❤ Chapter 1 - Iparku Kekasihku
Karya Kak Ry-santi
Selamat membaca
❤❤❤
"Sayang," panggilku mencolek bahu Lita sembari menggeser badan dan mencium lekuk leher yang beraroma sabun mandi. "Mau nen," bisikku lagi dengan nada manja berharap Lita mau memberi jatah.
"Hmm..." Dia menoleh sambil mengerjapkan mata sayunya di bawah temaram lampu tidur. Mulut istriku mengerucut sebelum mendaratkan kecupan singkat di bibir. "Capek, Mas," keluh Lita. "Besok aja deh," imbuhnya lalu melanjutkan tidur.
Aku mendengus sebal kala menelan kekecewaan yang kini bermetamorfosis menjadi makanan sehari-hari setiap kali Lita menolak bercinta. Bukan tanpa alasan, melainkan segudang pekerjaan sebagai sesama abdi negara yang menyebabkan pernikahan kami tak lagi berwarna seperti tiga tahun lalu.
Belum lagi pekerjaan Lita di reserse narkoba Surabaya membuatnya tidak mengenal kata santai. Sering kali dia pulang tengah malam kala aku sudah dibuai mimpi. Terlebih sekarang Lita tengah menyelidiki kasus adanya 'kampung narkoba' yang berada di pinggiran kota.
Jangankan memberi jatah, masak atau membersihkan rumah pun sekarang Lita jarang melakukannya. Bukan tak mau bersyukur, sedari awal aku sudah memahami konsekuensi bila mempersunting wanita sepertinya. Hanya saja ... Tidak pernah terpikirkan hingga semua seperti ini.
"Sepuluh menit?" celetuk Lita tiba-tiba.
Lamunanku seketika buyar mendengar penuturan Lita. Detik berikutnya, seberkas senyum terbit di wajah manakala istriku menanggalkan tanktop yang membungkus tubuh moleknya.
Bagai disuguhkan makanan lezat, aku menyambutnya penuh sukacita. Melepas rindu sekaligus gelora, kami bercumbu di antara gemerisik daun-daun pohon mangga di luar kamar yang menjadi saksi bisu pergumulan ini. Namun, permainan malam itu ternyata tak cukup melegakan hasrat yang membara sebab Lita akhirnya terlelap ketika aku belum sempat klimaks.
"Shit!" umpatku pelan lantas menarik diri tuk pergi ke kamar mandi.
Mau tak mau, daripada kepala atas bawah cenat-cenut, di bawah kucuran air dingin tanganku bermain-main selagi membayangkan hari pertama kami menikah. Lita yang masih belum dibebani banyak tanggung jawab. Lita yang masih mau melayani setiap kali aku menggodanya. Bahkan ... Suara sensualnya di telinga.
Aku kangen.
###
Semerbak wangi bumbu dapur terendus di hidung seakan-akan menyuruhku segera bangun. Selagi mengerjap-ngerjapkan mata yang begitu terasa berat, aku mengamati jarum jam di dinding yang menunjukkan pukul lima lagi. Lalu berpaling ke sisi kanan di mana istriku tak lagi berbaring disusul bunyi gesekan spatula dan wajan penggorengan dari arah dapur.
"Mas!" teriaknya. "Ayo bangun, Sayang!"
Eh?
Tak berapa lama, Lita yang masih mengenakan tanktop hitam dan celana pendek selutut menghampiriku ke kasur. Dia menunduk dan menghadiahi kecupan di pipi sementara sebelah tangannya bergerak naik turun menyapa adik kecil yang mengacung di balik celana jogerku.
"Aku udah masak," tuturnya lembut. "Meski nasi goreng doang sih."
"Tumben," komentarku serak. "Tapi, baunya enak banget."
Lita tersipu mendengarnya lantas mencubit puncak hidungku gemas. "Ayo bangun nanti keburu macet."
Kontan sebelah tanganku menahan lengan kanan ketika dia hendak pergi. Sorot mataku turun ke celana tuk mengisyaratkan supaya dia mengakhiri apa yang telah dimulai. "Satu ronde?"
"Nanti keburu telat," elak Lita.
"Please ..." pintaku manja sembari menarik tubuhnya jatuh ke kasur. "Mas kangen loh dari kemaren belum disayang sama kamu."
Tawa istriku lagi-lagi pecah saat kukirim ribuan ciuman di pipi, leher, bibir juga kening. Menyesap paduan wangi tubuh Lita yang khas bersama sisa-sisa asap masakan yang menempel di kulit langsatnya. Tersulut oleh cumbu rayu, Lita melepas tanktop namun terhenti saat sebuah ketukan membuyarkan aktivitas kami.
"Bajingan," umpatku kesal bukan main. "Siapa sih pagi-pagi gini bertamu?"
"Mbak Lit!!!"
Suara kencang di ujung pintu rumah kami terdengar. Buru-buru Lita mendorong tubuhku mengetahui adik perempuannya—Rara—mendadak muncul tanpa diundang. Mau tak mau, aku membuntuti Lita manakala perempuan bertubuh mungil dan berambut panjang sepinggang itu merangkul kakak perempuan satu-satunya sambil terisak. Penampilannya agak berantakan, hanya jaket denim kebesaran membungkus bahu Rara bersama satu tas ransel hitam. Entah apa yang terjadi pada adik iparku itu.
"Onok opo iki?" Lita menerjang pertanyaan saat Rara tersedu-sedu. "Ayo ayo, melbu disek. Cerito karo Mbak." Sesaat kemudian Lita menatapku dan berkata, "Mas, tolong ambilkan minum."
(Ada apa ini?)
(Ayo-ayo masuk dulu. Cerita sama Mbak.)
Aku mengangguk, bergegas menuju dapur untuk mengambil segelas air putih yang katanya bisa menenangkan jiwa. Padahal di saat seperti ini, dibiarkan menangis sampai puas pun sudah cukup, jangan diberondong pertanyaan bila kepala belum bisa merangkai kata. Kuberikan gelas tadi ke Lita yang sedang menepuk-nepuk pundak adik kesayangannya.
"Kamu siap-siap dulu aja, Mas," kata Lita. "Seragammu juga udah aku siapin."
Lagi-lagi kepalaku hanya melenggut mengikuti perintah Lita. Kukecup puncak kepala istriku kemudian meninggalkannya di ruang tamu tuk bersiap-siap dinas. Namun, sesekali aku mendengar mereka membicarakan Edi—suami Rara yang merupakan seorang pelaut. Selentingan kabar kalau Edi bermain belakang selama berlayar lamat-lamat meremukkan kepercayaan Rara. Beberapa kali gadis itu mendapat kiriman WhatsApp yang kian meresahkan dada.
"Itu belum tentu benar, Ra." Suara Lita terdengar seperti sedang menenangkan sang adik.
"Tapi, Mbak ... masalah ..." Rara terdiam beberapa saat kemudian memelankan suara. "Masalah seks aja udah nggak kayak pertama kali. Edi sering nolak aku, berarti kan ada cewek lain kan?"
"Yo nggak koyok ngunu Ra ... nek awakmu durung duwe bukti kuat, ojok nuduh Edi disek ... sopo ero karena penggawean e nang kapal, arek e butuh istirahat dan bukan berarti iku nolak awakmu mentah-mentah. Wes talah ... tenang ..."
(Ya bukan kayak gitu, Ra. Kalau kamu belum punya bukti kuat, jangan nuduh Edi dulu. Siapa tahu karena pekerjaannya di kapal, dia butuh istirahat dan bukan berarti itu menolak kamu mentah-mentah. Sudahlah ... tenang ...)
Menangkap pembicaraan yang mulai ke arah ranjang tersebut mendadak membuat pipiku memanas. Beruntung aku berada di dalam kamar sehingga mereka tidak menangkap gelagatku. Kuakui, beberapa kali Lita juga memperlakukanku sama seperti Edi, menolak bercinta dengan berbagai alasan padahal hal itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit. Sampai-sampai aku sering melampiaskannya dengan 'bermain sendiri' di kamar mandi. Tidak mungkin aku mencari perempuan lain untuk memuaskan hasratku ini. Tidak. Aku masih waras.
"Kamu nginep di sini aja sementara waktu ya," ujar istriku begitu aku memasukkan nasi goreng ke dalam wadah plastik berwarna biru. "Nanti kalau ada apa-apa bilang sama Mbak atau Mas."
"Tapi, Mbak, tokoku gimana?"
Keluar dari dapur sembari menenteng tas kerja, aku menimpali, "Kamu kan punya pegawai, Ra. Lagian tokomu jua bukan toko kecil. Bos bisa istirahat sehari atau dua hari kan?"
"Tuh kan?" Lita ikut menyahut membenarkan opiniku. "Daripada kamu ngelayanin pembeli dengan kondisi mata bengkak gitu. Nggarai wong ngrasani awakmu."
(Bikin orang ngegosipin kamu)
Sesaat kemudian Rara berpikir sejenak sambil menatapku dan kakaknya bergantian, sesenggukan akhirnya dia mengiyakan daripada memantik masalah yang tidak perlu orang lain tahu. Dia memeluk Lita sambil mengeluh kalau pernikahan ternyata tak seindah yang ada dalam impian orang-orang.
Rara mengira memutuskan menjadi teman hidup seorang pelaut di saat karirnya sebagai pemilik toko Bakery yang sedang naik daun akan membuat segalanya jadi mudah. Namun ternyata justru kebalikannya, dari sudut pandang Rara, dia harus memupuk lebih banyak kesabaran setiap kali ditinggal suaminya mengarungi lautan hingga berbulan-bulan.
"Makasih ya, Mas," kata Rara menerbitkan senyum getir lalu bangkit dan tiba-tiba memelukku erat.
"Iyo, Nduk ..." ucapku melepas pelukannya karena tidak enak dipandang oleh istriku sendiri. Lantas, aku menghampiri istriku dan mencium keningnya, "Mas dinas dulu ya. Kamu udah telepon kantor belum?"
"Nanti aja enggak apa-apa," kata Lita. "Ati-ati di jalan. Nasi gorengnya dibawa kan?"
Aku melenggut. "Iya, aku masukkin ke wadah tadi."
"Mas," panggil Rara lagi seraya menyerahkan sebuah bungkusan kecil. "Ini roti kemarin, masih enak kok kalau dimakan. Sorry, cuma bawa gini doang."
"Oh ... oke, makasih, Ra," tandasku tak sengaja menyentuh betapa lembut jari tangannya yang lentik. Anehnya, ada sesuatu yang menggelitiki dada ketika dia menyunggingkan senyum di balik gigi gingsulnya.
Bajingan!
Bersambung...
***
Hai, gimana menarik 'kan?
🍓🍓🍓
Bagi kalian yang penasaran gimana sih kelanjutan cerita Godaan Cinta Kakak Ipar, kalian bisa ke link di bawah ini⬇️. Di sana ceritanya udah tamat lho.
https://karyakarsa.com/SilviaArnaz/godaan-cinta-kakak-ipar-8
❤❤❤
Aku juga sudah memposting cerita baru judulnya Tawaran Menggoda Tuan CEO. Yang pastinya ngga kalah seru sama cerita-cerita sebelumnya. Cus, lihat di workku aja, ya.
See you next chapter ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro