Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

❤Chapter 2 - Hasrat Terpendam Sang Ipar

Karya Kak LoVelly09

❤❤❤

Hanum POV

8 tahun kemudian

Akhirnya hari yang aku tunggu pun tiba. Semua beban selama ini membuat kepalaku berasap sudah menguar setelah perayaan kelulusanku di jurusan manajemen. Setelah ini aku akan bekerja di sebuah hotel bintang 3 sebagai Sales. Well, meskipun tidak terlalu pintar aku cukup piawai dalam menangani tamu selama magang di Velove hotel. Sehingga kepala HRD memberikan kesempatan sebagai karyawan tetap di sana.

Kakiku berhenti mengayun lalu aku celingukan di luar gedung setelah perayaan wisuda selesai. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari Topan, salah satu teman sejurusan yang aku taksir cukup lama.

“Topan!” panggilku setelah melihat pria dengan perawakan tinggi dan badan tegap itu. Kulitnya yang hitam manis membuatku selalu terpesona setiap melihatnya.

“Eh, Hanum. Happy graduation ya.” Topan memberiku selamat.

“Kamu juga,” jawabku.

“Ya udah, aku kesana dulu ya. Keluargaku udah nungguin,” kata Topan.

“Topan tunggu!” Aku menghentikan langkah Topan. Lantas dia menoleh kepadaku.

“Ada apa, Num?”

Aku menelan saliva berulang kali. Berusaha menyiapkan kata-kata untuk mengungkapkan perasaanku. Detak jantung kian memburu. Sepertinya Topan bisa mendengar jika aku maju beberapa langkah mendekatinya.

“Num, buruan. Aku udah ditungguin nih.” Topan sepertinya sudah tidak menunggu lebih lama lagi.

“E…eeee…. A….” Aku memilin ujung kebayaku sambil mengumpulkan keberanian. “Aku suka sama kamu,” ucapku secepat kilat. Lantas menunduk malu.

“Ha? Kamu suka sama aku?” Topan memastikan dan aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Alih-alih langsung menjawab, Topan justru terkekeh sambil mengamatiku dari ujung kaki hingga ke puncak rambut. Aku yakin dalam balutan kebaya merah maroon dan rambut yang digelung rapi serta make up soft membuatku semakin cantik di hadapan Topan. Aku cukup percaya diri. Karena selama ini tidak sedikit cowok yang menyukaiku.

“Kamu cantik, Num.” Ucapan Topan berhasil membuatku tersenyum. “Tapi, kamu bukan tipeku.”

Sontak senyumanku surut.

“Maaf, tapi bagiku kamu terlalu dominan untuk seorang cewek. Aku kurang suka,” tambah Topan.

Aku hanya bisa terdiam. Tidak ingin menangis, tetapi aku merasa harga diriku dijatuhkan.

“Andai kamu lebih kalem kayak Mbak Ajeng.” Ucapan Topan barusan membuatku langsung mendongak kepala. Memberikan tatapan penuh tanya ditambah alis yang nyaris menyatu.

“Mbak Ajeng?”

“Iya. Mbak Ajeng itu tipeku. Anteng dan nggak neko-neko.” Topan menghela napas sebentar. “Sayang udah nikah dan punya anak.” Kemudian Topan mengusap pundakku.

“Maaf ya, Num. Suatu saat kamu pasti akan ketemu cowok yang pas. Aku pergi dulu.”

Topan langsung melenggang pergi. Sementara aku masih terdiam dengan kedua lutut yang lemas. Entah mengapa aku tidak sedih, tetapi justru sangat kesal. Apalagi saat Topan membandingkanku dengan Mbak Ajeng.

“Kenapa sih semua orang lebih suka sama Mbak Ajeng dan banding-bandingin aku?” Aku mendesis kesal.

“Nduk! Kamu itu kemana aja to? Ibu sama Mbakmu udah nyariin kamu dari tadi.” Suara yang sangat familiar di telinga, membuatku menoleh. Sambil setengah berlari, ibu menghampiriku.

Aku tidak beranjak dari tempat. Hanya melihat ibu dari kejauhan dan samar-samar Mbak Ajeng juga terlihat membuntut di belakang ibu bersama Raja, anaknya.

“Num, kamu kenapa? Kok malah ngalamun to?” Hangat tangan ibu terasa menggenggamku.

Kupandangi Mbak Ajeng tanpa jeda. Mencari -cari apa kelebihannya. Hingga setelah menikah pun Topan lebih menyukainya dibanding aku.

"Hanum.” Ibu kembali memanggilku. "Kamu kenapa?”

“Ah, nggak kenapa-kenapa Bu. Hanum cuma capek aja,” jawabku berdusta.

“Selamat ya, Num. Akhirnya kamu lulus juga. Lega aku akhirnya bisa kelar biayain kamu.” Mbak Ajeng kemudian memelukku dengan erat. Aku hanya pasrah tanpa membalas pelukannya.

‘Andai kamu seperti Mbak Ajeng. Mbakmu itu tipeku’

Ucapan Topan terus terngiang di telingaku. Setelah pelukan Mbak Ajeng terlepas, aku kembali memperhatikan penampilan Mbak Ajeng dengan hijab pasmina yang disampirkan tanpa aksesoris berlebih. Kemeja sepaha dipadukan celana melekuk tubuhnya yang tidak seporposional dulu. Setelah melahirkan, Mbak Ajeng lebih gemuk. Dia pernah cerita kalau berat badannya naik 20 kg.

Mbak Ajeng memang tidak neko -neko. Wajahnya hanya dipulas bedak tabur ditambah goresan lipstik warna nude. Tidak ada make up lain yang menghiasi wajahnya. Hanya saja kulit Mbak Ajeng masih terlihat sehat meskipun lipatan di mata tidak bisa menutupi usianya yang sudah 33 tahun.

“Nduk, mana suamimu? Kok belum datang?” tanya Ibu yang kemudian membuat Mbak Ajeng mengambil ponsel dari tas.

“Sebentar, Bu. Coba Ajeng telepon dulu Mas Devannya.”

“Aunty, celamat yaaa.” Raja menarik ujung kebayaku sambil meringis.

“Makasih ya, sayang,” jawabku sambil memaksakan senyuman. Suasana hatiku benar-benar tidak baik. Apalagi setiap melihat Mbak Ajeng, kekesalanku semakin bertambah.

Sejak dulu, semua orang selalu membandingkanku dengan Mbak Ajeng. Katanya Mbak Ajeng lebih pintar lah, lebih santun lah, lebih penurut dan masih banyak hal yang lain. Bukankah setiap orang diciptakan berbeda dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing? Lalu mengapa banyak orang yang komplain dengan perbedaan itu?

“Alhamdulillah ya, Nduk. Kamu udah lulus dan dapat kerjaan. Ya, walaupun hanya di Indonesia nggak kaya Mbakmu dulu di Jerman, ini juga udah bagus,” tukas ibu yang langsung membuatku melirik tidak suka.

Aku memilih diam dan tidak ingin mendebat. Energiku benar-benar sudah terkuras habis.

“Mudah-mudahan nanti kamu dapat jodoh kayak Devan. Mbakmu pinter nyari pasangan. Devan itu udah ganteng, setia, sayang sama keluarga. Wes djan, ibu bersyukur banget punya menantu kayak dia,” celetuk ibu panjang lebar.

“Papa!”

“Aduh, maaf sayang tadi macet banget.” Suara yang sangat familiar itu membuatku melirik ke arah Mas Devan.

“Bu, apa kabar?” Dia langsung menyalami ibu dan mencium tangannya.

“Alhamdulillah, baik. Kamu sehat to?” Ibu menepuk bahu Mas Devan berulang kali. Senyum ibu senantiasa mengembang. Beliau sepertinya sangat rindu dengan Mas Devan yang baru pulang setelah satu tahun berlayar.

“Sehat, Bu,” jawabnya sambil tersenyum. Spontan lesung pipi yang sejak dulu aku kagumi tersemat di salah satu sisinya.

Aku masih terdiam sambil mengamati Mas Devan. Dia sekarang terlihat lebih tampan dengan potongan rambut tipis ala seorang TNI. Tubuhnya lebih gagah dengan celana panjang dipadukan kemeja biru laut yang lengannya dilipat hingga ke siku.

“Selamat ya, Dek.” Wajah Mas Devan menatapku. Alis tebal yang membingkai tatapan tajam seperti elang itu seolah menghipnotisku. Patah hati yang semula aku rasakan seolah sirna secara perlahan.

“Terima kasih, Mas,” jawabku.

“Mas, habis ini kita makan dulu yuk,” ajak Mbak Ajeng.

“Boleh. Gimana kalau kita makan di Sushi Vee? Itu hampir mirip sushi Philadelphia yang kamu suka. Nanti habis acara di Semarang kita ke Bali buat ngicip langsung,” respon Mas Devan yang menciptakan senyuman di wajah Mbak Ajeng.

“Bali, Mas?”

“Iya, Mas udah beliin tiketnya. Buat ibu juga,” tambah Mas Devan.

“Halah, ibu nggak usah ikut. Kalian berdua pergi aja. Bulan madu lagi, biar Raja ibu yang jaga,” celetuk ibu menawarkan diri.

“Sekali-kali, Bu. Ya ‘kan Sayang?” Mas Devan merangkul Mbak Ajeng sambil mencium keningnya.

"Dalam rangka apa sih, Mas?” tanya Mbak Ajeng yang tangannya masih bergelayut manja di lengan mas Devan.

"Nggak ada, Sayang. Pengen liburan aja sama kamu, ya ‘kan Raja?” jawabnya seraya menggendong Raja.

Di situ aku terpaksa menyaksikan kemesraan Mas Devan dan Mbak Ajeng. Kehidupan Mbak Ajeng nyaris sempurna. Memiliki suami yang tampan, perhatian, kehidupannya juga sangat berlimpah harta. Mbak Ajeng bisa mewujudkan semua keinginannya dalam sekejap. Tidak hanya itu saja, sekarang Mbak Ajeng punya bisnis fashion yang cukup terkenal di Tok-tok. Bahkan ada rencana untuk membuka toko dalam waktu dekat. Sangat berbeda denganku yang selalu berada di bawah Mbak Ajeng.

Terkadang aku merasa jika hidup itu kurang adil. Seolah seluruh dunia berpusat pada kebahagiaan Mbak Ajeng saja.

“Oh ya, Nduk. Kamu kapan balik Semarang?” tanya ibu.

“Besok, Bu,” jawabku.

“Besok bareng aja sama Mas Devan, Num,” kata Mbak Ajeng yang langsung menoleh ke arah Mas Devan untuk meminta persetujuan. “Nggak apa-apa ‘kan Mas?”

“Boleh,” jawab Mas Devan singkat.

“Ada acara apa emang di Semarang?” tanya Ibu kepada Mas Devan.

“Ada seminar Bu di PSP,” jawab Mas Devan. “Jam berapa dek?” tanyanya kepadaku.

“Agak sorean, Mas.”

“Ya udah, besok bareng Mas aja ya,” ajak Mas Devan sambil mengusap bahuku.

Sentuhan Mas Devan masih seperti dulu. Selalu berhasil membuat jantungku berdebar dan bulu kudukku meremang. Jika diperhatikan, ibu ada benarnya juga. Mas Devan adalah pria yang nyaris sempurna. Rasa yang dulu sempat terpendam, entah kenapa kini kembali membara di hatiku.

"Makasih, Mas,”  ucapku sambil menatap Mas Devan lekat-lekat.

TO BE CONTINUED….

❤❤❤

Hay, pembaca setia bagi kalian yang ingin tahu kelanjutan kisah Yasmin, Ezra, dan Dika bisa klik link di bawah ini, ya ⬇️

https://karyakarsa.com/SilviaArnaz/godaan-cinta-kakak-ipar-chapter-1

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro