Page 57.
Malam itu, meja makan Keluarga Kim tampak begitu hening. Tak ada candaan yang terlontar dari kedua putra dari Tuan Kim tersebut, dan tentunya hal itu membuat para orang tua merasa ada hal yang tak beres.
"Apa terjadi sesuatu saat kalian pergi?" si Ibu memutuskan untuk bertanya di sela kegiatan makan malam mereka, merasa begitu asing dengan sikap kedua putranya setelah mereka kembali ke rumah.
Si sulung mengambil alih pembicaraan dengan di awali oleh seulas senyum tipis yang terkesan di paksakan.
"Tidak ada apa-apa, Eomma lanjutkan saja makannya."
"Jika tidak terjadi apa-apa, kenapa kalian diam saja sejak tadi?"
"Aku sudah selesai." celetuk si bungsu yang lantas berdiri dan meninggalkan meja makan.
Taewoo tak sengaja melihat makanan yang masih tersisa banyak di piring si bungsu. "Dia tidak menghabiskan makanannya." cetusnya yang menarik perhatian sang istri.
"Taehyung... Kau tidak menghabiskan makananmu lagi?" tegur Boyoung, namun Taehyung terkesan tak peduli.
"Biarkan saja. Jika dia lapar, dia akan makan lagi nanti." sahut Seokjin, berusaha untuk mengendalikan keadaan.
"Kenapa dengan adikmu? Apa benar, tidak terjadi apapun?" selidik Boyoung.
Sudut bibir Seokjin kembali terangkat dengan begitu berat. "Kita bicarakan saja setelah ini. Appa dan Eomma makan dulu."
Kedua orang tua saling bertukar pandang, merasa ada hal yang tak beres dengan kedua putranya malam itu. Namun mereka tetap melanjutkan makan malam mereka tanpa si bungsu, meski Seokjin sendiri tampak sudah kehilangan napsu makannya.
Di sisi lain, Taehyung tengah menggosok giginya dengan pandangan yang menatap pantulan dirinya di cermin besar yang berada di hadapannya. Wajahnya tak lagi semurung sebelumnya, dan bahkan dia terlihat baik-baik saja.
Setelah beberapa saat, dia berkumur. Namun tiba-tiba saja gusinya terasa perih dan dia sedikit di kejutkan ketika air yang ia buang dari mulutnya berwarna kemerahan. Dia memegangi bibirnya dan sedikit membuka mulutnya dengan melihat pantulannya di cermin.
Perlahan ia merasakan asin memenuhi mulutnya. Dia sedikit mengernyit ketika mengetahui bahwa gusinya lagi-lagi berdarah, melihat hal itupun dia kembali berkumur. Tampak sudah biasa dengan hal itu, karna ini bukan yang pertama kalinya terjadi.
Cukup lama ia membasuh mulutnya di wastafel, dan setelah selesai, dia bergegas keluar dari kamar mandi. Namun saat itu, ponselnya yang berada di atas ranjang berbunyi. Dia pun segera berjalan ke arah ranjang dan meraih ponselnya.
Seulas senyum tiba-tiba terlihat di wajahnya ketika ia mendapati nama Daehyun sebagai sang pemanggil. Dia pun duduk di tepi ranjang sebelum menerima panggilan tersebut.
"Ssaem." satu kata sapaan begitu keduanya tersambung.
"Eoh, bagaimana keadaanmu? Apa kau berada di rumah?" Daehyun menyahut dari seberang.
"Aku baik-baik saja, dan aku ada di kamarku sekarang."
"Ah... Begitu rupanya... Ssaem menghubungimu untuk meminta maaf karna tidak bisa mengantarmu."
Taehyung menggeleng pelan. "Aku tidak kemana-mana, kenapa Ssaem harus mengantarku?"
Sekilas Taehyung bisa mendengar tawa ringan dari Gurunya tersebut.
"Apa kau merasakan ada yang sakit?"
"Punggungku rasanya sedikit berat."
"Ah... Begitukah?"
"Ne."
"Kau sudah minum obat?"
Taehyung kembali menggeleng meski Daehyun tidak akan bisa melihatnya. "Belum, aku baru selesai makan."
"Kalau begitu. Jika punggungmu terasa sakit, kau harus segera meminum obatnya."
Taehyung mengangguk. "Ssaem masih di Rumah Sakit?"
"Benar, aku masih di Rumah Sakit sekarang. Kau ingin mengatakan sesuatu?"
Taehyung terlihat begitu ragu dan memainkan kedua kakinya yang menapak pada lantai. Dia pun lalu berucap, "barusan... Mulutku berdarah lagi."
"Seberapa parah?" suara Daehyun terdengar sedikit khawatir.
"Tidak banyak, hanya sedikit."
Taehyung terdiam, menunggu respon dari Daehyun di saat sang Guru pun juga tengah terdiam untuk berpikir. Dan setelah tak kunjung mendapatkan respon dari seberang, Taehyung pun kembali bersuara.
"Ssaem tidak akan datang kemari?"
"Ah... Kau mengatakan sesuatu? Maaf, Ssaem tidak begitu jelas mendengar suaramu."
Dengan ragu, Taehyung kembali mengulang pertanyaannya. "Ssaem tidak akan ke sini?"
Daehyun sempat terdiam dan membuat Taehyung dengan sabar menunggu jawabannya.
"Ssaem sedang sibuk, ya?" tegur Taehyung ketika Daehyun terlalu lambat dalam memberikan respon.
"Ah... Tidak, bukan begitu. Aku akan mampir ke rumahmu sebelum pulang, tapi akan lebih baik jika kau tidur lebih cepat. Tidak perlu menunggu Ssaem."
"Aku akan menunggu, Ssaem." cetus Taehyung seakan ia yang benar-benar mampu untuk menunggu, dan tentunya pernyataan itu sempat membuat Daehyun kebingungan.
"Baiklah kalau begitu, Ssaem akan segera datang ke rumahku."
"Jika Ssaem sibuk, Ssaem tidak perlu datang."
"Tidak, tidak. Ssaem akan pergi ke rumahmu secepatnya, sampaikan salamku pada kakakmu."
"Ne..."
Sambungan terputus, Taehyung menurunkan ponselnya dari telinganya dan mengenggamnya di antara pahanya yang terbuka. Kepalanya menunduk dengan wajah yang begitu tenang, namun sebenarnya dia tengah berpikir dengan keras.
Setelah selesai makan malam, Seokjin mengumpulkan kedua orang tuanya untuk duduk di ruang keluarga. Duduk berseberangan dengan kedua orang tuanya, si sulung memulai semuanya dengan keraguan di saat mulutnya yang seperti tak ingin terbuka untuk mengatakan sebuah kabar buruk malam itu.
Namun sekeras apapun ia menutupinya, kedua orang tuanya pasti akan tahu dan harus tahu. Karna para orang tualah yang bertanggung jawab penuh terhadap anak-anak mereka yang belum berkeluarga.
"Apa yang ingin kau bicarakan? Apa ini tentang adikmu?" sang Ayah membuka pembicaraan, membimbing si sulung untuk segera mengatakan niatnya.
"Apa terjadi sesuatu saat kalian pergi? Kenapa adikmu menjadi pendiam seperti itu? Sebenarnya kemana kau membawa adikmu?" sang Ibu menyahut dengan nada yang lebih khawatir.
"Begini..." memberi jeda dalam perkataannya yang justru terdengar menggantung dan semakin menganggu perasaan para orang tua.
"Jika memang ada masalah, katakan secepatnya agar kita bisa menyelesaikannya dengan cepat."
Mengambil napas singkat dan menghembuskannya kembali, berusaha memberikan ketenangan untuk dirinya sendiri sebelum menyampaikan nasib buruk yang telah menimpa si bungsu.
"Tadi pagi, aku membawa Taehyung ke Rumah Sakit."
Pernyataan yang tentunya membuat kedua orang tuanya terkejut. Keduanya sempat saling bertukar pandang sebelum memberikan tatapan yang lebih menuntut kepada putra sulung mereka.
"Ada apa? Kenapa kau membawa adikmu ke Rumah Sakit? Apa dia sedang sakit?" si Ibu berucap dengan nada yang lebih khawatir lagi.
"Dia... Di vonis menderita Kanker Darah."
Pernyataan resmi dari si sulung yang menjadi pukulan bagi kedua orang tuanya, terlebih sang Ibu yang tampak sangat terkejut.
"Apa yang baru saja kau katakan?" si Ayah menyahut, memberikan sebuah tuntutan pada si sulung.
"Dia terlihat sehat-sehat saja, ini pasti kesalahan." si Ibu menyahut dengan nada bicara yang sedikit putus-asa.
"Dia sudah menjalani beberapa tes, dan hasilnya positif. Dia menderita Kanker Darah."
Boyoung menggunakan satu tangannya untuk menutupi mulutnya, tampak begitu terguncang dengan apa yang baru saja di sampaikan oleh putra sulungnya.
"Lalu, kenapa kau tidak mengatakan hal ini lebih awal?" tuntut Taewoo, mewakilkan Boyoung yang telah kehilangan kata-kata untuk di ucapkan.
"Aku tidak ingin membuat kekhawatiran sebelum mengetahuinya dengan pasti. Aku minta maaf, karna terlambat memberitahu kalian."
Tak mampu memberi respon, terlihat kegundahan di raut wajah Taewoo. Namun tiba-tiba saja Boyoung beranjak dari duduknya dan segera berjalan meninggalkan keduanya dengan tangis yang tertahan.
Sang Ibu melangkahkan kakinya dengan terburu-buru menuju lantai atas dan segera menuju kamar si bungsu. Di bukanya kamar tersebut begitu ia menjangkaunya, dan di sanalah ia melihat si bungsu yang tengah duduk di tepi ranjang dengan pandangan yang mengarah padanya.
Dia lantas segera masuk ke dalam dan perlahan duduk di samping Taehyung, menatap prihatin ke arah putra bungsunya yang bernasib malang.
"Eomma kenapa menangis? Apa ada yang menyakiti Eomma?" Taehyung berucap dan hal itu semakin menambah kesedihan sang Ibu.
Boyoung kemudian menangkup wajah tirus putranya dengan lembut dan berujar, "kenapa kau tidak pernah mengatakan sebelumnya?" lirihnya.
"Apa yang sedang Eomma bicarakan?"
"Jika kau merasa ada yang sakit, maka jangan menahannya seorang diri. Ada Ayah, Ibu dan kakakmu di sini yang selalu berusaha melindungimu. Kenapa kau justru menahannya seorang diri?"
Taehyung tersenyum, lalu mengusap air mata sang Ibu. "Ini tidak sakit, Dokter sudah menolongku. Ini tidak akan sakit, jadi kenapa Eomma malah menangis? Ini akan lebih sakit jika melihat Eomma menangis."
Bukannya mereda, Boyoung justru mengeluarkan isakan kecilnya. Dia kemudian merengkuh tubuh putra bungsunya, mendekapnya dengan lembut dan dengan perasaan yang di penuhi oleh penyesalan. Begitupun Taehyung yang membalas rengkuhan sang Ibu, berusaha agar tangisnya tak keluar dan semakin memperburuk keadaan.
"Maafkan Ibu, seandainya Ibu tahu lebih awal." sesal Boyoung di sela tangis yang sebisa mungkin ia tahan.
"Jangan menangis! Kenapa kalian bersikap seolah-olah aku akan mati besok... Ini menyakitkan, jadi jangan menangis lagi."
Sebuah harapan yang hanya mampu terucap dalam hati di saat lisannya terlarang untuk mengucapkan hal semacam itu. Dan dari sinilah semua memulai perubahan tanpa di sadari oleh siapapun.
Selesai di tulis : 02.12.2019
Di publikasikan : 03.12.2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro