket tanpa alasan."

"Kalau benar begitu, siapa orangnya? Gue bahkan gak dekat sama keluarga gue sendiri. Gue gak punya teman bahkan musuh. Mereka selalu pergi seakan-akan gue gak butuh mereka semua," lirih gadis itu. Ia menundukkan kepala. Tangannya bertautan, Karen mengulum bibirnya.

"Gak ada orang yang lo curigai?" Pertanyaan Genta dijawab gelengan olehnya. "Gue sebenarnya masih penasaran sama hal ini. Tapi gue takut lo ngerasa tersinggung."

Karen menengadah, menatap Genta dengan lipatan di dahinya. "Apa?"

"Kemana orang tua lo?" tanya pria itu. Dia melihat ekspresi wajah Karen berubah. "Lo pernah bilang, lo gak punya bokap dan nyokap lo gak tahu ada di mana."

Karen kembali menunduk, kali ini memilin ujung kaos yang dikenakannya. Genta memerhatikan hal tersebut, lalu menghela napas. "Kalau keluarga lo yang lain? Lo gak mungkin bisa hidup sendirian, Ren," lanjutnya.

"Gue gak punya keluarga," ujar Karen datar. Ia menatap Genta. "Gue sendirian di rumah ini, semua orang yang memiliki hubungan darah dengan gue gak ada di sini. Mereka jauh, bahkan gue gak tahu tepatnya di mana."

"Gue terlahir tanpa ayah. Nyokap gue menghilang sejak kecelakaan dua tahun lalu." Karen tertawa kecil, terdengar kaku. "Bahkan keluarga besar gue kasih pernyataan kalau Mama udah meninggal."

"Siapa yang ngurus lo selama ini?"

"Lo lihat ada orang lain?" Karen tersenyum miris. "Gue ngurus diri sendiri sejak dua tahun terakhir ini. Cuman Mang Ujang dan istrinya yang kadang bantu gue kalau ada masalah. Wali gue saat ini adalah bibi gue sendiri, tapi sejak setahun lalu dia bahkan gak pernah nemuin gue. Dan rumah ini, adalah satu-satunya peninggalan dari Mama sebelum beliau menghilang."

Genta melihat Karen menundukkan kepala. Ia memilih untuk tak bertanya lebih lanjut. "Gue coba buat cari tahu siapa yang udah kasih lo surat anonim dan paket aneh itu. Lo bisa jadi target yang sesungguhnya, Ren. Terlepas dari korban yang ada, lo tetap harus waspada. Mungkin aja salah satu anggota keluarga lo adalah pelakunya. Gue pamit dulu."

Dia beranjak berdiri, hendak pergi. Namun urung saat tangan Karen menahannya. Genta menunduk, melihat gadis itu kini menatap dirinya dengan pandangan yang tak bisa ia artikan.

"Siapa lo sebenarnya?" Dalam pertanyaan Karen terdengar nada datar, pun ekspresi yang ia tampilkan menunjukkan bahwa dirinya penasaran dengan latar belakang Genta.

"Gue?" Genta tersenyum. "Gue Genta, cowok ganteng dan tampan. Kenapa emang?"

"Gue gak lagi bercanda, Ta." Untuk pertama kalinya Karen menyebut nama Genta. "Pertama, lo mau bantu gue tanpa alasan yang jelas. Kedua, lo bersikap sok kenal sama gue padahal kita gak pernah ketemu sebelumnya. Ketiga, lo bertanya tentang kehidupan pribadi gue setiap Devan gak ada di sini. Keempat, gue tahu lo gak sebodoh itu."

Iya, saya yang paling bodoh di sini.

Karen masih mengingat dengan jelas kalimat apa yang pernah Genta katakan di rumah Devan.

Bola mata keduanya saling bertemu tatap. Tangan Karen bahkan masih menahan pergelangan Genta. Gadis itu tahu betul, Genta bukanlah murid biasa. Setelah mencari tahu identitas Genta kemarin malam, Karen benar-benar terkejut mendapatkan kebenarannya.

"Permisi, Bu. Ini Karenina," ujar Karen pada ponsel yang ia hadapkan pada telinga, tersambung dengan seseorang di luar sana.

"Karenina? Oh, murid baru itu?"

"Iya, Bu. Saya murid baru di SMA Andromeda seminggu yang lalu. Sebelumnya, maaf mengganggu waktu Ibu."

Terdengar suara kekehan. Karen tahu Maya tipe sosok guru yang ramah pada muridnya. "Tidak, kok. Ada masalah apa memangnya?"

"Begini, Bu. Selain saya, ada murid baru juga yang bernama Gentala Aldrich."

"Gentala Aldrich?" Maya terdengar tengah mengingat nama itu. "Kalau tidak salah, memang ada. Dia juga satu kelas dengan kamu. Anak itu, wakil kepala sekolah sendiri yang mengurus kepindahannya. Jadi, Ibu tidak tahu terlalu banyak."

"Wakil kepala sekolah?" ulang Karen.

"Iya. Tentu saja wakil kepala sekolah yang mengurusnya, katanya murid baru ini dari sekolah terbaik. Dia bahkan memiliki IQ yang sangat tinggi."

Kalimat Maya membuat Karen terdiam. Ia sungguh tak tahu bila Genta pindahan dari sekolah terbaik. "Kalau boleh tahu, sekolah mana, Bu?"

"SMA Unggulan."

"SMA Unggulan?" Karen membuka mulutnya tak percaya. Sekolah ini adalah impiannya, di mana siswa yang bisa masuk ke dalam berasal dari keluarga berada dan memiliki kecerdasan yang tinggi. "Penyebabnya pindah?"

"Soal itu, Ibu tidak tahu pasti. Bahkan sampai sekarang Ibu masih penasaran mengapa anak cerdas sepertinya mau pindah dari sekolah terbaik ke sekolah biasa seperti Andromeda," ujar Maya.

Karen mengusap wajahnya. "Ya sudah, Bu. Terimakasih atas waktunya."

"Sama-sama. Tapi, kenapa bertanya tentang dia?"

"Genta teman sekelas saya, Bu. Dia juga murid baru di hari yang sama, saya hanya ingin mengenalnya lebih jauh." Walaupun tidak sepenuhnya benar, Karen hanya bisa mengatakan kenyataannya sampai hal itu.

Sambungan terputus saat Maya mengatakan harus pergi ke luar. Karen duduk di atas tempat tidur, menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Ia tak tahu alasan Genta menyembunyikan identitasnya selama ini.

"Bu Maya gak bohong, itu emang benar," ujar Genta. Dia melepaskan tangan Karen. "Gue pindahan dari sana. Tapi bukan berarti lo harus curiga sama gue karena ini."

"Kenapa lo gak jujur aja?"

Genta mengangkat bahu. "Gue gak mau dianggap sombong."

Karen memutar mata. "Gue tanya sekali lagi. Apa alasan lo pindah ke Andromeda?"

Meski detik berubah menjadi menit hingga akhirnya waktu berselang lama, Genta tetap diam dengan sudut bibir tertarik ke atas. Pertanyaan Karen dibiarkan tergantung tanpa mendapat jawaban yang pasti.

***

To be continued....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro