Tidak Ingin Bertemu
Gelap.
Gelap gulita.
Engap.
Aku kesulitan bernapas, detak jantungku menggila saat kakiku terasa menapak lantai yang dingin.
Aku takut, tapi berusaha tenang dengan mengingat kebiasaan Ayah saat mati lampu. Dia akan membacakan cerpen-cerpen buatan Ibu. Ibu adalah seorang penulis. Penulis gila, gila nulis maksudnya karena saking rajinnya, dengan daya khayal tinggi. Dia menulis cerpen, novel, bahkan artikel yang tertempel di koran yang sering Ayah antarkan ke rumah-rumah dulu. Cerpen pertamanya yang berada di muka koran berjudul Diwangka, sedangkan novel pertamanya yang terbit di penerbit mayor berjudul Saranjana, sebuah kota ghaib pengabul harapan bagi mereka yang nyaris rapuh dan kehilangan harapan untuk hidup. Tulisan-tulisannya penuh keajaiban dan motivasi. Ibu bahkan pernah menulis tentang SCP, organisasi yang bertujuan untuk menyelidiki, menangkap, dan mengisolasi objek-objek supranatural. Aku tidak suka tulisannya yang itu, tapi Ayah suka sekali. Katanya itu favoritnya.
Terlepas dari semua itu, karena tulisan Ibu yang sering Ayah bacakan, aku yang awalnya ragu dengan ucapan Mbak Sekar berusaha untuk percaya.
Ternyata, keajaiban memang ada.
Lampu menyala.
Gelap sirna. Mataku bersirobok dengan sepasang mata yang membuka kaget dari tidurnya karena benda jatuh dari arah dapur.
Tangisan bayi terdengar nyaring.
Aku mendesah lelah, memandang diriku. Apalagi kali ini? Yang pertama aku bisa memyentuh, tapi tak terlihat tak terasa. Yang kedua aku berada dalam tubuhku saat usia empat bulan. Lalu sekarang?
Aku mendekati boks bayi, mencoba menyentuh pipiku versi mini, tapi tanganku menembusnya.
Oke, jangan kaget, Dis.
Tapi ini menjengkelkan!! Ya Tuhannn tolonggg waktuku tidak banyak lagi. Hanya tersisa dua bunga lagi.
"Gadis ...."
"Ibu, Dis ...."
Pria paruh baya yang sangat aku kenali, tapi kini masih terlihat segar bugar itu membuka pintu kamar dengan kondisi yang berantakan. Otomatis, aku melihat ke arah tanggalan.
Ini ....
Ini hari kematian Ibu ....
Aku menahan diri untuk tidak menangis melihat secara langsung bagaimana hancurnya Ayah.
Ayah menangis. Suaranya tidak kencang. Dia juga tidak memaki. Namun, suaranya sangat pilu, menyayat tiap-tiap detak jantungku hingga rasanya diremas-remas.
"Anak cantiknya Ayah nggak boleh nangis juga, ya. Cup cup cup."
Dengan kondisi berlinang air mata dan tubuh yang bergetar hebat, Ayah membawaku yang masih bayi ke dalam pelukannya. Namun, tangisanku semakin nyaring. Tangisan Ayah semakin terdengar jelas.
"Den Bagus, sini biar Ibu yang gendong Gadis." Nenek muncul, wanita itu mencoba tersenyum di balik wajah lelahnya.
Tanpa mengulur waktu, Ayah memberikanku pada Nenek. Seketika, tangisku berhenti.
"Bagus nggak kuat ke depan, Bu." Ayah tercekat. Tatapannya sungguh menyakitkan. "Bagus masih nggak yakin Denayu sudah nggak ada ...."
Tangan Nenek yang bebas merangkulnya. Tangis Ayah kembali pecah, disusul tangisku dalam dekapan Nenek.
Ini .... Ini pertama kalinya aku melihat Ayah seperti ini. Aku memilih mendekat, masa bodoh dengan tubuh yang menembus mereka bertiga. Aku memejamkan mata, semakin merasakan rasa sakit dan beban berat yang Ayah rasakan selama ini.
Aku anak durhaka.
Aku anak durhaka.
Gadis bukan anak Ayah yang baik.
"Gadis anak Ayah yang baik."
Aku menelan ludah kasar, mendongak, melihat Ayah yang mencium kening aku yang masih kecil lama sekali. "Gadis anak Ayah yang baik, jangan rewel ya, Nak."
Pria itu mencoba tersenyum. Dengan tangan bergetar, menggenggam tangan Nenek.
"Kamu harus ke depan, Gus. Kamu harus lihat Denayu. Kamu harus ikhlas. Terima semua ini .... Kamu harus ke depan sekarang. Jangan menyesal nggak lihat dia dikebumikan."
Lalu, rasa pening itu hadir lagi. Tidak usah lama-lama. Kesadaranku kembali ke masa depan.
Aku menarik napas panjang. Rasanya lemas. Perjalanan waktu yang tidak jelas ini menghabiskan tenagaku. Aku menyandarkan punggung pada sandaran kursi mobil.
Bunga di tanganku yang belum layu tinggal dua. Aku melihat jam tanganku. Aku sudah melakukan perjalanan waktu tiga kali. Sekarang masih jam dua belas siang. Itu artinya setiap perjalanan tidak sampai seperempat jam.
Aku merapalkan doa.
Aku mohon ....
Kembali ke tempat di mana pun itu, tapi dengan aku yang bisa mengucapkan maaf pada Ayah. Aku mohon ....
Setelah mantap, kutarik setangkai bunga lagi. Lalu, kuhirup wanginya hingga pusaran itu menyedotku lagi.
Sebuah kamar bernuansa abu dengan hiasan-hiasan bergambar bintang yang menggantung di langit-langit menyambutku pertama kali saat membuka mata.
Ini kamarku. Tidak mungkin aku tidak mengenalinya. Dulu, Ayah sengaja memasangnya khusus untukku saat usiaku menginjak delapan tahun.
Aku beranjak bangun, memperhatikan wajah dariku dari cermin yang terpasang di dalam kamar. Sesuai dugaan, aku kembali ke masa kecilku, lagi.
Baiklah tidak apa-apa. Setidaknya usiaku ini tidak menghalangiku untuk berbicara dengan Ayah.
Semoga saja.
"Gadis. Ayah masuk, ya."
Aku menoleh saat mendengar suara kenop yang dibuka, lalu di susul dengan sosok Ayah yang muncul di balik pintu.
"Ayah." Aku menatap Ayah dalam saat sentuhan tangannya mulai membelai rambutku begitu nyata terasa.
Akhirnya, waktu yang kunantikan datang.
"A-ayah..., Gadis...."
"Kata Nenek, Gadis pulang dari sekolah sambil nangis tapi enggak mau cerita, kenapa anak cantik Ayah ini, hm? Ada yang gangguin Gadis di sekolah?"
"Ayah, maafin Gadis, " ucapku, tetapi bukan kalimat itu yang terucap dari bibirku.
"Tadi di sekolah, teman-teman ejekin Gadis karena enggak punya Ibu. Temen-temen bilang kalau keluarga Gadis aneh."
Tunggu.
Bukan kalimat itu yang ingin aku katakan pada Ayah.
Ada apa ini?
"Siapa yang berani bilang seperti itu ke Gadis? Bilang sama Ayah. Biar Ayah cubit perutnya nanti. Beraninya ganggu anak Ayah ini."
Aku menggeleng. Bukan itu Ayah, bukan itu yang ingin Gadis katakan.
Aku mengangkat tangan, mencoba menggenggam tangan Ayah. Bisa.
Sentuhannya terasa nyata, tetapi kenapa suara yang keluar dari bibirku malah berbeda?
Seperti ada dua yang sosok yang mendiami tubuhku.
"Ayah, Gadis menyesal. Maafin, Gadis."
"Memang salah ya Ayah kalau Gadis enggak punya Ibu?"
Argh!
Kenapa seperti ini?
"Eh, anak Ayah kok nangis. Jangan nangis dong."
Kenapa sesulit ini, Ayah?
Aku hanya ingin maaf darimu, tetapi kenapa waktu sepertinya tidak pernah berada di pihakku.
Apa tangkai keempat ini juga akan gagal?
Apakah aku memang tidak punya kesempatan?
"Sst, sini-sini Ayah peluk."
Ayah membawaku ke dalam dekapannya. Sentuhan tangannya di punggungku, kecupannya di puncak kepalaku begitu menenangkan terasa.
"Enggak punya Ibu bukanlah kesalahan, Gadis, tapi memang itu sudah garis takdir Tuhan. Gadis masih punya Ayah."
"Maafin Ayah belum bisa jadi yang terbaik buat kamu."
"Ayah enggak perlu minta maaf. Gadis yang harusnya minta maaf. Maafin Gadis, Ayah."
Aku mengeratkan pelukan pada Ayah dengan tangis yang makin menjadi. Rasa pening itu mulai kembali terasa. Tidak, jangan sekarang.
Rasa pening itu semakin terasa dan setelahnya pelukan Ayah menghilang. Aku kembali ke mobil dengan mata sembap.
Aku menghela napas kasar, menunduk dalam.
Sudah tangkai keempat dan aku masih belum berhasil.
Apa memang Ayah sebenarnya tidak ingin bertemu denganku?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro