Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Golden Hour

   Ini tidak benar. Seharusnya bunganya bekerja. Atau keajaibannya justru tersembunyi dan sedang tidak ingin menampakkan diri.

   Ini salah. Seharusnya aku sudah bisa meminta maaf pada Ayah dan berhadapan langsung dengannya! Namun, kenapa belum juga? Kenapa bisa begini? Mana resolusi yang Mbak Sekar katakan?

   Mbak Sekar memang bilang bahwa aku bisa kembali ke masa lalu. Itu sudah terjadi, empat kali. Walau dengan keadaan yang menjengkelkan. Namun, katanya aku bisa meminta maaf pada Ayah. Mana? Empat kali aku hirup wangi bunga itu sampai bentukannya layu dan kembali ke masa kini, satu kata maaf dari bibirku belum ada yang Ayah dengar.

   Apa Mbak Sekar menipuku?

   Apa Mbak Sekar hanya bercanda?

   Ini sama sekali nggak lucu.

   Aku mengembuskan napas kasar, menatap keluar pada lalu-lalang kendaraan besi. Rasa bersalah, penyesalan, dan rindu itu semakin menggerogoti.

   Kalau ditanya, apa katamu kalau kamu memilih untuk terlahir kembali? Aku akan mengiyakannya sekarang juga. Aku ingin! Tapi aku ingin terlahir kembali dengan ingatan yang utuh, supaya ketika aku tumbuh menjadi Gadis yang baru, aku tidak akan mengecewakan Ayah seperti kemarin. Aku tidak akan meninggalkan Ayah sampai Ayah harus merasakan sakit sendirian. Tidak berada di sampingnya ketika Ayah membutuhkanku adalah dosa yang sangat besar.

   Kapan aku membalas kebaikannya?

   Belum, 'kan?

    Kapan aku membalas semua jasa-jasanya?

   Satu saja tidak pernah.

   Ketika Ayah meminta aku tetap tinggal, aku justru meninggalkannya. Ketika Ayah mencoba membuat studiku berjalan lancar, aku malah membuat Ayah kesepian di rumah dan menanggung penderitaannya seorang diri. Beasiswa full kataku dulu? Itu tidak berarti sama sekali ketika aku sadar, Ayah lebih berharga dari segala hal yang ada di dunia.

    Ya, Ayah sangat berharga.

   Ayah bahkan tidak pernah marah. Menbentak juga. Ayah selalu memanjakanku, tapi bagaimana sikapku? Mungkin karena sering dimanja, aku malah menjadi semena-mena. Mungkin karena kasih sayangnya, aku justru menjadi buta. Buta, tidak tahu prioritas. Melupakan jasa-jasa Ayah dalam hidupku. Melupakan percakapan kami sore itu.

    "Gadis harus jadi anak yang berani! Jangan jadi anak yang cengeng! Gadis harus bisa angkat dagu Gadis kalau teman-teman bilang Gadis nggak punya Ibu. Enak aja, Ayah ini juga Ibu kedua Gadis."

   "Gadis mau sama Ayah terus. Gadis nggak mau jauh-jauh dari Ayah. Gadis akan selalu sama Ayah. Gadis mau bantu Ayah kerja ngasih koran itu."

   "Jangannn, nanti punggungnya suka encok kayak Ayah, mau?"

   "Eh, nggak mauuu. Kalau gitu Gadis mau di rumah aja terus, nanti kalau Ayah pulang kerja Gadis pijit-pijit punggungnya, okay?"

   "Okay!"

    Aku melupakan semuanya.

   Sekali lagi, aku mengembuskan napas kasar. Aku menatap setangkai bunga anyelir yang masih segar di tanganku.

   Oke, masih tersisa satu kesempatan bertemu Ayah. Mungkin, tidak akan ada kesempatan lainnya lagi.

   Kalau aku tidak akan pernah bisa mengucapkan kata maaf padanya, mungkin aku hanya perlu ikhlas dan mencoba membanggakannya dari bawah sini.

    Tinggal satu kesempatan, aku akan menikmati semua momen tentang Ayah nanti. Aku akan merekamnya dan tidak akan melupakan Ayah lagi.

   Mantap, memejamkan mata, menarik napas, menghirup bunga anyelir itu. Rasa pening menghantam. Kepalaku berputar pusing hingga sepatu yang aku kenakan memijak lantai dengan pantat yang menduduki kursi empuk.

   Aku masih memejamkan mata. Merapalkan doa semoga ini bukan momen yang menyedihkan.

   "Gadis, lihat Ayah. Kamu mau bilang apa tadi?"

   Hah, ini kapan, ya?

   "Gadis."

   Sentuhan di bahuku membuatku menjengit kaget.

   "Kenapa kamu melotot begitu? Kamu sakit?"

   Aku menelan ludah kasar. Ini kenapa nyawaku yang di masa lalu diam saja?"

   "Ih, kok bengong? Kamu mau ngomong apa, Sayang?"

   "A-aku ...."

   Aku? Suaranya!! Suaraku membuat Ayah mengernyit.

  Tunggu, Ayah bisa mendengarku?! AYAH BISA MELIHATKU?

   Otomatis, aku melihat diriku. Ini aku ketika hari di mana memberitahu Ayah soal beasiswa itu.

  "Ayah ...." Mataku memanas. Ini saatnya. Saat yang aku nantikan.

   "Maaf, Ayah ...."

   "Loh, kok malah minta maaf. Kenapa?? Jangan buat Ayah panik," katanya memegangi pundakku yang bergetar karena isakan memilukan.

   "Maaf, Ayah .... Gadis mau di sini aja. Gadis dapat beasiswa full kedokteran di Jogja. Gadis nggak mau ambil itu, Gadis mau sama Ayah aja."

   "Heh, kok ngomongmu begitu? Ayah sudah carikan kos-kosan."

   Tangisku berhenti. Aku menatap Ayah bingung.

   "Ayah sudah bilang Pakde juga besok kita antar kamu ke sana."

   Kenapa ....

   Kenapa begini?

   Kenapa malah Ayah yang bersemangat? Ini berbeda dengan percakapan kami di masa depan.

   "Ayah nggak apa-apa di sini sendiri, Dis. Kamu yang pintar yah di sana. Jadi anak baik."

   "Tapi ..., Gadis enggak mau ninggalin Ayah sendiri. Percuma kalau nanti Gadis berhasil, tapi Ayah enggak bahagia." Aku menunduk dalam.

   Sekelebat ingatan saat di mana Pak RT memberitahu soal kematian Ayah membuatku semakin diliputi perasaan bersalah. Seharusnya saat itu aku tidak perlu iseng mendaftarkan diri ke Universitas di Jogja. Seharusnya saat itu aku ingat dengan janjiku untuk tetap berada di sisi Ayah.

   Lalu seharusnya, perkataanku saat ini bisa merubah segalanya, tapi kurasa tidak bisa. Ucapan maafku dan kata-kataku yang ingin tetap di sini tidak dapat merubah takdir yang telah terjadi.

    "Maaf, Ayah. Maafin, Gadis. Maaf sampai saat ini Gadis belum bisa jadi putri yang baik buat Ayah. Gadis banyak dosanya sama Ayah."

    Aku mendongak saat merasakan tangan Ayah menggenggam kedua tanganku. Kepalanya menggeleng pelan dengan kening mengerut. "Ayah enggak suka Gadis bilang begitu. Sampai saat ini, ataupun nanti Ayah enggak ada, Gadis adalah putri terbaik Ayah. Gadis anak baik, Ayah bangga sama Gadis."

    Mataku kembali memanas mendengar ucapan Ayah. Aku terisak pilu.

    "Tadi mukanya seneng kok sekarang malah sedih begini sih. Jangan pikirin soal Ayah, fokus saja dengan studi kamu, ya. Ayah nggak apa, Gadis."

    Aku memeluk Ayah, memeluknya erat dengan isakan yang semakin hebat.

    "Maaf, Ayah. Maafin, Gadis."

   Hanya maaf yang bisa aku katakan.

    "Sst, di mata Ayah, Gadis enggak pernah salah. Jadi, jangan minta maaf sama Ayah, Nak. Keputusan Gadis buat pergi itu enggak salah."

    Bisakah waktu berhenti di sini saja?

    Aku ingin memeluk Ayah lebih lama.

    Aku tidak ingin pergi.

   Aku tidak ingin Ayah pergi.

   Jangan .... Aku mohon.

    "Gadis harus pergi, ya. Jangan pikirin soal Ayah lagi. Harumkan nama Ayah dan Ibu."

    Aku menggeleng.

   Tidak, tidak mau.

    Rasa pening itu kembali menyergap kepalaku.

    Tidak.

    Jangan sekarang.

    "Ayah sayang banget sama Gadis."

    "Ayah!"

    Mataku terbuka. Ayah sudah tidak di hadapanku lagi, semua kembali ke keadaan semula dengan pipiku yang basah oleh air mata.

    Tangkai bunga anyelir terakhir di tanganku sudah layu. Sudah tidak ada lagi kesempatan untuk kembali.

    Memang begitu takdirnya.

    Bagaimanapun aku berusaha, sampai kapanpun mencoba lagi, aku tidak akan pernah bisa merubah takdir.

   Mungkin kata maaf bisa terucap, tapi penyesalan karena tidak bisa merubah apa pun akan selalu bercokolan di dada.
  
   Aku tidak menyesali waktu yang telah kulalui untuk bertemu dengan Ayah. Aku senang bisa melihatnya lagi meskipun itu hanya sebentar. Aku senang bisa mengucapkan kata maaf, walau itu tidak mengubah apa pun di masa kini.

   Golden Hour, nama toko itu. Jam ajaib. Membuatku sadar, bahwa waktu adalah emas. Waktu sangat berharga. Waktu tidak bisa diubah. Waktu akan terus berlari. Walau kita bisa kembali, kita tidak akan bisa merubah detaknya.

   Waktu adalah emas. Sesuatu yang berharga harus dilalui dengan  sebaik-baiknya.

   Ayah, kenanganmu kusimpan di tempat terindah dalam hatiku. Aku tidak bisa merubah apa pun, tapi aku akan berubah. Aku akan terus menjadi orang baik, agar waktu emasku berguna dengan baik juga.

   Ingat itu, Gadis ....

   

   

  

  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro