Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

0.

Boboiboy hanya milik Monsta, aku meminjamnya saja.

Umur tokoh utama:

-Halilintar 15 tahun.

-Taufan 15 tahun.

-Gempa 15 tahun.

-Blaze 14 tahun.

-Ice 14 tahun.

-Thorn 13 tahun.

-Solar 13 tahun.

Hope u enjoy.

Selamat membaca!

][

Siang ini Taufan sangatlah bosan. Bagaimana tidak? Saudara sepermainannya -Blaze dan Thorn- disuruh mengerjakan PR oleh Halilintar. Mereka juga tidak bisa menolak karena ancaman Halilintar sangat mengerikan.

"Kalau belum beres sampai besok, Boy kubuang."

Tugas mereka sangatlah banyak. Semua PR itu telah menumpuk dari awal bulan dan ini telah masuk akhir bulan dimana Gempa akan berbelanja.

'Ah! Aku ikut Gempa aja!'

Taufan bangkit dari duduknya. Ia berjalan mencari keberadaan Gempa.

"Gempa!" panggilnya. Tapi tidak ada sahutan sama sekali.

Sudah tiga kali Taufan memanggil, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Baiklah, ia akan bertanya pada kakak sulung.

"Hali!" tetap sama. Tidak ada jawaban juga.

"Ish! Solaaaaaarrr!" panggilnya panjang agar terdengar, namun nihil.

Oke, sekarang tinggal satu lagi.

"Ic-"

"Apasih kak berisik."

Taufan menoleh ke arah suara dan menemukan Ice dengan plushie dalam gendongannya.

"Gempa mana?"

Ice menguap. "Belanja bulanan sama kak Hali dan Solar."

Krek.

Hati Taufan telah diretakkan oleh kecemburuan.

'Masa Hali sama Solar diajak tapi aku nggak?' tanya nya lirih dalam hati.

Seakan mendengar suara hati Taufan, Ice tiba-tiba berkata "kemarin kak Gempa ajak kakak kan? Tapi kakak nggak mau."

"Itukan kemarin, sekarang aku berubah pikiran." balas Taufan pura-pura ngambek tidak mau disalahkan.

Ice memeluk erat plushie nya. "Daripada ngambek, mending kerjain PR kak." ucap Ice diakhiri menguap.

"Ohh, aku nggak ada PR." jawab Taufan enteng.

Ice mengerling. "Masa sih."

Taufan mulai keringatan. "Yap!" jawabnya lagi berusaha tidak terlihat mencurigakan.

"Mustahil." Ice berbalik ke belakang hendak menaiki tangga menuju kamarnya. Diperjalanan dia berkata "Nanti kulaporkan ke kak Hali."

"Ampun! Jangan Ice!" Taufan memohon sampai memerlihatkan puppy eyes nya yang mirip dengan Thorn.

Padahal Ice hanya pura-pura saja, ternyata kakaknya ini benar-benar ada PR.

"Maaf, aku udah di amanati sama kak Gem, katanya kalau ada yang nggak ngerjain laporin." Ice melanjutkan langkahnya yang terhenti tadi.

Baru saja melangkah, langkah Ice kembali terhenti saat sebuah tangan mencengkram kakinya.

"Huhuu, jangan Ice, aku nggak bisa ngerjain PR, pelajarannya hitung menghitung." lirihnya dibawah sana.

Ice terdiam dengan ekspresi datar. "Tinggal pakai kalkulator." Ice hendak beranjak lagi tapi ia tidak tega jika harus melangkah kuat-kuat sampai cengkraman kakaknya terlepas.

"Harus pakai rumus," lirihnya lagi.

Ice menghela nafas. "Tinggal lihat rumusnya lalu hitung pakai kalkulator."

"Aku nggak paham apa-apa..." Taufan mendongak melihat wajah Ice. Ice tersentak saat melihat wajah kakaknya yang paling ceria itu, matanya berlinangan air.

"Maaf kak, ini demi kebaikan kakak." ucap Ice pelan.

Taufan pun mengangguk lalu melepaskan cengkramannya di kaki Ice.

'Aihh, aku harus pakai cara lain untuk membujuk Ice!'

Bohlam kuning bercahaya muncul didekat kepala Taufan.

"Hufft, padahal tadinya aku mau membuat sesuatu yang manis dan enak, tapi kayaknya nggak bisa deh, PR banyak sih." ucapnya sengaja dikeraskan agar terdengar oleh Ice yang sudah melangkah jauh diatas sana.

Baiklah kita tunggu.

'Bentar lagi nih, 1...2...'

"Kak, gimana kalau kubantu kerjain PR?"

'Lah!!!!!'

"Ah, nggak usah, gimana kalau kamu nggak perlu bilang ke Gempa?"

"Nggak." Ice yang tadinya datang untuk membantu Taufan itu kembali pergi untuk melaksanakan niatnya yaitu tidur.

Taufan melongo.

Jika Ice tidak membantunya, dia tidak akan bisa mengerjakan PR nya. Jika ia tidak mengerjakan PR nya...

... Boy akan dibuang!?

Tidak! Boy itu kucing kesayangannya! Bahkan dia yang menemukannya!

"Ice! Bantu aku!" Ice tidak menyahut.

Taufan berlari ditangga untuk menyusul Ice yang tertidur di karpet ruang tengah diatas karena kamarnya berisi Blaze yang mengunci pintu karena tidak mau diganggu saat menyelesaikan PR nya.

"Ice! Bangunlah!" Taufan mengguncang keras bahu Ice.

Memang cara membangunkan yang kurang manusiawi.

Namun Ice tak kunjung bangun.

"Ice, nanti kubuatkan sesuatu deh," bujuk Taufan.

'Yess!' kuharap kalian tahu ini batinan siapa.

Tentu saja itu batinan Ice yang sudah menduga ucapan Taufan yang tadi ingin buat makanan manis itu bukan sekedar keluhan.

Mata Ice terbuka. "Ayo."

Taufan melongo untuk yang kedua kalinya.

"Ayo kak." Ice menyambar tangan Taufan lalu menariknya ke kamar Trio Original.

Taufan tersadar lantas mengambil buku dan alat tulisnya.

"Dibawah aja." saran Ice dan diterima dengan baik oleh Taufan.

Mereka berjalan menuruni tangga. Sesampainya dibawah, mereka melangkah ke dapur. Taufan meletakkan buku dan alat tulisnya diatas meja makan lalu mulai membuka bukunya.

"Nih, soal nya." Taufan menyodorkan buku yang sudah dibuka lembarannya.

"Cuma sepuluh soal dan kakak bilang nggak akan keburu bikin sesuatu yang manis?"

"Hey, kau mengajariku karna ingin sesuatu yang manis?" tanya Taufan.

"Nggak, kalau karna itu, mending aku nggak usah bilang ke kak Gempa dari pada harus capek-capek ngajarin kakak."

Taufan menatap datar adiknya. "Yaudah! Silahkan ajari aku!" ketusnya. "Memangnya kau yang masih kelas delapan ini bisa mengajarkanku yang kelas sembilan?" tanya nya meremehkan.

Ice tidak menjawab dan hanya fokus membaca materi di buku paket milik Taufan. Ia baru menjawab saat telah selesai membaca. "Bisa."

"Oooh, kalau gitu coba ajari aku, mr.genius." cibirnya.

"Mari, mr.moron."

"Hey!!!!!" Taufan cemberut dan kesal karena dikatai moron (bodoh). Tapi tidak apa, toh, kenyataannya benar.

Ice mengambil buku paketnya dan mulai menjelaskan pada Taufan bagaimana caranya memasukkan angka ke rumus yang diberikan.

"Ini namanya Teorama pythagoras kak, mudah aja. Kakak tinggal mempangkatkan dua sisi yang udah diketahui jumlahnya ini."

"Ini segitiga siku-siku, coba tunjukkan otot tanganmu kak."

Taufan menurut saja. Ia merentangkan tangan kanan kesamping kanan, lalu mengepal tangannya dan mengangkat lengan depannya keatas sampai membentuk sudut 90°.

"Ototku lumayan besar ya?" tanya nya dengan senyuman menyebalkan yang khas.

"Aku bukan mau liat ototmu. Liat ini, sikut kakak membentuk sudut 90°"

"90°?"

"Astaga, 90° itu seperti jalanan yang ada di film sponkbop, yang episode bis itu," jelas Ice dengan mengambil contoh lain yang mudah agar bisa masuk ke otak kakaknya.

"Yang curam banget itu?" tanya Taufan. Ice mengangguk.

"Liat lenganmu kak, bayangkan saja itu jalanannya, miringnya sama kan? Nah itulah 90°"

Taufan melihat lengannya lantas manggut-manggut.

"Coba kakak gambarkan sudut 90°." Ice memberikan pensil pada Taufan.

Taufan mulai menggambar seperti sudut itu. Ice pun bertepuk tangan pelan dengan ekspresi datar khasnya saat Taufan menggambar dengan benar.

"Materi yang ini tujuannya menghitung satu sisi segitiga yang belum diketahui kak. Kalau soal yang dibuku kakak, cuma menghitung sisi miringnya aja."

Ice mengambil alih pensil dari tangan Taufan lalu mulai menggambar sudut 90° yang lebih rapih.

"Coba kakak ukur berapa panjang garis yang vertikal ini." Ice menunjuk garis sudut yang menghadap keatas. Taufan mengambil penggaris disaku nya lalu mulai mengukur.

"3cm."

"Ukur panjang garis yang horizontal juga." Ice menunjuk garis yang tersisa.

"4cm."

Ice menulis ukuran setiap garis di samping garis-garis nya. Sekarang ia mengambil penggaris itu dari Taufan dan melemparnya ke sembarang arah.

"Penggarisku.." lirih Taufan yang tidak dipedulikan.

Ice menarik garis miring, dan jadilah segitiga siku-siku.

"Sekarang kakak hitung garis yang ini panjangnya berapa." ucap Ice menunjuk garis miring yang baru ia buat.

Taufan bangkit dari kursi hendak mengambil penggarisnya yang dilempar Ice, tetapi lengan Ice menghalanginya.

"Hitung kak, bukan ukur." ucapnya.

"Hah? Gimana mau kuhitung kalau nggak pake penggaris?"

Ice tersenyum. "Inilah gunanya pythagoras."

Ice menarik tangan kakaknya pelan hingga ia terduduk. Taufan diam memperhatikan Ice yang mulai mengambil pensil untuk menjelaskan materinya.

"Berhubung otak kakak sedikit penyok, aku akan mengajarkannya tanpa rumus yang berbelit." ucapnya berniat membantu tapi memberi kesan meledek.

"Adik durhaka!" seru Taufan tapi lagi-lagi diabaikan. Taufan sabar kok, tenang.

"Ini kak, dua sisi yang udah kita tau, 3cm dan 4cm. Kalau kita mau tau sisi yang miring ini, caranya tinggal 3cm pangkat dua, ditambah 4cm pangkat dua, lalu hasilnya diakarkan."

"3 pangkat dua berapa kak?"

"Kenapa nanya aku? Otakku kan penyok." ketusnya seraya melipat lengan didepan dada.

"Ohh ternyata beneran peny-"

"Enggak! Tiga pangkat dua itu enam!"

Ice menatap Taufan dengan tatapan lebih datar dari biasanya.

"Kenapa? Salah?"

"Salah. Bukan tiga kali dua, tapi tiga dikali tiga."

Taufan terdiam sejenak. "Ohh iya ya!" ia menertawakan kebodohannya disebelah orang pintar. Taufan tampak berpikir.

"9?"

"Iya, terus 4 pangkat dua?"

"Umm, enam belas!"

Ice mengangguk. "Kakak tinggal jumlahkan 9+16." ucapnya seraya menulis. Taufan memperhatikan sengan serius.

"Berapa kak?"

"Dua puluh lima."

"Sekarang kakak akarkan 25 ini." kata Ice menunjuk angka 25 yang telah diberi akar olehnya.

"5 kan?"

"Iya."

"Jadi panjang garis yang miring ini 5 cm?"

Ice menggeleng. "Entah, coba pakai penggaris."

Taufan melongo entah untuk keberapa kalinya.

Ia pikir Ice itu pintar sampai berlagak menggurui dirinya, tapi apa? Ice sendiri tidak tahu jawabannya. Dengan kesal, Taufam mengambil penggaris yang tergeletak didalam wastafel.

Taufan mulai mengukur kemiringan itu dan matanya berbinar ketika hasilnya benar. "Ice! Ini benar!" kekesalannya seketika meluap.

Baiklah, ia tidak akan meragukan kepintaran adiknya ini.

Ice hanya manggut-manggut saja. Taufan memeluk Ice dan karena Ice sedang tidak malas, ia membalas pelukan itu.

"Makasih Ice!"

"Sama-sama, mana makanan manisnya?"

Taufan melepas pelukannya. Ia menatap Ice. "Merusak suasana aja!" ketusnya lalu mulai berjalan ke dekat kulkas, hendak melihat persediaan makanan yang tersisa.

"Ah, nggak ada bahan Ice!"

Ice cemberut. Taufan tidak tega. Ia menggeledah isi kulkas dan menemukan kulit puff pastry. Ia mengeluarkannya lalu menutup kulkas. Ekspresinya tampak berpikir. Setelah melihat setandan pisang di samping wastafel ia mulai mendapat ide.

"Tenang Ice, aku akan buatkan makanan manis untukmu!"

Ice yang tadinya lesu kini kembali sumringah. Tatapannya mengikuti Taufan yang mengambil loyang, talenan, dan pisau.

"Bikin apa kak?"

Taufan tampak berpikir. "Umm, pisang?"

"Ha?"

"Pokoknya gausah tau, kamu tau makan aja."

Ice mendengus lalu merebahkan kepalanya diatas meja makan.

Taufan mengambil oven manualnya yang tidak memakai listrik melainkan kompor. Oven itu ditaruh olehnya diatas kompor. Setelah itu, ia mencabut dua pisang dan menyimpannya diatas plastik yang dipakai untuk melapisi meja.

Setelah itu, Taufan membuka kardus puff pastry dan mengambil selembar yang panjang dan tebal. Ia memotongnya secara vertikal diatas meja dengan jarak masing-masing 4 cm.

Ia hanya memotong 2 saja karena yang memakan masakan ngasalnya hanya ia dan Ice. Setelah selesai, Taufan melilit masing-masing pisang dengan satu puff pastry yang panjang sampai seluruh permukaan pisang tertutupi.

Ice bangun dari tidurnya, ia menyandarkan diri ke sandaran kursi kayu yang didudukinya. Manik aquamarine nya menangkap penampakan dua makanan mentah yang di buat Taufan. Ia mengernyitkan alis.

'Kak Taufan bikin apasih, kayak ulet.'

Taufan datang membawa semangkuk kecil parutan keju, dua mangkuk kecil ditumpuk berisi telur yang belum dipecahkan, serta susu kental manis yang disangkutkan di ketiaknya.

Melihat kakaknya repot begitu, hati Ice sedikit tersentil. Apalagi tugas kakaknya belum dikerjakan sama sekali.

"Ada yang bisa kubantu kak?"

Taufan menoleh. "Ada, tolong loyangnya dikasih mentega ya," ucapnya lembut. "Jangan terlalu tebal."

Ice mengangguk dan bangkit dari kursinya. Ia mengambil mentega didalam kulkas dan mengoleskannya ke permukaan loyang.

"Oh Ice! Tolong nyalakan kompor yang diatasnya ada oven!"

Ice menurut, ia menunda pengolesannya dan mulai menyalakan kompor dengan api sedang. Setelah itu ia melanjutkan pekerjaannya mengoles loyang dengan mentega. Tanpa sepengetahuan Taufan, Ice menjilat jarinya yang terdapat sedikit mentega.

'Kenapa krisna suka mentega? Padahal nggak ada rasanya.' sang adik itu malah memikirkan yang tidak perlu.

Sementara itu, Taufan tengah memisahkan kuning telur di meja. Setelah selesai, ia menuangkan sesendok susu kental manis kedalam mangkok berisi kuning telur, lantas mengaduknya menggunakan kuas khusus. Setelah teraduk rata, Taufan menghampiri Ice dan meminta loyangnya.

Taufan meletakkan dua pisang yang telah dililit itu diatas loyang, lalu mulai mengolesi permukaannya dengan kuning telur yang ia campurkan dengan susu kental manis itu menggunakan kuas. Setelah permukaannya teroles rata, ia menaburkan keju diatasnya.

Mata Ice berbinar saat melihat itu. Tangannya tanpa sadar mengudara hendak mengambil salah satu, tetapi ditepis pelan oleh Taufan.

"Belum mateng sayang." Taufan tersenyum.

Ice tersenyum dengan perempatan di pipinya. "Najis kak."

Taufan mengabaikannya. Itung-itung balas dendam.

"Kak, kenapa cuma bikin dua? Yang lain nggak makan?"

Taufan terdiam. "Iya juga ya." Taufan mulai mencabuti pisang dan memotong puff pastry lagi.

"Biar kubantu." Ice mengambil satu pisang dan satu puff pastry. Ia melilit pisang sambil melihat cara Taufan melilitnya.

Dan hasilnya, lilitan Ice lebih rapih daripada kakaknya. Taufan menatap iri tapi tidak lama. Taufan memperlakukan lima pisang ini seperti dua pisang sebelumnya yaitu di olesi dan ditaburi.

Setelah selesai, barulah Taufan memasukkan loyang kedalam oven, tidak lupa memakai sarung tangan tebal khusus.

"Beres, tinggal nunggu." ucapnya seraya menepuk-nepuk tangannya berusaha menghilangkan debu yang menempel.

"Kak, kerjakan PR mu." ucap Ice lalu menyodorkan buku Taufan.

"Iya deh." Taufan duduk kembali di meja makan bersama Ice. Ia mulai mengerjakannya sampai nomor 3, dan itu butuh waktu hampir 15 menit.

"Oh iya! Aku harus memutar loyang nya biar nggak mateng sebelah." Taufan bangkit lalu memutar loyangnya lalu duduk lagi mengerjakan PR nya. Terus begitu sampai PR nya beres dan makanan asal-asalan buatannya berwarna coklat keemasan sempurna.

Aroma nya semerbak sampai ke lantai atas, kamar Blaze, bahkan kamar Thorn. Mereka bedua turun untuk mendatangi sumber aroma itu. Ice juga bahkan terbangun.

"Assalamualaikum, kita pulang!" Gempa memberi salam mewakiki si sulung dan si bungsu yang datang bersamanya.

"Waalaikumsalam." jawab Ice dan Taufan yang berada didapur, dan Blaze Thorn, yang berada di tangga hendak menuju kebawah.

"Wangi apa nih?" tanya Solar mengikuti aroma menakjubkan itu.

"Ada yang masak?" tanya Gempa. Ia menurunkan kresek besar berisi belanjaannya di dekat sofa ruang tamu.

Halilintar tidak berkomentar. Hanya mengikuti aroma enak itu sampai ke sumbernya bersama Solar. "Kau masak Fan?" tanya nya.

"Iya dong."

"Tumben kak Ufan berbakat." ucap Solar membuat Taufan kesa.

"Aku memang berbakat." balasnya seraya mengibaskan rambut tebalnya yang dibasahi keringat hanya dengan gerakan kepala.

Solar hanya mencibir.

Halilintar melihat Taufan yang mengeluarkan seloyang makanan dari dalam oven. Taufan menyimpannya di meja makan, disamping bukunya berada.

"Jangan dulu dimakan, masih panas, tunggu hangat aja." ucap Taufan.

Blaze dan Thorn datang.

"Kak Upan bikin apa? Thorn mau!"

"Ah, ini cuma pisang,"

"Hah? Pisangnya diapain kak?" tanya Blaze sedikit ambigu tapi masih bermaksud positif.

"Dililit." Taufan menatap Gempa yang menatap hasil karyanya. "Gem, maaf ya, kulit puff pastry di kulkas ku pakai."

Gempa menoleh. "Nggak papa, lagian bentar lagi kadaluarsa dan aku nggak tau mau menghabiskannya gimana, makasih Fan."

Taufan tersenyum malu. "Sama-sama." balas nya. "Kalian bau, kenapa nggak mandi dulu?" tanya nya pada Gempa, Halilintar, Solar, Thorn, bahkan Blaze.

Thorn dan Blaze keringatan pastinya, mereka kan dari tadi dikamar mengerjakan PR. Itu melelahkan menurut mereka.

"Iya, ayo mandi dulu, nanti boleh makan masakan Taufan." ajak Gempa pada semua saudaranya. "Ngomong-ngomong Fan, kau juga bau!" lanjut Gempa menyadarkan Taufan.

Taufan terkekeh seraya menggaruk pipinya. "Iya, aku mau mandi kok, di kamar mandi bawah."

Yah, pada akhirnya mereka semua mandi kecuali Ice. Ice baru mandi kok, dan ia tidak mengeluarkan banyak keringat seperti saudara-saudaranya. Ia hanya menunggu di meja makan dengan air liur yang terkumpul di dalam mulutnya ketika melihat makanan diatas loyang itu.

5 menit berlalu, saudara-saudara itu mulai selesai dari mandinya. Mereka mandi di kamar masing-masing yang sudah tersedia kamar mandi didalamnya, jadi tidak perlu lama bergantian. Meski hanya ada satu kamar mandi di setiap kamar, dibawah juga masih ada tiga kamar mandi lagi.

Mereka datang. Taufan dengan handuk basah melilit bagian bawah badannya, begitu pula Halilintar dan Blaze. Mereka mandi di kamar mandi bawah. Sedangkan Gempa, Thorn, dan Solar datang dari atas dengan pakaian lengkap. Thorn bahkan menggendong Boy yang sedari tadi menemaninya mengerjakan PR.

"Boy mau pisang? Kak Upan katanya masak pisang, kayaknya enak kalau dinilai dari baunya!" serunya girang pada kucing tersayang.

"Meong (aku bukan monyet sepertimu.)"

Sayang sekali Thorn tidak mengerti bahasa kucing. Andai dia tau.

"Baiklah! Ayo kita makan pisang!" serunya lagi seraya mengelus kepala kucing di gendongannya.

"Thorn, kucing nggak suka makan buah." ucap Solar dari belakang.

"Yahh, kamu nggak dapet jatah Boy!" seru nya lagi tanpa ekspresi sedih.

"Meong (serah)"

Gempa hanya menyimak sambil tersenyum. Mereka sampai di meja makan dan mulai duduk di kursi masing-masing. "Hali, Taufan, Blaze, pakai baju dong!" titah Gempa pada tiga saudaranya yang telanjang dada.

"Males." jawab Halilintar.

"Nanti keburu habis." jawab Blaze.

"Gini aja, nyaman kok." jawab Taufan.

"Bikin salfok kak!" ketus Solar.

"Iyadeh," mereka berlarian ditangga kecuali Halilintar. Ia hanya berjalan santai seperti biasa.

Tidak lama, mereka datang dengan kaus polos berwarna favorit mereka masing-masing.

Tujuh bersaudara itu duduk di tujuh kursi dan mulai memakan buatan Taufan. Yang membuat sebenarnya belum memakan. Ia berkeringat dingin menunggu penilaian dari saudara-saudaranya.

"Ini... Enak!!!!" seru Ice yang baru saja memakan sesuap.

"Betul betul betul!" ucap Thorn yang setuju.

"Mmm, kwak twaufan, hebwtt!" seru Balze yang sedang mengunyah.

"Blaze, telan dulu baru bicara," nasihat Gempa. "Taufan, ini enak lho, makasih ya!"

Taufan bangga dengan dirinya. Ia tersenyum lebar dan mulai memakan masakannya sendiri. "Sama-sama Gem."

"Kak Taufan, kukira kakak nggak berbakat apa-apa, ternyata kakak berbakat banget kalau bikin ginian!" seru Solar yang telah menelan kunyahan pertamanya.

Taufan setengah kesal setengah senang, tapi biarlah, lebih banyak yang memujinya daripada meledeknya. Ia menatap kakak sulung yang makan dengan mata berbinar meski tatapannya datar. Baik, ia tahu Halilintar menyukainya meski tidak mengungkapkannya.

"Fan, pisangnya.... Pisang raja bulu?" tanya Gempa.

"Entah, aku pakai yang dekat wastafel, pas banget tinggal tujuh."

"Iya, ini pisang raja bulu. Pisang nya enak kalau buat dimasak, dan kau jangan pakai pisang lain ya." ucapnya.

Taufan menghentikan kunyahannya. "Kenapa?"

"Kalau pakai pisang lain, rasanya nggak akan semeresap ini, untung kau pakai pisang ini." Gempa tersenyum lantas menggigit pisang lagi.

Taufan manggut-manggut.

Hari ini ia merasa sangat berguna, ia sangat senang dengan pencapaiannya mengerjakan PR tanpa bantuan Otakly di internet dan ia juga menciptakan resep baru untuk ditulis dibuku masakan Gempa.

End.


Gaada yang mau follow gitu?😗😗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro