Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

𝐆𝐨𝐨𝐝 vs 𝗕𝗮𝗱 boy

Hari-hari terasa memenatkan.
Layar LCD tak henti-hentinya mengganti halaman PowerPoint tempat pengajar menerangkan.

Pena tak berhenti bergerak.
Kepalaku tak berhenti berputar. Pusing menghafal dan memahami berbagai materi dalam sehari.

Tidak, ini sudah mingguan hitungnya.

Detik dalam jam memetik waktu istirahat.
Semua berjalan secara terpisah, entah menuju kantin, perpus, atau ke tempat untuk mereka melepas penat.

Begitupun aku, menelusuri lorong panjang, dimana kutemukan meja kursi panjang yang berada dibawah bayangan tumbuhan tinggi sekitaran.

"Haaah.." hembusku lesu. Bersama kawan sekelasku yang tersenyum pahit.

"(Y/n), kau terlihat lesu sekali hari ini." ujarnya.

Kepala sudah kuletakkan diatas meja. Pipiku mendatar.

"Gimana, nggak? Rasanya makin hari makin ada aja. Belum tugas, belum bikin tulisan, mau terbitan, ngejar ujian. Pengen berhenti aja, bisa nggak sih? Capek."

Rasa khawatir terpintas di wajahnya, bisa kutebak apa yang akan dia katakan seperti 'Jangan menyerah secepat itu' atau 'Terlalu cepat untuk putus asa'.
Tapi dia jelas bisa membaca rautku yang sedang jelas-jelasnya ini. Maka dari itu dia memilih tak mengatakannya, karena tak akan berguna juga.

Sejenak dia menengok kesana-kemari. Entah apa yang dia dapati, aku tak paham bagaimana dia bisa menemukannya disana. Seakan keberuntungan yang tak di rencanakan atau di perkirakan.

"Rengoku-san!" sebutnya memanggil nama seseorang yang sukses membangunkan kepalaku begitu cepat.

Dia, yang benar saja!

Lelaki berawakan tinggi besar dengan senyum sumringah lengkap dengan energi membaranya, melambaikan tangannya pada kawanku.

"Konnichiwa, kalian berdua. Nggak kelas?" katanya. Hanya aku saja yang membuang wajah.

"Oh, ini baru selesai. Rengoku-san nggak kelas?" Tanya kawanku kembali.

"Barusan mau nyari dosen pendamping buat konsultasi skripsi."

"Wah, semangat senpai!"

"Terima kasih! Kau juga."

Rengoku tersenyum dan menoleh, bisa kurasakan dia menoleh padaku yang kembali membaringkan wajah di meja.

"(Y/n) kenapa? Kok lesu gitu?"

Kawanku angkat bicara, "Daritadi dia begitu, Rengoku-san. Di kelas seperti lelah sekali."

Rengoku menoleh kembali padaku, tapi tak kubalas tatapannya.

"Boleh aku duduk disini?" tanyanya. "Oh, boleh boleh, silahkan." Entah kenapa dia sumringah sekali memperbolehkan orang ini duduk disini.

M-maksudku! Siapa juga yang tidak?!

Rengoku Kyojuro, mahasiswa semester akhir yang menjadi idaman para wanita maupun pria yang berkuliah disini.
Semuanya terpanah pada kharismanya, belum lagi penampilannya.
Tidak ada yang tak menyukainya. Tidak ada juga yang tak menginginkannya.
Kadang hal itu membuatku bertanya-tanya, kenapa aku melulu yang diperhatikannya? Seperti tak ada orang lain saja.

Rengoku duduk tepat di depanku. Posisinya seperti sudah siap mengonsultasiku melebihi posisi seorang psikolog. Tapi bukan psikologi jurusannya.

"Ada apa, (y/n)?"

Jauh dari perkiraan dia akan menanyakan itu dengan suara menggelegarnya. Justru kini, dia menanyakannya begitu lembut padaku.

Duuuh!
Kenapa harus datengnya di saat begini sih?

Kepala kuangkat sedikit, setidaknya untuk melihat mimik yang dibuatnya. Tersenyum lembut, menungguku menjawabnya.

"Nggak. Cuma lelah." jawabku begitu singkat.
Karena jatinya, dua kata itu sudah mewakilkan semuanya. Aku tak ingin terlihat hanya bisa mengeluh.

"Lelah bagaimana?" tanya nya lagi.

"Entahlah, banyak pokoknya." balasku.

Melihatku dan Rengoku begitu, tiba-tiba saja temanku angkat kaki, "Eh, aku duluan ya, tiba-tiba ada urusan mendadak."

"Heh, eh! Mau kemana—oi?!" "Dadah, (y/n)! Duluan, Rengoku-san!"

Aku tak bisa berkata apapun selain sedikit menyumpahi

Satu tangannya tiba-tiba saja mendekat. Pipiku ditangkupnya, mengangkat pandangku yang kebawah untuk melihat padanya.

"Katakan saja semua. Aku akan mendengarkannya. Istirahatkan saja di tanganku."

Entahlah. Dia selalu menjadi obat termanjur dari segala keterpurukan yang pernah dijamah setiap mahasiswa putus asa.
Lembut. Hangat. Halus. Tak memaksa.
Apa yang kurang darinya?

Karena kepalaku sungguh lelah, penawarannya tak kutolak begitu saja.
Kusandarkan di telapaknya yang lebar dan kuat.

Hangat. Kekar. Tapi begitu baik.
Rasanya penatku nyaman sekali bersandar disana.

"Kenapa?" tanya nya sekali lagi.

Bibirku seketika melengkung, "Lelah. Banyak sekali yang harus kukerjakan rasanya. Ngerjain tugas, ngafalin materi, mbaca jurnal, lanjut nulis, belum urusan terbit buku. Masih banyak lagi, rasanya pegal sekali, tidur pake nggak mempan lagi. Aku mau berhenti saja."

Rengoku menghela dalam senyumnya. Ibu jarinya meraba pipiku. Membuatku semakin nyaman berada disana, bahkan mataku sampai dibuatnya setengah mengantup.

"Kau sudah berjuang begitu keras. Lebih dari dirimu sebelumnya. Kau sudah lebih dari sempurna, (y/n). Meski seperti tidak, kau sudah berjuang keras untuk meraihnya. Kau sudah baik-baik saja. Hanya butuh istirahatnya."

Penjelasannya nyaris sekali membuat air mataku menggenang dan terjatuh.
Setauku, yang kulakukan ini masih kurang dari yang lainnya. Terkadang bakat dan keberuntungan itu lebih besar poinnya daripada usaha dari dasar yang tak tau apa-apa.
Terkadang, langit itu masih terlalu jauh untuk digapai. Meski sudah berbagai alat kugunakan untuk melompat ataupun terbang kesana, kembali jatuh juga akhirnya.

"Aku lelah. Aku mau berhenti saja."

"Kau bisa beristirahat, berhenti sejenak. Taoi jangan berhenti seterusnya. Kau sudah sejauh ini dan aku kagum kau sudah sampai sejauh ini."

Lihat? Aku tak bisa melawan kata-katanya.
Semakin melawan, semakin aku akan dirasuki energi-energi positif darinya.
Yang memantik senyumku, kemudian ringis kecilku. Bagaimana bisa orang modelan begini ada disini? Bahkan sampai memerdulikan orang gagal sepertiku ini.

"Habis ini aku kelas ngulang." jawabku. Meski sejujurnya aku tak ingin lepas dari tangannya. Ingin tetap disana saja tanpa beban pikiran. Tapi kenyataan berkata, bahwa ini belum akhir harinya.

"Ah, sungguh? Kalau begitu, kau harus segera kesana. Pendidikan itu penting dalam kehidupan, (y/n). Selesaikan semuanya. Setelahnya kau bisa beristirahat. Aku tak ingin kesehatanmu tidak baik-baik saja."

Aku ingin mengangguk, tapi entahlah, aku masih ingin di telapak ini. Rengoku pasti tau itu, dia juga menginginkanku tetap disitu. Bahkan tak satupun dari kami yang berdiri, sampai kuputuskan untuk mengangkat kepalaku perlahan sambil menarik tas.

Dia juga ikut berdiri. Masih dengan senyuman di bibir.

"Semangat untuk hari ini."

"Kau juga. Hati-hati dosen killer."

"Untungnya punyaku tidak."

"Enaknya... tuker tambah sini coba."

Kami tertawa bersamaan. Sebelum akhirnya saling melambai tangan dan pergi menuju tujuan masing-masing. Mimpi yang sama, untuk lulus dengan baik dari sini.

===================

Sejauh kaki berjalan, akhirnya bisa kulihat gedung fakultas berdiri seperti umumnya.

....Sejujurnya tidak, agak buram sedikit.
Yah setidaknya aku melihat ada anak terkenal di dekat pintu masuk sana.

Siapa namanya? Leona Kingscholar.

Sempat kurasakan jalanku mulai tak benar. Bahkan melihat petak lantai saja sudah membayang.

Bruk!

Tanpa perkiraan, aku menabrak tas seseorang yang berjalan di depanku.
Tidak, bukan satu, dia bertiga, menoleh padaku bersamaan dengan tatapan sinis mereka.

Tato di leher dan tangan.
Oh astaga, kenapa aku harus menabrak komplotan anak kelas berandal?

"M-maaf! Agak nabrak." begitu saja kataku. Berniat melewati mereka dengan damai, meski ku tau jelas mereka tak akan membiarkannya.

"Agak nabrak, katanya. Heh, cewek, buta apa gimana? Tau nggak siapa yang ditabrak?" ucapnya mengancam.

"Wih, cakep juga nih buat di apa-apain. Yang nabrak harus minta maaf betul-betul, ye kan?"

Kata-kata temannya ingin sekali kubalas, entah dengan tatap atau perkataan. Tapi kepalaku semakin terasa berat. Bahkan untuk berpikir sedikit saja rasanya tak bisa.

Seorang menghela nafas. Dia berjalan mendekat. Dibalik tiga orang yang menghadapku ini lebih tepatnya.

"Mau kau apakan bocah itu memangnya?" tanyanya yang mengundang tatap para berandal yang hendak membuka mulutnya keceplosan.

"Ya apalagi kalau—waduh! L-leona?!"

Leona melipat tangannya. Seperti biasa dia menatap musuhnya begitu mengerikan, seakan mendominasi sekitarnya dengan ototnya yang kekar juga tato hitam yang menampakkan kegarangannya.

Banyak rumor mengerikan beredar di sekitarnya.
Ada yang berkata dia sebenarnya anak bangsawan, punya komplotan besar, disegani komplotannya karena kekuatannya yang luar biasa, kaya raya, disegani masyarakat dan sebagainya.

Yah, walau di mataku dia cuma anak kos-kosan biasa yang sok kuat saja. Aku pernah tak sengaja menemukannya berjalan ke kos gang seberang saat berburu cemilan pinggir jalan disana. Dekat sekali dengan kampus.

"Ayok, gas lah, mau diapain tadi nih bocah?" tanya nya kali ini dengan seringai bermakna ganda.

"Ng-nggak kok, Yon. Ahahaha, kita bercanda aja kok tadi, ya nggak? D-duluan yak, kelas." Buru-buru mereka pergi.

Leona melirik mereka, "Kelas, kelas, ngerokok aja bisanya di belakang fakultas." desisnya. Kemudian melihat kearahku, "Kau, nggak apa?"

"...Huh? Apa? Apa?"

Sungguh, aku tak ingat tadi dia bilang apa saja. Apa daritadi dia nyeramahin aku?

" 'Hah? hah?'  kau ini mau kemana sih sampai nabrak orang lagi."

Kepala kugelengkan, "Kelas. Mau.. Kelas.."

Sekarang malah jalanku sempoyongan. Sampai tangga khusus jalan pejalan kampus saja kuabaikan, nyaris berguling kedepan.

Leona memijat keningnya, dia mendekat, "Kelas mana? 305?"

Aku mengangguk, "Kelas ngulang. Kau juga?" tanyaku padanya. Jelas dia meng-iya-kan. Rumor berkata dia dapat nilai D/E karena tidak memerhatikan dosen beberapa kali di kelas. Hasilnya harus mengulang cukup banyak juga.

"Kau masih mau ngelas?" tanyanya, "Sempoyongan gitu, tidurmu bener nggak?"

Bibirku berdecih. Orang ini bisa banyak omong juga.

"Kalau nggak ngelas." jawabku menoleh padanya agak berat tapi juga marah, "Emang aku mau ngulang lagi semester depan? Nggak."

Tas kembali kutarik tangannya, agar tak menjungkir badanku ke belakang. Kemudian kembali berjalan walau berat rasanya ini kepala.

Leona masih berdiri disana. Sebelum tiba-tiba dia menarik lenganku.

"Sehari mbolos masih nggak apa. Masih ada dua kesempatan lagi."

Memang benar, maksimal bolos kelas saat kuliah adalah tiga kali. Lebih dari itu akan mendapat surat cinta dari kampus sendiri.

Jujur saja, aku tak pernah membolos seperti orang ini yang hanya dengan alasan waktunya tidur siang dan seenaknya jidat meninggalkan kelas begitu saja.

Genggamannya terlalu kuat, tapi bisa kurasakan dia gak berniat membuatku kesakitan. Dia hanya membawaku dengannya, memastikan aku tak kabur darinya, atau mungkin agar aku tak menabrak orang maupun benda lagi.

Tanpa terasa dia membawaku menuju suatu halaman luas dengan hamparan ladang yang setengahnya sudah dipangkas dan belum.
Bagian yang dipangkas belum sepenuhnya dibersihkan, masih ada sisa-sisa rumput kering yang membentuk gundukan disana-disini. Sisanya masih tinggi-tinggi.

Leona mengambil lokasi dibawah pepohonan rindang dekat sana. Dia memanggilku, "Kemari. Taruh tas mu disini, terus berbaring disini."

Tanpa berpikir lama aku mengikuti perintahnya. Kepalaku sudah begitu berat untuk memikirkan apapun. Saat tubuhku menyentuh tumpukan rumput kering, entah kenapa aku menganggapnya seperti kasur empuk.
Mata ku dengan mudah terlelap disana, tak lama kesadaranku hilang, pergi menuju alam mimpi.

Semilir sadar dan tidak, aku mendengar suara Leona. Nafasnya berhembus diatasku. Entah apakah dia sedang tertidur disana atau tidak, tetapi satu kalimatnya tertangkap olehku.

"Kenapa kau masih dengan laki-laki Rengoku itu? Apa aku masih kurang untukmu?"

Dia seperti bergumam sendiri dengan nada kesal, bahkan berdecih.

"Bagaimana caranya agar kau melihat kearahku?"

Remang-remang kesadaranku ada dan tiada. Tapi kurasa tangan Leona sempat mendekat, namun dia tarik kembali.
Ada yang bilang Leona memiliki kakak ipar perempuan yang mengajarkannya untuk menghormati wanita. Apa dia melakukan ini karena hal itu?

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, saat mataku terbuka, jelas aku banyak kagetnya. Hari sudah sore!

"Oi, mau kemana?" Leona menahan niatku.

"Justru aku yang harusnya tanya, aku dimana?? Kelas tadi gimana? Aku absen dong jadinya?" gelagapku membuatnya mengatupkan telinga.

"Tck. Sekali absen aja, kan? sekali. Masih juga ada dua kali lagi buat bolos. Jangan panik-panik amat lah." jawabnya kesal.

"Justru ini panik yang bener. Itu kelas ngulang, Leona! Kalau semester ini nilaiku jelek lagi, aku bakal ngulang lagi. Kau nggak mikir nilai bagus jeleknya? Gimana bisa kamu nggak panik gini sih? Aku bingung, lho!—hmph!"

Leona membungkam mulutku dengan tangannya. Maniknya yang kehijauan dengan pupil segaris tajam menatapku begitu dekat, sudah seperti predator sungguhan yang menatap mangsanya.

"Lalu, mengorbankan kesehatanmu hanya karena angka-angka itu. Kau yang bodoh atau gimana? Percuma saja kalau kau mengumpulkan nilai sebagus mungkin tapi berakhir di rumah sakit, terlebih lagi..."

Leona tak melanjutkan kata-katanya. Tak ada satu pun dari kami yang ingin melanjutkannya, karena jelas paham apa kelanjutannya.

Berita universitas tiga bulan lalu, "Seorang mahasiswa menjatuhkan diri dari atas gedung tinggi yang diduga karena depresi berat, dikabarkan meninggal dunia."

Leona melepas tangannya dari mulutku, dia berjalan melewatiku, "Kita kembali."

====================

Singkat cerita aku dengan dirinya sampai di kembali di kampus, di dekat gedung fakultas.
Meski hari sudah senja, aku masih bisa melihat kampus yang ramai.

"Bisa pulang sendiri?" tanya nya, belum juga kujawab dia berkata lagi, "Aku mengantarmu hari ini."

Bibirku merapat saat dia mengatakan itu, walau dia tak mengatakannya wajah dengan wajah padaku, aku bisa merasakan bagaimana dia merona malu dengan kata-kata yang dia lontarkan padaku.

Lagi-lagi belum juga aku menjawabnya, beberapa mahasiswa berjalan kemari memanggil namanya.

"Leona! Kau darimana saja, sih?" seorang menghela seperti sudah mencari Leona sampai ujung dunia, "Jangan bilang kau lupa hari ini kita ada diskusi persiapan turnamen minggu depan!"

Leona membelalakkan matanya, "Sore ini? a-ah, jelas aku tidak lupa, kau pikir aku siapa." sekali lagi dia dengan senyum congkaknya.

"Baguslah, yuk lah kalo gitu!" kawanannya itu mulai membawanya pergi. Namun Leona memilih berhenti dan menoleh padaku sebelum berjalan mengikuti.

"Maaf (y/n), aku—"

Kepalaku menggeleng, "Tenang saja, aku bisa pulang sendiri, kok! Sudah sana. Kau harus ikut juga kan, kapten?" manik kananku berkedip padanya.

Leona sempat tersentak entah karena apa. Dia kemudian mengangguk sebelum mengikuti kawanannya, sementara aku berjalan memunggunginya kearah lain, menuju tempat parkir untuk pulang.

Saat aku beranjak pergi, Leona menatapku kembali. Tatapnya bertahan selama beberapa detik, seperti memastikan aku sungguh baik-baik saja berjalan sendiri.

Nantikan Turnamen Frisbee antar fakultas!

"SPELLDRIVE"

20 Juli 20xx || 12.00

Lapangan Frisbee kampus xxxx

Tulisan dalam kertas pengumuman yang menempel di tiang peneduh trotoar kampus kami.

=================

Dan author malah terbangun, padahal pengen mimpinya lanjut..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro